TERUS TERANG SAJA, saya sendiri tersenyum geli saat menulis artikel ini. Tema ini merupakan isu klasik yang tetap menjadi misteri hingga kini. Tulisan jelek memang menjadi salah satu ciri khas yang disematkan pada profesi dokter, selain tentu saja ciri-ciri khas lain seorang dokter.
Ciri-ciri lain seorang dokter adalah memakai kacamata, walaupun ada juga penjahat yang memakai kacamata, seperti pembunuh berantai legendaris, Jeffrey Dahmer asal Wisconsin, US yang dijuluki The Milwaukee Monster.
Selain itu, seorang dokter dikaitkan dengan penampilan rapi, klimis dan wangi serta ramah murah senyum. Saya setuju, sebagian besar penampilan dokter memang demikian. Meskipun saya punya seorang senior sekaligus guru, yang mengajar saya di fakultas kedokteran pada saat pendidikan pra klinik, penampilannya begitu awut-awutan seakan tak pernah menyisir rambut. Meskipun demikian, pasien beliau sangat banyak.
Artinya, penampilan tak selalu menentukan. Terbalik dengan anggapan sikap dokter yang ramah, zaman dulu dokter justru umumnya dikenal judes dan menakutkan. Jadi, anggapan dokter ramah tersebut sepertinya lebih tepat sebagai sebuah harapan dan doa dari masyarakat.
Kini harapan dan doa tersebut boleh dibilang sudah menjadi kenyataan. Hanya sedikit dokter yang bersikap kurang ramah kepada pasiennya. Namun, masih ada yang tetap perlu didoakan yaitu, agar tulisan dokter tidak lagi jelek, hahaha.
Ada banyak teori tentang sebab musabab tulisan dokter yang jelek. Bahkan ada yang nyerempet teori konspirasi. Teori tersebut mengatakan, tulisan dokter jelek, terutama tulisan resep obatnya agar obat-obat yang digunakan oleh dokter tersebut tidak ditiru oleh dokter atau orang lain.
Dapat kita bayangkan, seakan-akan di sini ada motif ilmu rahasia yang tidak boleh diketahui oleh para musuh. Mirip seperti kisah-kisah dunia persilatan yang penuh dendam dan kejutan. Celakanya, sering kali apoteker atau petugas apoteknya pun tak dapat membaca tulisan resep tersebut. Artinya nyata sudah kesaktian apoteker maupun petugas apoteknya jauh di bawah sang pendekar, yaitu dokter.
Jika tulisan resep tak terbaca, ini pasti tidak buat pasien. Jangan-jangan pasien bisa ikut celaka. Dan belum tentu dokternya sendiri akan selamat, walaupun telah dianggap sebagai pendekar sakti mandraguna. Karena kesalahan memberikan obat dapat dituntut secara hukum.
Yang lebih lucu lagi, ada dokter yang juga tak bisa membaca tulisannya sendiri yang ditulis sebelumnya. Artinya lantaran saking tinggi ilmunya, ia sendiri sampai tak sanggup menggapai. Kalau sudah begini, kita mau tanya siapa?
Dengan berbagai fakta-fakta tersebut, akar teori konspirasi begitu lapuk dan pohon konspirasinya tumbang seketika. Lalu teori apa lagi yang dapat menjelaskan tulisan dokter yang jelek ini?
Untuk itu, saya akan melihat saya sendiri sebagai seorang dokter. Menurut setidaknya para perawat, tulisan saya dianggap terlalu seni. Atau lebih tepatnya susah dibaca. Mungkin jika jujur, mereka mau bilang tulisan saya, jelek, clear!
Karena cukup banyak yang menilai demikian, saya memutuskan untuk setuju dan mengakui diagnosis tersebut. Jadi jika sebagai dokter saya membuat diagnosis penyakit pasien, para nakes maupun apoteker pun membuat diagnosis tulisan saya. Meskipun berpenyakit, menurut mereka tulisan saya masih bisa diobati. Yang penting sabar dan rajin latihan. Itulah kemudian maka saya menerima dengan ikhlas diagnosis tersebut dan terus berlatih menulis yang bagus dan rapi.
Padahal, saat sekolah dulu, tulisan saya dikenal sehat eh maaf, rapi dan bagus. Bahkan sering dikira tulisan murid cewek. Apalagi saat saya menulis puisi untuk cewek yang saya kagumi. Saya tulis dengan sangat apik dan rapi. Masalahnya cewek tersebut sangat membenci puisi, gagal total. Artinya, tulisan baik dan rapi saja belum cukup.
Kemudian saya cek dan re-check. Rupanya tulisan saya menjadi semakin jelek karena kebiasaan menulis yang terlalu cepat. Kenapa menulis harus cepat? Ini terkait dengan kondisi dokter-dokter di Indonesia yang menangani pasien terlalu banyak. Dan selain menulis resep, dokter pun harus menulis segala macam data sebagai kelengkapan dokumen pelayanan medis tersebut.
Di sisi lain, dokter sangat tidak menyukai administrasi yang terlalu ribet dan njlimet. Dokter lebih tertarik dengan pelayanan, sesuai dengan substansinya. Namun harus diingat, karena saat ini aspek hukum atau medikolegal sangat penting maka para dokter mesti menerima dan melengkapi hal-hal yang dirasakan tidak nyaman tersebut. Lebih baik tidak nyaman di depan agar aman di kemudian hari.
Nah, karena setiap hari menulis banyak dan cepat-cepat, akhirnya tulisan saya dan dokter pada umumnya menjadi kurang baik. Ada yang ditulis cuma separuh kata atau nama obat, ada yang tampak seperti garis saja atau jika obat hanya nampak dosisnya saja, dan sebagainya.
Saya merasa terlalu yakin, apa yang saya tulis, pasti diketahui oleh perawat maupun apoteker. Seakan-akan tidak menggunakan pulpen, melainkan menulis dengan hati. Sayangnya, hati kita tak selalu berpaut dan bertemu di pandangan yang sama.
Syukurlah saya, dan semoga saja, sejawat lain juga menyadari hal ini. Mau tak mau, suka tidak suka, kami harus kembali belajar menulis yang baik dan rapi. Setidaknya mudah dibaca, meskipun font-nya kurang bagus atau seni.
Ini memang menggelikan. Setelah belasan tahun belajar bidang medis sebagai dokter ahli dengan keterampilan tambahan, akhirnya saya harus kembali belajar menulis seperti anak bungsu saya yang masih SD.
Apakah tulisan dokter menjadi jelek semata-mata karena kebiasaan menulis cepat dan banyak saja? Ternyata tidak.
Ada penyakit tulisan jelek yang lebih parah lagi yaitu, tulisan jelek bawaan. Penyakit tulisan jeleknya tersebut sudah diidap sebelum yang bersangkutan menjadi dokter. Makanya ada guyonan, “Baru SMA, tulisanmu sudah kayak tulisan dokter saja. Jeleknya minta ampun!” Nah yang begini pengobatannya lebih sulit lagi. Namanya juga bawaan. Mungkin tangannya perlu dioperasi mungkin.
Apabila yang bersangkutan kemudian menjadi dokter dan lalu menulis buru-buru, apakah yang akan terjadi? Apakah tulisannya menjadi jelek kuadrat atau sebaliknya secara ajaib menjadi baik karena minus kali minus adalah plus. Hahaha! [T]
BACA esai-esai lain dari penulis DOKTER ARYA