AKTIVITAS DI KEBUN membuat raga letih. Ternyata pekerjaan menanam jauh lebih melelahkan dibandingkan dengan bersepeda jarak jauh. Meskipun keduanya memiliki sisi rekreatif.
Sejak tinggal di lingkungan agraris, waktu saya banyak tersita di lahan pertanian. Hal ini membuat mood membaca, menulis dan bersepeda menjadi turun.
Praktis dalam seminggu saya hanya bersepeda sekali. Tidak seperti ketika masih tinggal di daerah industri.
Belakangan saya memang tidak belajar melalui buku. Tapi lewat ‘buku’ yang lebih besar lagi, masyarakat agraris. Dari mereka lah saya banyak belajar.
Saya mendapatkan berbagai pelajaran penting, mulai dari budidaya berbagai komoditas, pengenalan alat pertanian tradisional, dan belajar melatih kesabaran dalam menghadapi situasi yang kadang tidak menentu.
Saya juga belajar kepada para ibu, cara memasak menggunakan kayu. Mereka juga mengajari saya membuat gula kelapa, mengaduk jenang dan banyak lagi.
Ibu-ibu di desa, secara umum, merupakan para perempuan tangguh. Selain melayani suami, mereka juga bekerja keras untuk membantu perekonomian rumah tangga.
Bagi ibu-ibu dari keluarga prasejahtera, aktivitas mereka dalam menghasilkan uang dengan menjadi buruh. Baik buruh di peternakan maupun buruh tani.
Sepulang kerja, mereka juga masih harus mencari rumput, kayu bakar dan mencari dedaunan untuk dimasak buat makan malam.
Hari ini saya menanam kelengkeng. Untuk menggantikan pohon wadhang, yang rusak digerogoti rayap. Bibitnya saya beli dari pedagang bibit keliling.
Sebelumnya saya mendapatkan referensi dari Pak Bin, tukang batu yang membantu saya membuat gudang kecil. Dia menyebut satu nama, Mbah Klunthung.
“Dia sering lewat sini. Orangnya bisa dipercaya. Jangan khawatir ditipu, misalnya bibit durian lokal dikatakan musang king,” ujarnya.
Beberapa hari kemudian, ketika sedang ngopi di teras, saya mendengar suara genta sapi. Sesaat kemudian melintas orang tua berjenggot putih yang mengendarai sepeda usang.
Mata kami bersitatap dari jarak sekira 10 meter. Saya menduga, ini Mbah Klunthung yang dimaksud Pak Bin.
“Mbah Klunthung, nggih!?” tanya saya setengah berteriak.
“Nggih.”
Lelaki tua itu menghentikan sepedanya di bawah pohon lecari yang rindang. Bisa jadi sebutan Mbah Klunthung berasal dari suara genta sapi yang digantung di stang sepedanya.
“Ada bibit durian, Mbah?”
“Tinggal kelengkeng.”
“Nggih, saya ambil dua.”
“Hanya ada satu. Besok saya ke sini lagi.”
“Lha itu ada dua.”
“Satunya lagi sudah dipesan orang Jati Lengger.”
“Siapa? Pak Bin?”
“Kok kenal.”
“Dia itu kawan saya. Sudahlah saya beli keduanya. Pak Bin tidak akan kecewa.”
“Tidak bisa. Saya sudah janji.”
Wajah orang tua itu terlihat teduh. Bajunya tampak aneh. Ada empat kantong besar yang terlihat menggelembung, entah apa isinya.
Saya suka orang tua ini dari pandangan pertama. Tapi sayang tidak banyak informasi yang bisa digali darinya.
“Anak saya dua, cucu dua, tinggal di Wates. Umur saya sekitar 80 tahun,” ujarnya datar.”
“Boleh saya foto?”
“Jangan.”
“Maaf, Mbah.”
Dia tidak bersedia menyebutkan nama aslinya. Pun juga tidak mau difoto. Tapi akhirnya saya foto juga, secara diam-diam.
Wates, Kediri, jaraknya sekitar 30 kilometer dari tempat saya tinggal. Dia bersepeda dengan membawa berbagai bibit tanaman keras. Dengan umur 80 tahun, tentu saja fisik orang tua itu luar biasa.
Dua hari kemudian, ketika diundang kenduri di rumah salah satu warga, saya mendapat cerita tentang Mbah Klunthung.
“Mbah Klunthung itu kaya sebenarnya. Empat kantong di bajunya itu penuh uang kertas seratus ribuan,” ujar Pak Enthis.
“Totalnya mungkin ratusan juta,” timpal Pak Mbing.
“Ya benar, Mbah Klunthung hanya menyamar. Dua anaknya sudah jadi orang. Mereka juga kaya, rumahnya dikeramik, punya mobil,” tegas Pak Sas.
Kisah-kisah ajaib seperti itu memang tidak harus dibuktikan kebenarannya. Sekadar menjadi hiburan bagi masyarakat desa, cukuplah.
Ya, hiburan ketika hasil panen kurang bagus, atau hasilnya bagus tapi harga jatuh. Apalagi ketika biaya produksi semakin tinggi karena berbagai sebab. [T]
BACA artikel lain dari penulis MADE WIRYA