PERKEMBANGAN ilmu komunikasi di dunia telah melahirkan banyak kajian tentang komunikasi. Jika di masa lalu hanya dikenal beberapa kajian komunikasi, seperti jurnalistik, kehumasan, komunikasi massa, komunikasi sosial, dan komunikasi internasional; kini kajian komunikasi begitu beragam
Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, kajian komunikasi juga merambah pada media digital, komunikasi siber, maupun komunikasi strategis.
Di tengah banyaknya bidang kajian komunikasi, rupanya komunikasi tradisional kurang mendapat tempat sebagaimana kajian lainnya. Komunikasi tradisional dianggap kadaluwarsa dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Kajian komunikasi tradisional oleh karenanya dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang tidak memiliki urgensi di era kekinian.
Rendahnya minat orang pada kajian komunikasi tradisional dapat dilihat dari sulitnya mendapatkan definisi komunikasi tradisional. Pengertian komunikasi tradisional masih dianggap sebatas sebagai alat berkomunikasi secara tradisional seperti kentongan maupun bedug.
Referensi maupun buku yang terkait dengan komunikasi tradisional juga sulit diperoleh. Mata kuliah komunikasi tradisional hanya diajarkan pada beberapa perguruan tinggi. Itu pun hanya ditawarkan sebagai mata kuliah pilihan, bukan wajib.
Pola Komunikasi
Komunikasi tradisional dapat diartikan sebagai komunikasi yang terjadi pada masyarakat tradisional dengan menggunakan media komunikasi tradisional. Komunikasi tradisional biasanya terjadi pada masyarakat atau etnis tertentu yang memilki beberapa karakteristik.
Pola komunikasi tradisional dapat dilihat pada masayarakat dengan karakteristik fanatik pada “ideologi” kelompok sendiri dibanding kelompok lain. Masyarakat seperti ini mempunyai kesadaran terhadap kesamaan adat, bahasa, dan norma budaya.
Tradisi Grebeg Maulud di lingkungan Keraton Yogya dan Solo, Ruwatan Rambut Gimbal pada masyarakat di Dataran Tinggi Dieng, serta Pengerupukan dan Melasti di Bali adalah bentuk fanatisme pada “ideologi” masyarakat. Tradisi-tradisi ini sampai saat ini masih tetap berlangsung, karena masyarakat masih memiliki kesadaran bersama tentang adat dan budayanya.
Bahasa daerah kerapkali dianggap sebagai indikator eksistensi komunikasi tradisional di suatu masyarakat. Sepanjang masyarakat masih fanatik menggunakan bahasa daerahnya, maka komunikasi tradisional masih bisa bertahan.
Kesenian sebagai salah satu bentuk komunikasi tradisional sangat tergantung pada penggunaan bahasa daerah masyarakatnya. Hampir semua kesenian tradisional menggunakan bahasa daerah. Oleh sebab itu, akan sangat tidak menarik jika pagelaran wayang kulit di Jawa dengan menggunakan bahasa Indonesia; atau Drama Gong dan Bondres di Bali juga tidak mungkin akan menggunakan bahasa Sunda.
Pola komunikasi tradisional diwarnai dengan terbentuknya jaringan komunikasi dan interaksi yang khas. Opinion leader dan lembaga sosial dianggap sebagai sumber dan media komunikasi. Komunikasi tradisional acapkali tampak pada hal-hal yang sepele seperti pakaian, tarian, dan makanan.
Baju surjan, blangkon, dan gudeg masih tetap ada di Yogya, selama masyarakat Yogya masih saling berkomunikasi tradisional. Pakaian endek, udeng, lawar, dan ayam betutu masih tetap bertahan di Bali meski industri pariwisata menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali, karena komunikasi tradisional masih terjadi di Bali.
Sesungguhnya komunikasi tradisional merupakan identitas sosial suatu masyarakat yang mencerminkan realitas masa lalu, kekinian, dan masa depan. Ketika tradisi dalam masyarakat berubah, maka identitas sosial masyarakat juga berubah; yang selanjutnya akan mengubah komunikasi tradisionalnya
Namun, saat aspirasi sosial masyarakat masih menghendaki agar identitas sosial dipertahankan, kelak komunikasi tradisional masih digunakan masayarakat.
Kesenian Lengger dan Kuda Lumping masih dapat bertahan selama masyarakat Jawa menganggap kesenian itu bagian dari tradisi dan identitas sosial mereka. Begitu pula kain Ulos dan tari Tor Tor pada masyarakat Batak di Sumatera Utara hingga kini masih dapat dijumpai, karena telah lekat menjadi identitas sosial sejak dulu hingga kini.
Urgensi
Apakah komunikasi tradisional mampu menjawab permasalah yang semakin kompleks dalam kehidupan saat ini? Pertanyaan ini akan menunjukkan sejauh mana urgensi komunikasi tradisional di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tantangan di bidang sosisl, politik, dan ekonomi.
Teknologi komunikasi dan informasi yang berbasis internet dianggap memiliki andil dalam meminggirkan peran komunikasi tradisional yang berbasis kearifan lokal.
Komunikasi tradisional menjadi kalah pamor tatkala berhadapan dengan komunikasi digital. Berbagai informasi dan hiburan begitu melimpah di media sosial. Semua dapat diperoleh dengan mudah, murah, dan cepat.
Meski demikian, komunikasi secara digital bukan hanya menyuguhkan kemudahan, namun juga memberi peluang hadirnya permasalahan. Tanpa harus duduk di kursi bioskop, orang dapat memilih dan menonton berbagai jenis film dari aplikasi.
Hanya bermodalkan kelucuan wajah dan suaranya, orang bisa viral dan dikenal jutaan rakyat Indonesia lewat media sosial. Di sisi lain, orang juga saling hujat di media sosial. Hanya karena perdebatan di dunia maya, orang dapat saling memusuhi, saling ancam, saling pukul; bahkan saling bunuh.
Media sosial menjadi sumber petaka ketika komunikasi yang terbangun jauh dari nilai moral dan kearfian. Pada saat seperti ini orang akan berpikir komunikasi tradisional yang sarat dengan pesan moral dan kearifan lokal itu penting.
Tradisi lisan yang dijalin antara orang tua dan anak berupa dongeng sebelum tidur juga tergantikan oleh tontonan di media sosial. Akibatnya, anak lebih paham tentang perkembangan cerita di berbagai belahan dunia, namun miskin informasi tentang tradisi di kampung sendiri.
Dalam bidang ekonomi, komunikasi tradisional masih memiliki urgensi. Pariwisata, misalnya, sebagai industri jasa yang memiliki nilai ekonomis tinggi, akan kehilangan daya tariknya jika tidak didukung oleh seni dan budaya tradisional.
Wisatawan mengunjungi suatu negara atau daerah bukan hanya untuk menikmati alam, tetapi juga menyaksikan dan belajar tentang seni budaya yang ada di masyarakat. Dan seni budaya itu masih dapat disaksikan, hanya jika komunikasi tradisional masih bertahan dalam kehidupan masyarakat.
Menghadapi gempuran budaya global yang membanjiri media digital diperlukan budaya tandingan yang akan membuat orang lebih bijak dalam bertindak sesuai kearifan lokalnya. Budaya tandingan dapat ditemukan dalam komunikasi tradisional; bisa dalam bentuk kesenian, kerajinan, dongeng, tembang, dan karya sastra lokal.
Gerakan mencintai segala yang bernuansa tradisional perlu dilakukan. Tanpa budaya tandingan itu, komunikasi tradisional hanya akan menjadi bagian dari masa lalu; di tengah masa kini dan masa depan yang serba digital.[T]