KOPLAK membuka lembar kertas rokoknya, lalu mengambil sejumput tembakau, menaruhnya di kertas, dan menggulungnya, nikmat rasanya.
Di usia setengah abad ini, dia merasa hidupnya makin menggairahkan. Ia bersyukur telah lolos dari gering gumi, bencana penyakit C-19 yang benar-benar menghajar seluruh kehidupan, mimpi, dan pikiran-pikirannya yang kadang-kadang nakal dan aneh. Terperangkap. Sembab. Hidup seperti berhenti bernapas. Teror terus mengepung, setiap hari ada saja orang mati, jumlahnya makin hari makin banyak. Teror terkejam di dalam sejarah kehidupan.
Koplak menarik napas, baru disadari bahwa kenikmatan dalam hidup itu begitu sederhana. Seperti misalnya, melinting rokok dengan tembakau yang ditanam dan diracik sendiri, makan makanan di warung-warung kecil di pinggi jalan-jalan desa, dan hubungan yang harmonis dengan teman-temannya semasa kecil, juga teman-teman minum kopi atau sesekali meneguk tuak asal Karangasem.
“Hidup yang seimbang itu perlu terus diperbaiki,” kata seorang teman saat minum tuak. Koplak pura-pura batuk. Lalu terdiam.
Ya, belakangan ini, karena kesibukannya sebagai kepala desa, dia jarang sekali memiliki waktu untuk berdialog dengan leluhurnya, juga Hyang Widhi di Sanggahnya sendiri. Pekerjaan Kades saat ini ternyata lumayan rumit, karena adanya dana desa yang harus dikelola, dicatat, dan dipergunakan dengan baik. Pokoknya rumit, kadang sempat juga membuat perutnya melilit ketika ada beberapa oknum mencoba menggodanya.
Koplak kembali memandang lintingan rokoknya yang sudah jadi. Harum tembakau memasuki dan mengepung hidungnya. Belum ada niat untuk mengambil korek lalu menyulutnya. Koplak menarik napas.
Setiap pagi Koplak memang rajin membuka media sosial, sehingga beragam hal bisa diketahuinya sebelum turun dari kasur seperti misalnya para bule yang ugal-ugalan di jalan dan merasa lebih bangsawan dari bangsawan.
Sebetulnya ini bukan persoalan baru. Sebagai lelaki dari desa yang tidak pernah sekali pun menginjak negara-negara tempat bule-bule itu tinggal, lelaki itu sudah merasa tidak nyaman, terutama ketika berada di kota, atau diundang untuk menghadiri acara-acara berbau nasional atau internasional.
Biasanya para pelayan itu memperlakukan warga lokal seperti bukan manusia. Pariwisata telah membuat manusia-manusia di Bali mendewakan bule-bule, padahal kelihatannya dari berita-berita yang dibaca, tidak semua bule itu kaya.
“Nak liu maseh bule ngaleh amah di gumin rage e…” “Banyak kok bule nyari makan dengan bekerja serabutan di Bali,” begitu kata teman Koplak sambil berbisik.
Semoga saja larangan dan rambu-rambu yang diucapkan para petinggi Bali itu benar-benar konsisten, sehingga warga lokal Bali tidak merasa asing di tanah mereka sendiri.
***
Kehidupan di Bali memang terus bergejolak. Dulu Koplak merasa adanya gering bisa membuat warga semakin menata ulang kehidupannya dengan baik. Saat warga sudah mencoba berlaku baik, masih saja ada peristiwa-peristiwa heboh.
Salah satu kehebohan yang sekaligus viral adalah informasi tentang seorang oknum sulinggih di Kabupaten B diduga membuat foto mesum. Foto yang diduga dibuat oknum sulinggih itu ternyata sedang bersama dengan seorang perempuan yang konon selingkuhannya. Pacarnya? Mimih dewa ratu — ya Tuhan.
Koplak menarik napas sambil menggerutu dan sedikit memaki ketika seorang temannya berkata:
“Kelihatannya kamu itu lelaki teraneh di dunia, Pan Koplak.”
“Aneh?”
“Pacar tidak punya, selingkuhan tidak ada. Apa Pan Koplak masih normal? Tahu ‘kan kabar sulinggih yang punya pacar? Dikalahin sulinggih kamu.”
Sambil tertawa terbahak-bahak, mata sahabatnya mengarah ke arah bawah. Koplak melotot. Gara-gara obrolan itulah Koplak berusaha mencari beragam data tentang sulinggih itu, bagaimana mungkin ada sulinggih seperti itu?
“Tang, ting, tung, teng, tong.” Telepon Koplak terus berbunyi, beragam komentar, juga foto-foto menumpuk. Dada Koplak makin terasa sesak, berdebar sekaligus kepo juga. Foto-foto tersebut telah menyebar secara luas di grup WhatsApp (WA) sejak beberapa hari terakhir, bahkan sampai hari ini. Konon foto itu menyebar karena si oknum “terpeleset”, alias salah mengirim foto.
Begini ceritanya: Tadinya foto itu hendak dikirim oleh oknum tersebut kepada selingkuhannya. Namun, celakanya, foto itu terkirim ke salah satu grup Whatsapp. Foto itu kemudian dengan cepat menyebar. Foto itu sempat diunggah di salah satu forum diskusi di Facebook.
Belakangan foto itu telah dihapus.Walaupun telah dihapus, namun masih ada yang menyimpan foto tersebut. Hingga kini fotonya juga masih terus menyebar di WhatsApp. Bahkan sudah sampai pula ke petinggi Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di Kabupaten B. Bahkan ketua Ketua PHDI Bali yang juga teman masa sekolah Koplak mengatakan sulinggih itu sudah melakukan upacara Ngelukar Gelung.
“Tokoh agama kok bisa juga mesum, ya, Pan Koplak?” kata temannya lagi, sedikit mengejek. Koplak terdiam. Sambil mengingat-ingat kata-kata anak perempuannya.
“Manusia itu semua sama, kita tidak perlu memuja manusia karena identitas sosial, agama, budayanya, atau apa pun. Selama dia masih jadi manusia semua orang bisa berbuat kesalahan. Bahkan kesalahan fatal,” kata Kemitir keras, ketika Koplak pernah ingin berguru kepada seseorang yang dianggap sakti dan mahir menguasai beragam hal, dan memiliki banyak murid. Kemitir tertawa. Kemitir benar.
Koplak menghidupkan rokoknya sambil memejamkan mata. Warna langit terlihat muram. Ada baiknya berguru kepada diri sendiri dulu, menenangkan diri lalu menyelam ke dalam diri.
Denpasar, 19 Maret 2023.[T]