KOMUNIKASI TAK selalu dimaknai secara linier sebagai proses yang searah. Komunikasi juga bukan semata membincang tentang media. Komunikasi dapat terjadi secara sirkuler dan konvergen. Selalu berputar dinamis, saling mempengaruhi dan saling melengkapi seluruh komponen yang terlibat.
Adalah Masjid Saka Tunggal yang menjadi ikon dan saksi sejarah proses komunikasi interpersonal, sosial, sekaligus transendental. Terletak di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Disebut Masjid Saka Tunggal, karena hanya memiliki satu tiang penyangga di tengahnya. Makna dari satu tiang adalah seperti halnya huruf Arab, Alif yang tegak dan lurus. Hidup manusia selayaknya harus lurus, jangan bengkok, dan jangan berdusta. Satu tiang penyangga juga dapat dimaknai sebagai Tuhan yang esa atau tunggal.
Konon, Masjid Saka Tunggal adalah masjid tertua di Indonesia. Berdasarkan tulisan huruf Arab di atas tiang tertulis angka 1288. Banyak penafsiran terhadap angka 1288 tersebut. Apakah angka itu menunjuk pada tahun Hijriah ataukah Masehi. Jika merujuk pada tahun Masehi, maka Masjid Saka Tunggal adalah masjid tertua di Indonesia, bahkan lebih tua dibanding kerajaan Majapahit. Namun jika angka itu adalah tahun Hijriah, maka setara dengan tahun 1522 Masehi.
Masjid Saka Tunggal didirikan oleh Kyai Mustolih yang hidup pada masa Kesultanan Mataram Kuno. Oleh karena itu arsitek masjid, ornamen, dan tradisi yang ada di sekitar masjid sangat kental dengan budaya Jawa. Saat itu kehidupan masyarakat di Desa Cikakak masih belum teratur dan banyak melakukan penyimpangan. Masjid Saka Tunggal didirikan Kyai Mustolih sebagai media dakwah. Pendekatan komunikasi lintas budaya dan persuasif dilakukan Kyai Mustolih, sehingga beberapa tradisi Islam dan Jawa menjadi satu.
Ada yang menarik dari Masjid Saka Tunggal dibandingkan masjid-masjid lain di Indonesia. Sekawanan monyet ekor panjang berada di sekitar masjid. Ratusan kawanan monyet itu tinggal di hutan dekat masjid. Monyet-monyet itu akan turun dari bukit menuju jalanan dan seputaran masjid jika ada pengunjung datang membawa pisang atau kacang goreng. Menurut legenda yang dipercaya masyarakat Desa Cikakak, kawanan monyet itu adalah para santri pengikut Kyai Mustolih yang berperilaku nakal dan tidak taat beribadah, sehingga dikutuk menjadi monyet.
Masjid Saka Tunggal ditetapkan pemerintah sebagai Benda Cagar Budaya dan dilindungi oleh Undang-Undang RI No 5 Tahun 1992. Masyarakat Desa Cikakak menjadikan Masjid Saka Tunggal sebagai objek wisata religi, sejarah, budaya, dan edukasi. Dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), pengunjung Masjid Saka Tunggal yang ikonik ini setiap harinya cukup banyak. Apalagi jika hari Sabtu dan Minggu, pengunjung bisa mencapai ribuan orang.
Tradisi Seputar Masjid
Masjid sebagai tempat beribadah umat Islam tidak berarti menjauhkan diri dari urusan tradisi. Masjid Saka Tunggal yang didirikan oleh Kyai Mustolih justru mempunyai tradisi yang tidak dimiliki masjid lain. Masjid ini tidak menggunakan pengeras suara seperti layaknya masjid lain. Hal ini menjadi tradisi masyarakat setempat yang mengumandangkan azan dengan empat orang muazin (pelantun azan) tanpa pengeras suara, namun terdengar nyaring di desa.
Tradisi dimulai dari dalam masjid. Kyai Mustolih meninggalkan jejak budayanya melalui pakaian yang digunakan imam masjid (pemimpin sholat) dan muazin. Mereka tidak menggunakan kopiah atau peci, tetapi memakai udeng atau ikat kepala. Tradisi melantunkan kidung bahasa Jawa juga dilakukan dilakukan para jamaah shalat Jumat sebagai bentuk zikir dan shalawat. Tradisi yang disebut ura-ura ini menggunakan campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa.
Masyarakat Desa Cikakak juga memiliki tradisi dan ritual Jaro Rojab, yaitu tradisi mengganti pagar bambu Masjid Saka Tunggal dan area makam Kyai Mustolih yang terletak dekat dengan masjid. Ritual ini dilakukan oleh seluruh warga Desa Cikakak di tengah modernitas yang mengelilingi mereka. Biasanya ritual Jaro Rojab juga dihadiri oleh utusan dari Keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Tradisi mengganti pagar bambu masjid dan makam ini dilaksanakan setiap tanggal 26 bulan Rajab kalender Jawa. Pagar bambu sepanjang 300 meter ini biasanya dapat diselesaikan tidak terlalu lama, karena dikerjakan secara gotong royong oleh seluruh warga desa. Kegiatan diakhiri dengan pembagian nasi penggel yang terbungkus daun jati dan telah didoakan oleh tiga juru kunci Masjid Saka Tunggal.
Kegiatan lain yang dilaksanakan di sekitar masjid adalah Festival Rewanda Bojana, yaitu memberi makanan buah dan sayuran kepada kawanan monyet di sekitar Masjid Saka Tunggal. Menurut Ketua Pokdarwis Desa Wisata Cikakak, Suto Handoyo, Rewanda Bujana bukanlah bagaian dari tradisi. Festival memberi makan kepada monyet pertama kali digagas oleh aliansi wisata dan Dinas Pemuda, Olah Raga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Banyumas.
Festival Rewanda Bujana dikemas dalam bentuk gunungan buah dan sayuran yang dihias warna-warni. Festival ini diikuti oleh peserta dari seluruh desa yang ada di Kecamatan Wangon serta dilombakan agar lebih menarik dan memotivasi masyarakat. Menurut Suto Handoyo, Rewanda Bujana biasanya diadakan pada bulan Oktober atau November saat musim kemarau. Maksud dan tujuan festival ini memang memberi makan monyet yang kesulitan mendapat makanan di musim kemarau. Namun seiring bergulirnya waktu, Rewanda Bujana menjadi daya tarik wisata yang banyak disaksikan wisatawan dari luar Desa Cikakak.
Tradisi Berkomunikasi
Komunikasi hakikatnya adalah aktivitas tentang penyampaian pesan, tujuan pesan, dan kepada siapa pesan disampaikan. Berkomunikasi dapat terjadi dimana saja, tak terkecuali dalam ruang tradisi. Masyarakat Desa Cikakak telah lama melakukan praktik komunikasi yang berbalut tradisi. Ura-ura di dalam Masjid Saka Tunggal adalah sebentuk upaya merawat tradisi berkomunikasi secara transendental dan sosial kultural.
Zikir yang dikemas dalam bahasa Arab dan kidung dalam bahasa Jawa secara transendental adalah pujian terhadap keagungan Tuhan. Sedangkan secara sosial adalah ajakan kepada masyarakat dalam masjid untuk selalu ingat kepada Sang Pencipta lewat pendekatan kultural. Dengan demikian, ura-ura adalah bentuk akulturasi dalam tradisi berdoa yang sarat dengan kearifan lokal.
Begitu pula dengan tradisi Jaro Rojab. Ritual penggantian pagar masjid dan makam ini dilakukan dengan cara diam. Masyarakat tidak boleh berbicara selama mengerjakan pagar atau biasa disebut laku bisu (ngabisin). Mereka hanya boleh menggunakan bahasa isyarat atau nonverbal. Selain itu, masyarakat juga tidak diperkenankan menggunakan alas kaki dan wajib berwudu sebelum memulai tradisi ini sebagai simbol kesucian diri.
Berkomunikasi secara interpersonal memang tidak harus dengan ucapan kata-kata. Terbukti, masyarakat Desa Cikakak puluhan tahun menggunakan isyarat nonverbal sebagai sarana komunikasi dalam tradisi Jaro Rojab. Dan mereka saling memhami maknanya.
Komunikasi juga tak selamanya berlangsung antara sesama manusia. Dalam Festival Rewanda Bujana, masyarakat Desa Cikakak mencoba berkomunikasi dengan hewan monyet ekor panjang yang selama ini setia berada di lingkungan Masjid Saka Tunggal. Mereka berusaha berempati dengan kawanan monyet yang kesulitan mendapat makanan di musim kemarau. Tidak tertutup kemungkinan, festival yang semula bertujuan sebagai atraksi wisata; suatu saat akan menjadi tradisi turun -temurun.
Tradisi, pariwisata, dan modernitas memang tidak perlu dipertentangkan. Sebab tradisi dan modernitas memiliki ruang sendiri dalam kehidupan dan pola komunikasi antarmanusia. Tradisi di Masjid Saka Tunggal menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam tiga dimensi waktu dulu, kini, dan akan datang. Maka, benar kata Filsuf Skotlandia David Hume, tradisi adalah petunjuk yang hebat untuk kehidupan manusia.[T]