KETIKA SANDIKALA telah tergeser malam pada hari Minggu di penghujung bulan April 2023, sepasang pembawa acara menyerukan penampilan drama yang berjudul Cupak Tanah, yang dipersembahkan oleh Sekolah Tinggi STAH N Mpu Kuturan Singaraja, tepatnya UKM Teater Sepit Tiying, pada acara Malam Gelar Seni Gelora Sastra UKM Teater Seribu Jendela Undiksha 2023 bertempat Auditorium Sekolah Lab Undiksha, Singaraja.
Ruang Auditorium Widyastana Sekolah Lab Undiksha yang telah disulap begitu megah, tampak senyap, tak ada bisik, tak ada gerak. Hanya setitik cahaya lampu yang bercahaya di atas panggung.
Selang beberapa menit, ruang senyap tersebut berganti menjadi riuh, orang-orang berbalut kain sembari memegang pelepah pisang, datang dari segala penjuru ruang, sambil berteriak, memaki dan menyentak.
Terdengar bisik-bisik dari kursi penonton, “Inilah saatnya tokoh-tokoh tersebut beradu peran di atas panggung.”
Adegan di atas panggung
Balai kecil ditengah-tengah panggung, ditiduri oleh sosok besar, perut buncit dan kumis tebal yang memerankan tokoh Cupak, terlihat sangar, garang dan rakus. Di sekelilingnya terdapat tokoh-tokoh lain yang membentuk formasi, satu persatu mereka menyampaikan pemikirannya, dengan menggebu, merutuk, mendamprat bahkan mencaci.
Seorang pejabat desa mengumandangkan pidato, dengan kalimat-kalimat penuh pemujaan kepada Cupak, menjanjikan tanah-tanah rakyat untuk memuaskan cupak dan sibuk menjilat Cupak. Diikuti oleh tokoh-tokoh lain, kecuali seorang pemuda.
Seorang pemuda, terus berteriak mendamprat pejabat dan tokoh-tokoh yang sibuk menjilati Cupak. Ucapannya menggebu-gebu menentang keras tindakan menjilat penguasa untuk mendapatkan keinginan pribadi dan mengorbankan orang lain (rakyat). Namun, tak lama pemuda tersebut pun mengikuti tingkah pejabat desa, menjilati setiap inci tubuh cupak.
Penonton dibuat geram dengan pemuda tersebut, entah karena ucapannya yang tidak sesuai dengan tindakannya, atau mungkin tokoh pemuda tersebut merepresentasikan sifat-sifat penonton, yang hanya koar-koar menentang penjilatan penguasa namun diam-diam ikut melakukannya.
Segala kemauan Cupak dipenuhi, bahkan pejabat dan tokoh-tokoh tersebut rela melucuti pakaian (harga diri) hingga setengah bugil diatas panggung untuk memuaskan nafsu cupak.
Adegan Cupak meminta tanah kepada para Pejabat Desa
Saling menindas satu sama lain untuk memenuhi keinginan Cupak (penguasa), mengambil semua hak rakyat untuk dipersembahkan kepada cupak.
Tanah-tanah habis dipersembahkan, tanah pemukiman, tanah sawah, tanah perkebunan, tanah kota, bahkan setiap sudut tanah dimakan oleh Cupak—dalam dunia nyata bisa dikatakan penguasa.
Pejabat berlomba-lomba menyenangkan Cupak, dengan harapan mendapatkan imbalan baik jabatan, kekuasaan, maupun uang.
Di atas panggung, cupak terus memakan tanah yang diberikan oleh pejabat desa, tokoh Cupak (Putu Ade Oka Wijaya) sangat totalitas dan professional. Dia benar-benar memakan tanah yang digunakan sebagai properti, wajah dan tubuhnya terbalut tanah-tanah kering yang menempel pada tubuhnya yang basah akan keringat.
Adegan saat Cupak memakan berbagai jenis tanah
Banyak bisik-bisik penonton yang menyerukan kalimat tanya, “Apakah dia benar-benar makan tanah?” atau “Apakah itu tanah sungguhan?”. Ade Oka Wijaya benar-benar mampu membawakan tokoh Cupak, memberikan gambaran bahwa inilah Cupak, orang yang sangar dan rakus.
Lakon terus berlanjut di atas panggung, hingga sampai pada adegan Cupak buang air besar, lalu semua tokoh yang berada di atas panggung, baik pemuda hingga Pejabat Desa, menunggu keluarnya “tai” Cupak. Setelah “tai” tersebut keluar, mereka berebut untuk memakannya.
Ketika adegan tersebut, riuh suara penonton yang berseru jijik dengan ekspresi-ekspresi ingin muntah. Properti “tai” yang digunakan sangat mirip dengan tai-tai yang biasanya dikeluarkan oleh manusia, hitam besar dan bertekstur.
Pemuda, Pejabat Desa dan tokoh figuran lainnya memakan “tai” tersebut dengan lahap, bak anjing-anjing kelaparan yang memperebutkan tai manusia.
Lalu keluarlah seseorang yang bertopeng, bernyanyi sedih ketika melihat pemandangan tersebut, dengan lirik menyayat hati. Lagu tersebut seolah mengatakan penguasa setan yang bertopeng suci, mencuri segala hak rakyat untuk memperkaya diri dan menindas rakyat.
Adegan berubah lagi, menjadi setting Cupak yang meinta tanah terus-menerus, hingga Pejabat Desa kesulitan memenuhi keinginnya, bahkan tanah kuburan tak luput menjadi santapan Cupak.
Lalu adegan berganti menjadi keributan dan kerusuhan, banyak masyarakat yang berdemo tidak terima dengan sikap Cupak yang semena-mena, memakan tanah-tanah masyarakat, hingga muncul sosok bertopeng yang menjadi Gerantang (adik cupak yang dikira sudah meninggal).
Mereka bertengkar hingga Cupak mengalah dan memberikan kekuasaannya pada Gerantang. Namun, ketika dibuka topeng tersebut malah memunculkan wajah Cupak dengan sifat yang sama—rakus dan semena-mena.
Ending tersebut memunculkan penafsiran ganda, entah memang sedari awal sosok tersebut adalah Cupak dan sosok Gerantang tidak pernah ada. Atau mungkin sosok itu adalah sosok Gerantang yang sudah termakan kursi kekuasaan sehingga sifatnya berubah menyerupai sifat Cupak.
Representasi penguasa di negeri ini
Dari pementasan tersebut bisa kita temukan gambaran-gambaran pemegang kekuasaan di negeri ini. Orang-orang yang sudah menduduki kursi kekuasaan akan melupakan segala tujuan dan berbuat semena-mena menindas rakyat.
Para penguasa mengambil semua hak rakyat. Tanah-tanah rakyat digusur untuk kepentingan pribadi, suap menyuap sudah menjadi hal biasa, perilaku menjilat atasan dan prilaku penguasa yang menyalahkan pejabat, sedangkan pejabat menyalahkan bawahan hingga bawahan menyalahkan dan menindas rakyat. Rakyat yang diam dan bisu semakin tersingkirkan.
Perlu diketahui, naskah Cupak Tanah adalah karya dari Putu Satria Kusuma, seorang sastrawan Bali. Naskah tersebut telah diterbitkan oleh Mahima pada tahun 2015 bersama naskah-naskah lain karya beliau di antaranya naskah Bayangan Didepan Bulan, Di Ruang Tunggu, Menunggu Tikus, Subak dan Naskah Sukreni.
Lakon Cupak Tanah telah dipentaskan pada ruang-ruang bergengsi pada tahun 2007 seperti CCL Bandung, ISI Jogyakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Gedung Kesenian Jakarta, Bentara Budaya Jakarta dan Mimbar Teater Indonesia di Solo.[T]