Penulis: Gusti Ayu Cempaka Dewi Maharani dan I Gusti Ayu Saskya Kancana Devi
TARI REJANG JAJAR PARI terdiri dari dua suku kata yaitu jajar dan pari. Jajar memiliki arti berbaris yang sejajar dan Pari berarti padi. Jika diartikan dengan kata jajar pari adalah barisan padi yang menguning menandakan padi telah siap dipanen untuk keberlangsungan kehidupan dan kemakmuran.
Rejang Jajar Pari menggunakan gagasan ilmu padi, yang menyebutkan “semakin berisi semakin merunduk”. Hal tersebut bermakna sebuah norma, adab dan etika untuk tidak mengunggulkan ego namun lebih untuk merenungi kedalaman spiritual agar berguna bagi kehidupan di masyarakat.
…
Selain itu secara filosofi Tari Rejang Jajar Pari melambang dewi padi sebagai sumber kehidupan dan kemakmuran yang tertuang dalam karya seni. Melibatkan sosok wanita sebagai simbol predana yang merupakan sosok insan penting tempat bersemayam benih benih generasi baru. Generasi baru sebagai pemegang tongkat estafet segala macam pewarisan pengetahuan serta kebudayaan yang adi luhur.
Garapan Tari Rejang Jajar Pari menunjukan sisi lain dari seorang wanita sebagai sosok pahlawan yang memiliki unsur keberanian, keagungan, dan kecantikan. Kecantikan tidak hanya dipandang sebagai sebuah sensasi saja, namun juga sebagai ketajaman intelektual. Cantik tidak hanya dalam rupa, namun cantik sifat dan watak. Cantik yang feminine dan juga secara tidak langsung menjangkau nilai maskulin yang berani, tegas serta heroik.
Gerakan Rejang Jajar Pari menjunjung konsep gerakan rejang Karangasem. Diawali dengan adegan muspa sebagai wujud kesiapan diri. Rejang Jajar Pari ini pula menjunjung konsep Tri Angga yang diaplikasikan dengan gerakan tangan menyentuh kepala, dada, dan kedepan. Tak hanya itu terdapat gerakan tangan mengarah kebawah sebagai wujud penghormatan kepada ibu pertiwi. Dengan lantunan gambelan gong beri memberikan gerak pembuka lawang dan pengampigan selendang, gerakan tersebut diibaratkan sebagai gerak menetralisir hal yang bersifat negatif.
Gerakan berputar searah jarum jam menandakan siklus kehidupan atau perputaran kehidupan. Penghormatan pada ibu pertiwi juga adalah sebuah penerapan dari sifat maskulin untuk selalu ingat akan kemahaan seorang ibu. Menetralisir hal-hal negatif yang menjadi tanggung jawab sifat maskulin secara umum justru ditampilkan oleh seorang feminine (penari rejang).
Properti dan busana dalam tarian ini digarap berdasarkan nilai warisan yang melekat di ruang lingkup Banjar Taman Kelod, Ubud yaitu keris. Keris sebagai simbol kekuatan wanita serta keris berfungsi sebagai pelindung dan senjata. Selain itu keris juga sebagai lambang dari ketajaman yang juga disebut dengan lelandep (landep artinya tajam dalam Bahasa Bali). Tajam dalam budi dan pekerti.
Pakaian Rejang Jajar Pari sendiri terinspirasi dari patung Ida Ratu Mas Melanting, dimana patung Ratu Melanting ini menggunakan konsep sisi maskulin wanita, mulai dari cara memakai kamen seperti bagaimana cara lelaki memakai kamen yang ujungnya berbentuk ‘kancut’ yang melambangkan pengandalian diri dan penghormatan kepada ibu pertiwi.
Tak hanya itu, busana dilengkapi dengan pemakaian seselet keris seperti layaknya seorang laki-laki. Dari sisi ini dalam rejang Jajar Pari sudah memasukkan elemen maskulin dalam tubuh feminine penari rejang. Dari segi instrumentalnya, gambelan rejang Jajar Pari hanya menggunakan setengah dari barungan gambelan Gong Kebyar. Kemudian ditambah dengan alat musik dari Korea yaitu Samulnori yang terdiri dari Bug dan Jing.
…
Terciptanya karya seni yang bernilai tinggi tentu tidak lah mudah, perlu proses yang panjang di dalamnya. Sama halnya ketika menciptakan Tari Rejang tercipta sebagai penyeimbang dari tari baris yang memang kedua tarian ini tercipta berpasangan dalam suatu upacara. Tari Rejang pada umumnya ditarikan dengan lemah lembut dan gemulai yang menonjolkan sisi kecantikan dan keanggunan seorang wanita.
Tapi dalam Rejang Jajar Pari ini ide yang tertuang adalah sisi lain seorang wanita dimana memiliki paras yang cantik namun memiliki karakter tegas, keras, dan kuat. Terlintaslah sebuah ide seorang wanita yang membawa keris, namun hal tersebut lah yang akan menjadi kontroversi.
Menurut Gusti Putu Dika Pratama sebagai konseptor, banyak tetua yang tidak menginginkan seorang wanita memegang keris, karena kodratnya yang memegang keris adalah laki-laki. Setelah digali lagi terdapat tokoh perjuangan dan perlawanan rakyat Klungkung terhadap kolonial, Ida I Dewa Agung Istri Kanya.
Istri Kanya adalah sosok pahlawan perempuan yang terkenal gigih dan mahir dalam ahli taktik peperangan. Ia mengangkat kerisnya dalam medan perang sebagai bentuk melindungi diri dan kekuasaan yang direnggut.
Hal tersebutlah yang digunakan untuk meyakini tetua bahwa wanita tidak hanya berkarakter lemah lembut dan anggun tapi terdapat karakter berani, tegas, keras, kuat dan agung. Kesetaraan gender pun menjadi prinsip dalam tarian ini, bahwa wanita juga bisa mengangkat kerisnya sebagai bentuk perlawanan dan untuk melindungi dirinya.
…
Tidak sampai disitu, masih banyak cobaan-cobaan demi terwujudnya karya seni ini, tarian ini berhasil dipelajari kurang lebih dua minggu, dimana setiap harinya ada suatu target yang harus dipenuhi, tidak hanya target dalam menghafalkan gerak tetapi target perancangan tata busana, dan tata rias rambut. Perlu menjelajahi banyak tempat yang cukup jauh untuk kelengkapan tata busana yang indah, tata rias rambut pun perlu beberapa kali mencoba agar serasi dengan tatanan busana.
Berkat bantuan dari segala pihak akhirnya dapat terealisasikan Tarian Jajar Pari ini. “Kami bukan orang yang berprofesi dalam tarian sakral, namun dengan ketulusan membuahkan karya dengan taksunya jika dijalankan dengan ikhlas,” kata Gusti Putu Dika Pratama.
Untuk menemukan unsur maskulin dalam Tarian Rejang Jajar Pari diperlukan terobosan baru dalam mengubah suatu hal tabu menjadi dobrakan yang bernilai tinggi, sehingga dipandang kuat secara batin maupun fisik.
Maskulin tak hanya berartikan seorang pria yang gagah berani, namun juga maskulin menggambarkan sosok wanita yang memiliki keberanian, keagungan, dan kecantikan. Cantik tidak hanya dalam rupa, namun cantik sifat dan watak yang berakal dan berbudi luhur serta memiliki etika dalam bersikap. [T]
Penulis:
Gusti Ayu Cempaka Dewi Maharani
I Gusti Ayu Saskya Kancana Devi
TENTANG PENULIS:
Gusti Ayu Cempaka Dewi Maharani dan I Gusti Ayu Saskya Kancana Devi adalah siswi SMA Negeri 1 Ubud yg memiliki minat dan bakat dalam tari dan tabuh. Tergabung dalam komunitas Seni Prami Prani, Banjar Taman Kelod. Kedua aktif dalam penciptaan karya baru produksi komunitas Seni Prami Prani seperti pentas pada Ubud Campuhan Budaya, Ubud Open Studio dan Bali Spirits. Mulai mencoba menulis artikel tentang kesenian setelah aktif mengikuti acara diskusi oleh Yayasan Janahita Mandala Ubud