DESA SUDAJI di Kecamatan Sawan, Buleleng, memang dikenal sebagai salah satu sentra pembibitan tanaman buah di Bali. Tapi tahukah kalian, banyak perempuan yang punya peran besar dalam proses pembibitan itu.
Status perempuan itu sebagai buruh. Namun mereka bekerja dengan dedikasi yang tinggi, tanpa meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka sebagai ibu rumah tangga.
Dua di antara banyak pekerja perempuan dalam sentra pembibitan tanaman buah itu adalah Luh Soma Murniati dan Luh Asti. Mereka sudah bekerja bertahun-tahun, dan hapal bagaimana proses pembibitan dari sejak disemai hingga dijual kepada petani.
25 Tahun Bekerja
Luh Soma Murniati merupakan seorang ibu rumah tangga yang lahir dan tinggal di Banjar Kaja Kangin, Desa Sudaji. Usianya 45 tahun. Ia memiliki dua orang anak. Suaminya juga kebetulan bekerja sebagai buruh bibit tanaman.
Ia sudah mulai menjadi pekerja buruh bibit tanaman sejak usianya masih remaja, sekitar sejak lebih dari 25 tahun lalu.
“Saya mulai bekerja di bibit tanaman sudah dari remaja, ya kira-kira sekitar usia 19 tahunan,” ujarnya saat saya berkunjung ke rumahnya, Minggu, 16 April 2023.
Menjadi pekerja buruh bibit tanaman tidak semudah yang dibayangkan. Pagi harinya Luh Soma harus menyiapkan makanan untuk keluarga, bersih-bersih rumah, sembahyang dan lain sebagainya, sebelum dia berangkat kerja jam tujuh pagi.
Panas-panasan di bawah terik matahari sudah menjadi hal yang biasa ketika sedang bekerja. Ya, namanya juga resiko kerja, harus dihadapi. “Terkadang juga punggung dan pinggang terasa sakit setelah seharian bekerja,” katanya.
Pembibitan tanaman yang biasanya ia tangani adalah tanaman yang paling diminati oleh konsumen atau pembeli, seperti bibit durian, terutama jenis durian bangkok dan musang king.
Proses awal pembibitan dilakukan selama 3 bulan. Setelah itu masih banyak proses yang dilakukan sebelum bibit-bibit tanaman tersebut bisa dijual. Hingga sekitar kurang sekitar 12 bulan usia bibit itu, barulah bisa dijual.
Proses pengangkatan bibit tanaman, yang saat itu tinggi tanaman kurang lebih satu meter, biasanya dilakukan oleh laki-laki. Karena prosesnya cukup berat dan membutuhkan tenaga besar. Tidak mungkin rasanya dilakukan oleh perempuan. Tapi Luh Soma ini bisa melakukannya.
“Mungkin karena sudah terbiasa,” kata Lih Soma.
Pada proses penangkaran itu ada namanya pekerjaan ngebet bibit. Ngebet artinya mengangkat tanaman dari dalam tanah. Mengangkat bibit yang berada sekitar satu tahun dalam tanah, memang pekerjaan berat.
Biasanya ngebet bibit dilakukan sebelum musim hujan. Dan jumlah dalam sekali pengiriman kepada pembeli, biasanya mencapai 500 sampai bibit tanaman. Jadi dalam waktu yang cepat, sebanyak 500 bibit harus diangkat dari dalam tanah.
Luh Soma di antara bibit tanaman durian di Desa Sudaji, Buleleng | Foto: Sri Widiastuti
Harga bibit itu beragam, tergantung bibit apa yang dibeli. Dan tergantung juga, jika pembeli ngebet bibit sendiri, harga per satu bibit bisa lebih murah. Jika ngebet sendiri, harga bibit sepuluh ribu rupiah, maka jika si pembeli menginginkan bibit yang sudah siap untuk diangkut, harganya menjadi lima belas ribu rupiah.
Luh Soma juga membagikan cara membibit tanaman. Dia mengatakan ada dua cara yang biasanya dilakukan dalam pembibitan tanaman durian.
Yang pertama, ada teknik nembel. Dalam dunia pertanian disebut sebagai okulasi. Cara ini dilakukan dengan menempelkan mata tunas dari satu tanaman ke tanaman yang lain, kemudian diikat menggunakan tali dari plastik. Kemudian yang kedua, menggunakan metode sambung, dengan menggabungkan seluruh bagian pucuk tanaman ke satu tanaman lain.
Luh Soma adalah sosok yang sangat pekerja keras, tak jarang, dia siap untuk lembur bekerja dari jam tujuh pagi hingga jam sembilan malam, jika ada pembeli yang lumayan banyak memesan bibit tanaman.
“Lelah memang, tapi jika terus mengeluh seperti itu, kapan penghasilan itu akan datang,” katanya.
Penghasilan Luh Soma seharinya bisa mencapai seratus ribu hingga seratus empat puluh ribu rupiah. Karena suaminya yang juga bekerja sebagai buruh, penghasilan keduanya digabung menjadi satu, untuk membiayai anak-anaknya yang masih bersekolah. Dan sebagian, digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti membeli beras, bahan masakan dapur dan keperluan rumah tangga lainnya.
Cerita Luh Asti
Luh Asti merupakan ibu rumah tangga dengan dua orang anak yang tinggal di Banjar Dinas Desa, Desa Sudaji. Dia berusia sekitar 35 tahunan.
Anaknya yang paling kecil masih bersekolah di Sekolah Dasar dan anak pertamanya sudah menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama.
Suaminya bekerja sebagai buruh tukang ukir sanggah, yakni tempat suci yang biasa digunakan masyarakat Hindu Bali untuk bersembahyang. Penghasilan suaminya tidak seberapa jika dibandingkan dengan pengeluaran semua anggota keluarganya.
Sehingga, untuk menambah pemasukan keluarga. Luh Asti sering bekerja menjadi buruh bibit tanaman di desanya. Tempat bekerjanya pun berbeda-beda dan tidak di satu tempat, kadang di perusahaan bibit tanaman yang berada di banjar tempat tinggalnya, kadang juga di dekat tempat tinggal sepupunya.
Dia akan mengambil setiap pekerjaan sebagai buruh bibit tanaman yang ditawarkan. Informasi yang dia dapatkan biasanya datang dari teman-teman dan sepupu-sepupunya.
Seperti kebanyakan ibu pada umumnya, aktifitasnya sudah sangat padat di pagi hari. Sehingga terkadang dia sulit untuk membagi waktunya saat ada pekerjaan. Jika ada panggilan untuk bekerja, Luh Asti akan bangun jam empat pagi untuk pergi ke pasar, kemudian mulai memasak makanan untuk suami dan anak-anaknya.
Karena anaknya yang paling kecil belum bisa mengganti baju dan mengepang rambut sendiri, Ibu Asti harus membantunya terlebih dahulu. Membungkus nasi untuk bekal suaminya bekerja dan juga sembahyang di pagi hari.
Luh Asti dari Desa Sudaji | Foto: Sri Widiastuti
Biasanya dia berangkat jam tujuh pagi dari rumah ke tempatnya bekerja, kemudian mendapat waktu istirahat siang untuk makan di jam setengah dua belas hingga jam setengah satu, lalu kembali bekerja hingga jam 5 sore.
“Bekerja sebagai buruh bibit dimulai dari membungkus akar tanaman yang baru diangkat dari tanahnya menggunakan kampil (karung beras bekas), kemudian diikat dengan tali plastik,” ujarnya.
Setelahnya, bibit-bibit tanaman itu akan dimasukkan ke dalam mobil truk, untuk dikirim ke pembeli. Medan jalan dari tempat pengambilan bibit ke jalan raya yang tidak bisa diakses secara langsung oleh mobil truk, membuat Luh Asti dan beberapa temannya mengangkut sendiri bibit-bibit tersebut dengan cara nyuun, atau menjunjung di atas kepala.
“Kami biasa membawa bibit-bibit tersebut menggunakan keranjang. Satu keranjang bisa terisi tujuh sampai delapan buah bibit,” kata Luh asti.
Berat bibit tanaman tersebut satu kilogram lebih perbibitnya, sehingga jika dijumlahkan keseluruhannya bisa mencapai delapan kilogram atau mungkin lebih. Beban yang tidak bisa dianggap remeh jika diangkat menggunakan kepala, oleh orang-orang yang belum terbiasa melakukannya.
Penghasilan yang didapat Luh Asti dari bekerja sebagai buruh bibit tanaman dalam sehari biasanya sembilan puluh ribu. “Saya bekerja dengan sistem borongan, untuk satu kelompok itu terdiri dari lima orang, mendapat uang 450 ribu. Dan nanti uang itu dibagi rata berlima,” tambahnya.
Luh Asti mengaku sudah melakukan pekerjaan ini setelah tamat Sekolah Dasar, dia mulai bekerja bersama ayahnya saat itu. Dahulu ketika belum terbiasa, dan umurnya masih sangat kecil, dia hanya mampu membawa satu sampai dua bibit saja, karena jarak yang ditempuh juga lumayan jauh untuk berjalan kaki.
Hingga setelahnya, dia sudah terbiasa untuk membawa bibit-bibit tersebut dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Sampai saat ini, setelah menikah dan memiliki dua orang anak, pekerjaan sebagai buruh bibit tanaman tersebut masih dilakukan untuk membantu keuangan keluarganya.
Menjadi seorang ibu rumah tangga dengan semua pekerjaan rumah yang tidak dapat ditinggalkan memang sangat melelahkan, ditambah lagi dengan bekerja sebagai buruh bibit tanaman yang sudah pasti menguras banyak tenaga.
Banyak sebenarnya para ibu yang juga bekerja sebagai buruh untuk membantu perekonomian keluarganya. Motivasi yang kuat membuat mereka mampu menjalaninya dengan semangat tanpa mudah mengeluh..[T].
*Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.