Anda kenyang, saya bahagia.
Tagline di atas tidak lahir dari rumah makan mewah. Tidak juga lahir dari warteg kelas menengah. Ia lahir dari pedagang mie ayam pinggiran lorong sempit Jalak Putih.Ya, mie ayam dengan nama yang sangat Biden itu: Uncle Sam.
Di Singaraja, untuk urusan perut, setidaknya ada dua tempat yang sering saya kunjungi. Pertama Warung Portugal; dan kedua, sudah dapat ditebak, mie ayam Uncle Sam tentu saja.
Portugal itu tidak ada hubungannya dengan kesebelasan sepak bola, kelahiran CR7, atau penjualnya Bule Portugal. Bukan. Melainkan singkatan dari “porsi tukang gali”. Alasannya jelas, kami menyebutnya begitu karena porsinya yang tidak wajar. Banyak sekali!
Pernah saking banyaknya, pada saat saya membeli 3 bungkus—sebungkus hanya 10 ribu sudah lengkap nasi serta kemeriahan lauk pauknya—kira-kira berbobot 2 kg lebih. Dan benar, alih-alih kenyang, justru saya sering dibuat payah, kewalahan ketika makan nasi Portugal. (Sayang, akhir-akhir ini Portugal sering tutup.)
Tetapi ini bukan tentang Warung Portugal, ini tentang warung mie ayam yang mepet sawah itu, mie ayam Uncle Sam.
Mie ayam Uncle Sam berada tidak jauh dari Warung Portugal. Hanya saja letak Uncle Sam lebih tersembunyi dan jauh dari jalan besar—atau dalam bahasa kerennya, hidden gems. Tepatnya di Kelurahan Banyuasri, Perumahan Jalak Putih V atas, ujung jalan dekat persawahan.
Uncle Sam, dengan segala kesederhanaannya, bagi saya adalah mie ayam terbaik. Bukan hanya rasanya yang nikmat, tapi juga porsinya yang menyalahi kodrat. Tetapi ini yang terpenting: harganya tak lebih mahal dari sebungkus rokok Sampurna non-filter.
Ya, hanya 10 ribu, bapak-ibu. Sepuluh ribu! Tak lebih. Dengan uang bergambar Frans Kaisiepo itu, Anda sudah mendapat mie ayam porsi (super) jumbo lengkap dengan toping bakso sapi, pangsit kering, dan siomay (kadang masih ada tahu gorengnya.)
Saya masih ingat betul saat pertama kali mencobanya.Waktu itu salah seorang teman mengajak saya makan mie ayam. Sejak sebelum berangkat sampai di perjalanan, teman saya ini selalu menceritakan betapa nikmatnya sajian mie ayam Uncle Sam itu. Tentu saja, perihal urusan makanan, imajinasi saya tak perlu diajarkan lagi untuk membayangkan kenikmatan-kenikmatan tersebut.
Tetapi, imajinasi yang saya bangun sejak di perjalanan tadi, porak poranda ketika sampai di tempat Uncle Sam berjualan. Ini bukan tentang makanannya, tapi lebih kepada ketidaksiapan saya kalau harus makan di samping aliran selokan (waktu itu suasana masih PPKM, jadi pelanggan harus makan sambil ngumpet di dekat selokan itu supaya luput dari Satpol PP.)
Meskipun kesan pertama sangat menjengkelkan, tetapi sejak saat itu, saya sepakat dengan teman saya, bahwa mie ayam Uncle Sam memang nikmat.
Tempatnya tak semewah nama dan rasanya
Uncle Sam diambil dari nama pedagangnya: Samsul. Sungguh sangat nggatheli. Dan, harus saya akui, tempatnya memang tak semewah rasa dan namanya.
Tempatnya itu, di pinggir jalan gang sempit Jalak Putih V, gancet dengan gerbang tua berkarat. Dua meja dan kursi panjangnya, sepintas mirip bangku zaman SD. Atap plastik yang kadang kalau hujan, rembesan air bisa membasahi ubun-ubun padahal sedang asik makan.
Atau lampu yang tiba-tiba mati bukan karena mistis, tapi lebih tepatnya kekurangan daya karena energinya harus berbagi dengan radio tape yang meneriakkan lagu-lagu dangdut, gambus, sampai lagu-lagu dengan genre tak jelas. Dan itu, gerobaknya itu, yang redup karena catnya sudah pudar, tampak letih menahan beban bawaan.
Ya, tempatnya memang sederhana (atau lebih tepatnya, serba kurang). Tapi, ketragisan-ketragisan yang sangat fundamental itu, seketika lenyap dan termaafkan dengan rasa (harga dan porsi) mie ayamnya.
Memang benar masih sama-sama kuliner mie yang berisi irisan daging ayam. Tapi tetap, ini beda dan lebih spektakuler.
Begini, saya mulai dari porsinya. Mangkuk standar bergambar ayam yang sangat klasikal itu, terlihat gemuk, memaksakan diri untuk menampung satu porsi mie ayam saja. Di dalam mangkuk itu, tersaji mie ayam dengan irisan daging ayam yang besar-besar, bertoping 4 pangsit goreng, 4 siomay rebus, 3 tahu goreng dan 1 pentol sapi dengan ukuran segenggam tangan balita. Lengkap, seperti sebuah acara karnaval Agustusan.
Dan semua itu, makin nikmat dengan kuah kaldunya yang kental—yang kalau beruntung, bisa dapat lemak juga tulang muda di dalamnya.
Saya tidak sedang membual atau melebih-lebihkan. Sama sekali tidak. Mie ayam Kang Sul— begitu saya memanggilnya (karena belakangan saya tahu kalau dia berasal dari Banyuwangi dan bersuku Osing)—memang benar-benar seperti yang sudah saya gambarkan di atas. Ini adalah ungkapan jujur saya terhadap mie ayam buatannya.
Saya terkadang bingung, sehingga sering bertanya kepada Kang Sul. “Nggak rugi, Kang?” tanya saya. Kemudian, seperti biasa, ia akan menjawab sambil tersenyum, “Namanya rezeki sudah ada yang atur. Segini sudah cukup, Mas.” Jawaban templet yang terkesan Sufi.
Nampaknya bagi laki-laki berumur 50-an itu, porsi dan harga segitu memang sudah paten dan tidak bisa diganggu-gugat. Saya sampai menduga, kalau sebenarnya dia ini tidak niat berjualan. Melainkan sedang shodaqoh atau beramal dengan kedok berjualan. Atau, dan ini yang membuat saya was-was, jangan-jangan dia… Ah, siapa yang tahu.
Tapi bodoh amat, yang jelas, mie ayamanya enak, mantap, banyak dan murah. Sudah pas!
Limabelas tahun berjualan
Suatu kali Kang Sul bercerita tentang bagaimana ia memulai jualan di Singaraja. Dulu, sebelum berjualan mie ayam, ia sempat juga bekerja di Malang, Jawa Timur. Ikut orang berjualan bakso, katanya. Tapi, entah apa sebabnya, kemudian pindah ke Bali dan berjualan kerupuk di sekitaran Pasar Anyar Singaraja.
Dari pengalaman-pengalaman itu ia dapat membuat makanan lezat dan pada akhirnya memutuskan untuk membangun usaha kuliner sendiri dengan mie ayam sebagai menu andalanya.
Kang Sul sudah berjualan mie ayam kurang lebih 15 tahun lamanya. Dan ia bercerita, sebelum menetap di Perumahan Jalak Putih, ia sempat berkeliling menjajakan dagangannya di sekitaran asrama Polisi di Jalan Skip. Limabelas tahun, ah, tentu ia sudah sangat berpengalaman dalam meracik mie ayam.
Dan ini yang membuat saya kagum, meskipun tempat jualannya tersembunyi, pelanggannya tetap banyak dan berasal dari berbagai status, dari masyarakat biasa, tentara, polisi, dokter, hingga mahasiswa. Banyak mahasiswa Undiksha yang makan di sini. Biasanya mereka tahu dari mulut ke mulut (Kang Sul tak mungkin promosi di media sosial.)
Akhirnya, untuk urusan mie ayam, saya sarankan Anda mencoba mie ayam Uncle Sam ini. Dari sekian banyak pedagang mie ayam di Singaraja yang pernah saya coba, mie ayam Uncle Sam adalah yang paling the best.
Di samping murah, tempat makannya yang sederhana (dengan suara-suara katak di persawahan), juga porsi yang menggilanya itu akan memanjakan lidah Anda. Saya jamin, apa yang saya rasakan di awal tentang kegilaan porsinya, juga akan Anda alami. Apalagi pada saat hujan. Ah, benar-benar kenikmatan yang hakiki, sebagaimana tulisan di kaos bajunya: MIE AYAM UNCLE SAM, ANDA KENYANG, SAYA BAHAGIA.
Cobalah![T]