PERTAMA KALI saya merasakan suasana Hari Raya Nyepi awal tahun 2016. Saat itu saya baru memasuki semester dua di universitas negeri di Singaraja. (Saya masuk kuliah pertengahan tahun 2015, tepatnya bulan Agustus, sedangkan Nyepi di tahun itu jatuh di bulan Maret, lima bulan sebelum saya merantau ke Singaraja.)
Nyepi tahun 2016—sekali lagi untuk pertama kalinya—membuat saya berdebar, kaget bukan main. 24 jam, kota yang luasnya hanya sebundar koin 500-an ini (Singaraja memang kota yang kecil dan sempit) benar-benar sepi, gelap, seperti tak ada kehidupan. Di malam hari tak ada lampu menyala, apalagi warung kopi, angkringan, atau pedagang nasi kuning di sepanjang Jalan A. Yani.
Bali benar-benar “mati” total. Bandara-pelabuhan-terminal di tutup. Orang-orang ngendon di rumah masing-masing. Tak ada suara apapun kecuali serangga-serangga dan sesekali burung malam—juga suara Pecalang kadang-kadang. Sangking sepinya saya bahkan mendengar suara dengkuran tetangga sebelah.
(Nyepi adalah hari raya. Dan hari raya, kata Goenawan Mohamad, tentu saja lebih dari sekadar sebuah peristiwa, sebuah kejadian yang membawa sesuatu yang tak diduga, tak direncanakan—sesuatu yang tak dialami secara rutin. Hari raya memang identik dengan merayakan kemenangan. Penyambutannya begitu meriah: seolah hari raya menjadi hari perayaan tersibuk sedunia. Tetapi itulah iman, membuat yang muskil, yang keras, yang suci, dan juga yang kejam, dijalani.)
Dan perayaan Nyepi memang tak pernah sepi—setidaknya Nyepi yang pernah saya rasakan kecuali saat Pandemi Covid-19. Sehari sebelum Nyepi, arak-arakan ogoh-ogoh bisa di mana-mana. Di jalan-jalan besar, sampai di gang-gang sempit dan busuk. Di sepanjang Jalan A. Yani Singaraja dari Anturan, Lovina, Banjar, Seririt, sampai Gilimanuk, biasanya macet. (Arak-arakan dimulai sekitar pukul 3 sore sampai pukul 9 malam.) Begitu juga di Jalan Ngurah Rai (Tugu Singa dan Taman Kota) dan Jalan Gajah Mada. Belum lagi di desa-desa pinggiran Kota Singaraja. Arak-arakan ogoh-ogoh seperti menjadi hal wajib menjelang Nyepi.
Dan Nyepi tahun ini (2023), saya memutuskan untuk berkunjung ke Pemuteran, Gerokgak, menginap di rumah salah seorang senior saya di himpunan.
Saya tak berani tidur sendirian di kontrakan. Saya membayangkan akan menjadi santapan renyah hantu-hantu jika nekad tidur sendirian dengan keadaan gelap gulita selama 12 jam. (Pengalaman saya di tahun 2016, saat saya Nyepi bersama teman-teman di kontrakan Jalan Sahadewa Gang 6, belakang Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam itu, kami mendapat beberapa teror mistis. Salah satunya, batu sebesar kepalan tangan balita tiba-tiba jatuh dari atas genting. Anehnya, setelah kami cek keesokan harinya, tak ada genting yang berlubang atau rusak. Dari mana asal batu itu? Masih menjadi misteri sampai sekarang.)
Jadi, keputusan saya sudah tepat, mengingat, di Pemuteran, di rumah seorang yang sudah saya anggap guru itu, selain mendapat jaminan rasa aman, saya juga akan, tentu saja, mendapat banyak informasi dan ilmu pengetahuan—setidaknya kalau dua hal itu luput, saya masih akan dapat humor-humor baru yang barangkali bisa saya jadikan sebagai bahan tulisan. Tapi, ada yang lebih penting daripada itu, di sana, saya bisa makan tiga kali sehari—gratis.
Tetapi, seingat saya, di mana pun itu, saat Nyepi (yang 24 jam itu), entah kenapa saya selalu menghabiskan lebih bayak buku bacaan daripada hari-hari biasa. Mungkin karena sepi. Bisa jadi karena tidak boleh keluar rumah. Tapi ini yang mungkin menjadi alasan kuat: tak ada internet; tak ada media sosial. Ya, internet (atau media sosial) memang punya sisi antagonis. Di satu sisi ia memberi banyak kemudahan, kesenangan, tapi di sisi lain ia juga melenakan, menyita banyak waktu dan biaya, membuat kita malas, dan tentu saja, banyak hal tertunda karenanya. Itu buruk. Candu. Dan candu itu tidak baik. Media sosial itu Dajjal—oh, ralat: maaf, saya terlalu bersemangat.
24 jam tanpa internet: tanpa IG, YouTube, Facebook, WA, TikTok; tanpa video lucu, joget-joget semlohe, menanggapi komentar di postingan ini-itu, jujur saja, tanpa itu semua saya tak bisa melakukan apapun kecuali membaca buku. (Seorang teman awalnya mengaku stres karena selama 24 jam ia tak bisa melakukan apa-apa. Maka saya sarankan belilah buku menjelang Nyepi nanti, tapi ia menjawab: “Kali ini aku sudah mengunduh banyak film Korea. Ini kesempatanku untuk segera menyelesaikan drama Korea yang belum sempat aku tonton”.)
Ya, Nyepi yang sudah-sudah, selama 24 jam, saya bisa membaca setidaknya dua buku jika itu gendut, dan tiga sampai empat jika buku itu krempeng. Saya membaca buku dari pagi sampai larut malam, non stop. (Oh iya, sebelum Nyepi saya sudah menutup celah-celah dinding di kamar saya supaya saya tetap bisa menyalakan lampu saat malam hari tapi cahayanya tak sampai keluar—dan sejauh ini cara itu berhasil, setidaknya saya tak pernah punya pengalaman ditegur Pecalang karena itu.)
Nyepi tahun 2021, misalnya, saat saya masih tinggal di Jalak Putih, dengan susah payah saya menyelesaikan Orang-orang Oetimu-nya Kaka Felix dan dua buku tipis dari Gabriel Garcia Marquez (Caldas) dan Jorge Luis Borges (Sejarah Aib). Oetimu, 1998… satu jam sebelum para pembunuh itu menyerang rumah Martin Kabiti, di malam final Piala Dunia…, begitu Kaka Felix mengawali novelnya yang menjadi pemenang 1 sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2018 itu. Dan “kepahlawananku tidak membiarkan aku mati,” kata Marquez. Dan tidak pelak lagi, Sejarah Aib adalah “hiburan ringan” kelas wahid.
Tetapi begini, soal membaca, bisa dibilang saya termasuk orang yang terlambat dalam membaca buku (khususnya sastra, sejarah, dan esai-esai storytelling—tiga bacaan yang saya gemari). Dan itu bukan karena saya malas (sedikit, mungkin), tapi memang sejak kecil saya tak pernah dekat dengan buku—karena memang tak punya dan tak ada.
Benar, di masa kanak saya memang tak punya riwayat membaca buku. Dan itu bukan karena tak ingat, tapi memang tak punya ingatan tentang itu. Satu-satunya ingatan tentang membaca, kalau bukan buku-buku pelajaran (LKS), ya itu, komik hantu, komik siksa neraka, kisah nabi, buku saku Pramuka, dan buku kumpulan lirik lagu pop (itupun kalau masuk dalam kategori bacaan).
***
Sebagai anak yang tumbuh di kampung miskin tegalan pelosok, tentu kami tidak punya riwayat membaca Majalah Bobo, misalnya. (Jangankan membaca, sekadar melihat sampulnya saja tak pernah—sampai sekarang.) Atau apapun bacaan yang sedang tren dan beredar di masyarakat kota (urban) (seperti Lupus atau novel-novel stensilan Fredy S) tak pernah masuk kampung kami.
Bapak kami petani totok, yang tangannya sekeras kayu, mana mungkin mereka tahu buku bacaan. Tak ada riwayat orangtua di kampung kami membelikan buku bacaan untuk anaknya (yang pada dasarnya banyak orangtua memang membenci itu—banyak orangtua melarang anaknya sekolah. Itulah alasan kenapa ada teman seumuran saya buta huruf sampai sekarang). Toh kalau pun ada, di mana mereka harus beli? Menyusahkan saja kalau harus ke kota hanya untuk membeli barang yang mereka benci.
Dan di sekolah, ya Tuhan, sekolah kami tak punya perpustakaan. Guru-guru kami lebih banyak baca kitab suci daripada baca buku bacaan. Dan itu baik, walaupun bukan yang terbaik. Padahal, idealnya, sekolah lah yang seharusnya—dan bisa—menjembatani bacaan anak-anak kampung miskin seperti kami.
Namun nyatanya, sesamar ingatan, dari SD sampai SMA, saya tak pernah menemukan nama-nama seperti Chairil, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, atau buku-buku terbitan Balai Pustaka lainnya di rak di dalam kantor sekolah kami—karena sekolah tak cukup ruangan untuk menaruh rak buku, maka rak itu ditaruh di dalam kantor. Hasilnya, alih-alih seperti perpustakaan, rak itu justru lebih berfungsi sebagai skat ruangan para guru. Miris memang.
Jadi, kami tak punya kenangan (ingatan) apapun tentang bacaan masa kecil-remaja, di rumah maupun di sekolah. (Oh, maaf, saya lupa, tapi kami membaca kitab-kitab klasik tentang tauhid (Aqidatul Awam), fiqih (Mabadi’ Fiqhiyah), Fasholatan, nahwu shorof dst., Hanya itu.)
Dan harus saya akui, kami memang lebih banyak menyerap pengetahuan dari budaya massa (wayang, tayub, campur sari, dangdut, TV utamanya dengan segala yang ada di dalamnya, musik pop Melayu cengeng, sepak bola, dan belakangan musik koplo) alih-alih tumbuh bersama buku. Kami tahu banyak hal dari TV. (Walaupun tak benar-benar kami miliki, TV adalah segalanya bagi kami—juga perpustakaan tentu saja.)
Kami belajar Bahasa Indonesia nyaris pertama kali dari TV dan lagu-lagu pop. Kami tahu soal-soal romantis dan patah hati dari Evie Tamala (Lilin Putih, Selamat Malam, Aku Rindu Padamu, Kandas, Rembulan Malam dst…) dan dari lagu-lagu dangdut (atau orkes koplo) juga pop Melayu ketengan yang hit di awal 2000-an, alih-alih tahu dari puisi-puisi Chairil, Rendra atau Sapardi.
Maka sekarang, itulah alasan saya selalu iri dengan teman, lebih-lebih para penulis, yang bisa bercerita tentang judul-judul buku dan nama-nama penulis kondang di masa kecilnya; mereka yang bisa menyusun kembali kisah-kisah membaca pertamanya bersama bapak atau ibu atau kakek-neneknya; mereka yang sudah membaca buku-buku sastra keren di masa remajanya; mereka yang di usia SMA sudah bisa mencanangkan hendak jadi penulis karena mengidolakan seorang penulis (bagian ini saya curi dari esai Mahfud Ikhwan), atau sejak SMP memang sudah menjadi penulis seperti Pimred saya di tatkala.co—tempat saya bekerja dan tulisan ini dimuat.
Dan waktu SMP, saya mulai membaca buku bukan karena sesuatu yang disengaja. Tapi lebih karena coba-coba. Waktu itu teman-teman di sekolah sedang membicarakan film liburan berjudul Laskar Pelangi. Dan salah seorang teman nyeletuk, “Aku punya bukunya di rumah. Lengkap. Punya kakakku.” Tapi sayang, setelah kami bertanya apakah kamu membaca semuanya? Kami segera kecewa karena sudah tahu jawabannya.
Tetapi, ya, dari obrolan itulah saya mulai penasaran. Maka dengan sedikit malu-malu dan berdebar, setelah pulang sekolah saya menyapanya dan… Tunggu dulu, saya tarik napas dulu, ini tak segampang yang Anda bayangkan. Teman saya itu, adalah perempuan yang saya taksir. Jadi, agak gemetaran saya berkata, “Boleh tidak aku pinjam bukumu—yang lengkap itu?”
***
Akhirnya saya dapat. Empat buku. Lengkap. Itu buku pertama yang saya baca dengan rasa bahagia yang sulit saya gambarkan (kalau saja saat itu saya sudah kenal Iwan Fals, segera saya akan melantunkan Buku Ini Aku Pinjam).
Buku Andrea Hirata itu: Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. (Dan waw, ternyata membaca itu asyik.) Sampai menjelang tes masuk perguruan tinggi (SBMPTN 2014—dan saya tidak lolos), saya mulai keranjingan membaca novel-novel Islami populer Habiburahman El Shirazy yang tokoh-tokohnya sangat pintar-baik-saleh (manusia sempurna tanpa cacat itu).
Atau novel-novelnya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra yang judulnya agak seram seperti mau kiamat: Bulan Terbelah di Langit Amerika. Atau novel-novel Asma Nadia yang selalu hepi ending. Oh, saya juga membaca man jadda wajada–eh, maksud saya, novelnya A. Fuadi yang itu…apa judulnya?
Barangkali, dalam bayangan saya, judul-judul buku di atas akan segera disisihkan oleh Sunlie Thomas Alexander dari rak bukunya—dan ia tentu sangat bisa menulis uraian panjang akan hal itu dan dengan senang hati akan mendebat orang-orang yang mencoba menyebut judul-judul di atas sebagai sastra. Bagaimana tidak, Sunlie termasuk kritikus sastra serius yang saya idolakan—Ia bukan orang sembarangan.
Tahun 2019, esainya yang berjudul Bualan Warto Kemplung, Cerita Bersambung Mustofa Abdul Wahab terpilih sebagai pemenang pertama Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Dan tahun 2020, bukunya yang berjudul Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu menerima Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2020 untuk kategori esai/kritik sastra.
Tapi tunggu dulu. Saya teringat Mahfud Ikhwan yang bertanya dalam kepalanya sendiri: “…Dan siapa kamu dan apa hakmu mencegah orang menganggap ini karya sastra dan ini bukan, atau sebaliknya, yang menganggap bahwa semua yang ditulis itu karya sastra? Bagaimana kalau itu betul-betul menggetarkan hati orang yang membacanya?”
Saya tak tahu. Yang jelas, beberapa judul novel yang saya sebut dan saya baca tentu bukan milik saya sendiri. Semua itu saya pinjam dari seorang teman (uang saku saya saat SMA hanya cukup untuk membeli sebungkus mie instan, dua gorengan, dan segelas air mineral). Ya, saya tak mampu beli buku—dan saya dendam akan hal itu, hingga saya masuk kuliah dan menebusnya dengan brutal.
Maksuk kuliah, selain merasa lega karena terbebas dari kursus menjahit dan komputer (dua hal yang saya takuti semasa SMA), menjadi mahasiswa juga merupakan kesempatan bagi saya untuk banyak membaca dan membeli buku. Saya mendapat beasiswa—tentu saja, uang itu lebih banyak saya belikan buku daripada pakaian model terkini.
Dengan uang beasiswa itu saya bertemu sastrawan—sekadar menyebut beberapa nama—macam Pram, Eka Kurniawan, Putut EA, Ahmad Tohari, dan raksasa sastra dunia macam Tolstoy, Gorky, Borges, Marquez, Hemingway, Orwell, atau penyair macam W.S Rendra, Chairil, Wiji Thukul, Sapardi, atau cerpenis macam Seno Gumira, Danarto, A.A Navis, Dee Lestari, dan pemikir (politisi) seperti Soekarno, Hatta, HOS Cokro, Tan Malaka, sampai pemuda gelisah (bingung) macam Hok Gie dan Ahmad Wahib.
Belakangan saya membeli tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi, Nurcholis Madjid, beberapa buku filsafat, sejarah, dan kumpulan esai. (Saya punya riwayat mencuri beberapa buku di perpustakaan—ah, ini aib.)
Tetapi, ini penting Anda ketahui, saya benar-benar hanya mengingat nama-nama itu, biar tampak keren saja. Padahal, isi bukunya tentu sudah lama lenyap dalam ingatan saya—saya bukan pembaca buku yang baik.
***
Sedangkan Nyepi kali ini, di Pemuteran, saya membawa sebuah buku kumpulan esai sastra dan teater Zen Hae, Sembilan Lima Empat. Sejak dari kontrakan saya mengira dapat menyelesaikan buku setebal 290-an halaman itu dalam sehari semalam. Tetapi saya salah, tidak seperti Nyepi yang lalu-lalu, nyatanya saya hanya mampu menyelesaikan enam esai dari delapan belas esai yang termuat dalam buku yang disunting Sunlie Thomas Alexander itu. Artinya, satu buku pun tak dapat saya selesaikan.
Saya hanya membaca dari pagi sampai siang hari, selebihnya asyik ngobrol dengan senior saya tentang banyak hal, termasuk soal bahan bacaan.
Begitulah, saya selalu Nyepi bersama kata-kata. Suasana hening, tenang, tanpa suara kendaraan, memang suasana yang bagus untuk menyelesaikan buku bacaan—walaupun bagi beberapa teman, itu juga kesempatan bagus untuk menonton drama Korea secara maraton.
Tepat setelah saya selesai membaca esai Dari Seberang Sekat Berkerawang—dalam esai ini Zen Hae bicara tentang sastra dan erotisme—hari mulai gelap. Tak ada lampu menyala. Hening. Sepi. Kami mengambil wudhu, sholat Maghrib, ngobrol-ngerokok-ngopi, sholat Isya dan Tarawih, baru makan malam.
Hari baik: umat Hindu selesai Nyepi, umat Muslim mulai puasa Ramadan—sampai sebulan mendatang. Dan tampaknya asyik juga kalau sambil menunggu buka puasa membaca buku di beranda. Layak dicoba. Siapa tahu, dari itu lahir tulisan: Ngabuburit Bersama Kata-kata.[T]