SEHARI SEBELUM UPACARA pengrupukan, saya membaca sebuah postingan di instagram Unud (Universitas Udayana). Unud adalah universitas terkenal di Bali yang saat ini sedang hangat dibicarakan karena rektornya menjadi tersangka kasus korupsi dana SPI.
Tunggu dulu! Bukan info itu ya yang saya baca dengan serius, hehe, tetapi tentang ogoh-ogoh di Bali.
Dalam unggahan tersebut, menurut Nanang Sutrisno, Dosen Antropologi Budaya FIB Unud, ogoh-ogoh dikategorikan seni Bebali, bukan pemujaan atau persembahan. Dari beberapa sumber yang ia himpun, ogoh-ogoh pertama kali muncul sekitar tahun 1983 sebagai ungkapan suka cita masyarakat Bali atas penetapan Nyepi sebagai hari libur nasional.
Lebih lanjut dikatakan ogoh-ogoh diperkirakan terinspirasi oleh tradisi pada zaman Dalem Balingkang. Ada juga yang mengatakan ogoh-ogoh terinspirasi oleh Ngusabha Ndong-nding di Desa Selat Karangasem.
Informasi itu memantik saya untuk mengetahui kapan pertama kali ada ogoh-ogoh di Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Bali. Sebuah desa yang indah. Desa yang selalu menyejukkan mata berkat hamparan pohon cengkeh di sepanjang kiri kanan jalan. Di Tajun juga berdiri Pura Pucak Sinunggal, sebuah pura di atas bukit yang hijau. Umat Hindu Bali sering mohon restu keselamatan. Tidak jarang juga mohon jabatan di pura yang dulu dipuja oleh raja-raja Bali Utara.
Tetapi sebelum saya bercerita tentang kapan pertama kali ada ogoh-ogoh di Tajun, saya ingin berbagi sedikit tentang pawai ogoh-ogoh di Tajun yang berlangsung gegap gempita saat pengrupukan, Selsa 21 Maret 2023.
Trotoar Jalan Tukad Jungkaang sampai dengan perempatan desa, rute pawai, telah ramai sejak pukul 14.00 WITA, satu jam sebelum pawai dimulai. Saya pun menjadi salah satu dari kerumunan ratusan warga Tajun yang menanti arak-arakan 19 ogoh-ogoh.
Saya memilih lokasi di bawah pohon beringin dekat jalan menuju ke Pura Taman Suci. Di lokasi ini biasanya atraksi ogoh-ogoh akan dipentaskan selain di perempatan desa (pempatan agung).
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya barisan pengarak ogoh-ogoh yang didominasi oleh pemuda-pemudi mulai nampak. Terdengar sayup-sayup gamelan bleganjur. Setelah semakin mendekat, saya dan warga mulai berdiri menyaksikan pawai ogoh-ogoh. Atraksi arak-arakan pun tidak luput dari mata kamera. Semua ingin mengabadikan momen pawai ogoh-ogoh yang sempat mati suri akibat pandemi.
Sampai tiba giliran ogoh-ogoh Yowana Kerti, Dadia Pudeh Pasek Gelgel Desa Adat Tajun. Ogoh-ogohnya berbentuk raksasa babi bernama ‘Bawi Srenggi’. Ogoh-ogoh ini dirancang oleh Gede Sisyawan. Awan begitu ia sering dipanggil di Tajun dikenal piawai membuat ogoh-ogoh. Bawi Srenggi adalah hasil karyanya yang ke-8 sejak tahun 2013.
Atraksi ogoh-ogoh Yowana Kerti benar-benar menjadi pusat perhatian. Yowana Kerti tampil beda karena satu-satunya menampilkan fragmen tari. Digawangi oleh I Ketut Arya Suastana, S.Pd.B., yang berperan sebagai Raja Sri Aji Pengukuhan, Yowana Kerti sukses melakonkan cerita Bawi Srenggi.
Penonton ikut tegang saat adegan Bawi Srenggi mengejar dan memaksa Dewi Sri untuk menjadi miliknya. Pun saat adegan pertarungan raja dengan Bawi Srenggi. Di sela-sela ketegangan itu, anak-anak muda Yowana Kerti yang berperan sebagai petani juga sukses mengocok perut penonton berkat beberapa adegan lucu.
Penampilannya yang memukau kemudian diapresiasi oleh Made Sumarka, Bendesa Adat Tajun terpilih periode 2023-2028. Ia menyampaikan beberapa kalimat pujian yang kemudian diiringi tepuk tangan riuh warga. Ia mengatakan desa adat akan terus mendukung kegiatan ogoh-ogoh di Tajun untuk memberikan ruang kreatifitas anak-anak muda.
Sayangnya keterbatasan pengeras suara menjadikan sinopsis cerita dan dialog antartokoh kurang terdengar dengan baik. Pada kesempatan ini saya akan sampaikan sinopsis fragmentari Bawi Srenggi. Saya sarikan dari naskah yang disusun oleh Yowana Kerti. Begini ceritanya.
Dahulu di Bali ada sebuah kerajaan yang bernama Medang Kemulan. Sang raja, Sri Aji Pengukuhan, bersama rakyatnya yang sebagian besar sebagai petani padi dilimpahkan kesuburan tanah dan hasil bertani yang melimpah. Semua itu berkat anugerah Dewi Sri, Dewi yang paling cantik di surga.
Karena kecantikannya itu, raksasa bernama Bawi Srenggi ingin mempersunting Dewi Sri. Dewi Sri menolak dan menyamar menjadi padi di wilayah Medang Kemulan. Bawi Srenggi yang mengetahuinya marah lalu merusak tanaman padi milik petani di Medang Kemulan.
Raja Sri Aji Pengukuhan murka karena Medang Kemulan diobrak-abrik oleh Bawi Srenggi. Terjadilah pertempuran hebat. Raja akhirnya mampu membunuh Bawi Srenggi dengan bambu runcing kuning.
Setelah Bawi Srenggi tewas akhirnya ekornya berubah menjadi tikus, kukunya menjadi kumbang, dan bulunya menjadi wereng. Dan hewan-hewan itu semua diyakini menjadi hama padi sampai sekarang.
Lomba ogoh-ogoh di Tajun tahun 1994 di Desa Tajun | Dokumentasi I Nyoman Nurdiasa
Cerita Bawi Srenggi tersebut mengingatkan warga Dadia Pudeh yang dulu sempat menjadi petani padi di sawah di wilayah Subak Poh Tanduk, di Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Oleh karena keterbatasan air, mulai tahun 1975 sawah akhirnya dialihfungsikan menjadi kebun cengkeh.
Sekarang kembali ke tujuan awal saya, yaitu tentang sejarah ogoh-ogoh di Tajun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga. Seingat Nyoman Darmada S.Pd. (63) pertama kali ada ogoh-ogoh di Tajun tahun 1989.
Ia saat itu bersama almarhum ayahnya membuat ogoh-ogoh berwujud celuluk. Rangkanya menggunakan sangkar ayam, sedangkan susunya dibuat dengan jantung pisang. Ogoh-ogoh itu diarak dengan beberapa pemuda dari rumahnya di Bukit Pudeh kemudian ke jalan Tampullawang (jalan ke Pura Pucak Sinunggal) lalu ke Tukad Jungkaang sampai ke perempatan desa.
“Saat itu jalan di Tampullawang belum diaspal,” ujarnya.
Setahun berikutnya, ogoh-ogoh di Tajun dilanjutkan oleh Seka Truna Dadia Pudeh yang diketuai oleh Ketut Sukewana (sekarang Kelihan Banjar Dinas Pudeh). Pembuatan ogoh-ogoh berlokasi di Pura Subak Abian Bukit Pudeh. Perancangnya Wayan Sukadana (53).
“Bentuk persisnya saya sudah lupa. Yang jelas kami buat dengan bahan seadanya, rangkanya dari anyaman bambu, kepala ogoh-ogoh hasil modifikasi kelapa yang dipasangi stang kayu sehingga bisa digerakkan,” kata Wayan Sukadana mengenang masa mudanya dulu.
Ternyata anak-anak muda Tajun dulu tidak kalah kreatifnya dengan generasi milenial sekarang. Dulu mereka sudah berinovasi untuk menggerakkan bagian tertentu dari ogoh-ogoh dengan bahan seadanya. Sekarang sudah banyak memanfaat teknologi, seperti sistem hidrolik untuk menggerakkan ogoh-ogoh.
Setelah itu, seingat Nyoman Darmada juga Wayan Sukadana, ogoh-ogoh di Tajun tetap ada. Dibuat oleh kelompok pemuda atau masyarakat. Sampai pada tahun 1993, sekolah mulai ikut meramaikan. SDN 1 Tajun yang berlokasi di Tampullawang (sekarang Pasar Desa Tajun) membuat ogoh-ogoh celuluk dalam posisi duduk.
Nyoman Darmada yang saat itu menjadi guru di SDN 1 Tajun sebagai koordinatornya. Ia lantas bersama anak-anak didiknya mengarak ogoh-ogoh sampai ke perempatan desa. Oleh karena di arak malam hari, beberapa siswa ada yang ditugaskan membawa obor. SMP Negeri 3 Kubutambahan turut meramaikan saat itu. Ogoh-ogoh dibuat oleh oleh Ketut Budiana (62) bersama anak-anak binaannya.
Kemudian pada tahun 1994, ogoh-ogoh semakin marak dan meriah berkat gebrakan Drs. Made Suyasa, M.Si., Perbekel Tajun saat itu. Ia membuat gebrakan baru dengan mengadakan lomba ogoh-ogoh. Lomba diikuti oleh empat peserta, yaitu ogoh-ogoh dadia Pudeh yang akhirnya keluar sebagai juara I, Banjar Sampalan sebagai juara II, SMPN 3 Kubutambahan sebagai juara III, dan Cipakan sebagai juara IV.
Sebenarnya Banjar Tegal (sekarang Desa Mengening, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng) saat itu terdaftar sebagai peserta. Namun, sesampainya di Pertigaan Cipakan Tajun (dekat Pos Polisi Tajun) ogoh-ogoh Banjar Tegal seperti ‘hidup’.
Ogoh-ogoh Pemuda Cipakan Turut Meramaikan Parade (21/03)
Orang-orang mengatakan ogoh-ogoh Banjar Tegal ‘nadi’. Para pengarak ogoh-ogoh Banjar Tegal mengalami kesurupan. Berkali-kali ogoh-ogoh menyeruduk salah satu rumah warga. Ayah saya menceritakan salah satu warga Banjar Tegal bernama Parda bahkan tidak sadar memakan ayam hidup. Itu membuat situasi semakin mencekam. Warga Banjar Tegal akhirnya tidak jadi melanjutkan arak-arakan sampai ke pusat desa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Saat itu saya baru berumur 4 tahun. Sama sakali saya tidak mengingat kegiatan parade ogoh-ogoh saat itu. Satu-satunya yang teringat adalah halaman rumah orang tua saya dijadikan tempat pembuatan ogoh-ogoh masyarakat Cipakan.
Dengan pertimbangan kondusifitas desa, setelah itu tidak ada lagi pawai Ogoh-ogoh di Tajun. Arak-arakan ogoh-ogoh baru kembali ada di Desa Tajun pada tahun 2013. Hanya ada dua ogoh-ogoh saat itu, yaitu ogoh-ogoh Dadia Pudeh dan STT Kerta Jati. Sejak itu arak-arakan ogoh-ogoh di Tajun terus berlanjut sampai sekarang. Pesertanya pun semakin bertambah dan tentunya selalu meriah.
Begitulah cerita singkat ogoh-ogoh di Tajun. Semoga tujuan upacara pengrupukan, yaitu menetralisasi energi-energi negatif baik di alam semesta (buana agung) dan dalam diri manusia (buana alit) yang dibarengi dengan pawai ogoh-ogoh bisa terwujud di Desa Tajun.
Semoga Desa Tajun semakin indah, aman, dan tentram seperti harapan dan pesan yang tertulis pada spanduk dan kaos pengarak ogoh-ogoh. Semoga hasil perkebunan melimpah ruah tanpa diserang hama seperti makna simbolik fragmen tari Bawi Srenggi sehingga Desa Tajun semakin sejahtera. [T]