AGUSTUS 2015, seorang pemuda yang baru saja lulus SMA, dengan beberapa temannya, cemas menunggu bus Semarang-Tuban-Surabaya di seberang Alun-Alun Kota Tuban. Ia mondar-mandir dengan mengenakan jas sekolah yang dibanggakannya. Pemuda itu bernama Diki Wahyudi, pemuda kelahiran Montong, Tuban, Jawa Timur, itu, dinyatakan lolos tes SBMPTN di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja, Bali.
Pemuda yang akrab dipanggil Diki itu, pada 2015, menjadi salah satu dari sekian siswa yang lolos masuk jurusan Ilmu Hukum, Undiksha. Tak tahu benar apa alasannya memilih ilmu hukum. Yang jelas, setelah masuk dan berproses, ia mengaku tak ada minat sama sekali terhadap jurusan yang memiliki visi gagah: Menjadi Program Studi yang unggul dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang hukum dengan berlandaskan Pancasila dan falsafah Tri Hita Karana, itu.
“Awal jadi anak hukum nggak ada minat sama sekali sama hukum─ya karena penerapan hukum di Indonesia antara teori sama praktiknya jauh beda,” katanya kepada tatkala.co (23/02/23).
Pemuda berkulit putih dengan tinggi yang tak dapat dibanggakan itu, pada awal kuliah, mengaku lebih senang berinteraksi, berdiskusi, atau sekadar ngobrol atau nongkrong dengan anak-anak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Singaraja─yang notabene organisasi di luar kampus─daripada ngobrol dengan anak-anak organisasi di dalam kampus─meskipun itu teman-temannya sendiri atau dosen di jurusannya.
Tetapi, mekipun begitu, kariernya di organisasi internal kampus tak bisa diremehkan. Pada 2017, ia terpilih menjadi Ketua Umum PMM Al-Hikmah, posisi penting yang banyak diinginkan mahasiswa Muslim di Undiksha.
Diki termasuk mahasiswa yang rajin dan tertib. Terbukti, ia lulus tepat pada waktunya, delapan semester, tak kurang tak lebih. Pada 2019, pemuda yang pernah menjabat sebagai Ketua Bidang PTKP HMI Cabang Singaraja itu, resmi mendapat gelar Sarjana Hukum (SH) yang tersemat di belakang namanya─yang sangat jawa itu.
Menjadi Anak Magang
Setelah lulus kuliah, Diki mengaku bingung mau kerja apa dan di mana. Dengan sedikit putus asa, ia bahkan sempat bekerja di tempat pembuatan jamur tiram─bidang yang jauh dari ilmu hukum, bahkan sekadar nyrempet saja tidak. “Saya bekerja di sana selama kurang lebih semingguan lah. Tempatnya di bekas kandang babi,” ujarnya sambil mengenang.
Tak lama setelah itu, tepatnya pada Juli 2019, ia mendapat tawaran magang di LBH PAHAM (Pusat Advokasi dan Hak Asasi Manusia) di Denpasar. Tanpa pikir panjang─barangkali ia memang sudah tidak betah menyiapkan kumbung-kumbung jamur─ia menerimanya. “Walaupun magang di pengacara itu nggak dibayar, nggak digaji.”
Seperti mendapat ndaru (keberuntungan, semacam hadiah dari semesta), setelah sebulan magang di LBH PAHAM, Diki mendapat beasiswa untuk sekolah advokat (PKPA) ke jakarta. “Gratis. Ya walaupun sempat ada insiden kecelakaan di Jembrana, saya tetap melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Padahal, yang tabrakan dengan saya itu sampai gagar otak,” katanya merasa bersalah.
Selama PKPA, ia mengaku mendapat banyak teman. Mulai dari Banyuwangi, Medan, Padang, Bogor, sampai NTT.
“Pulang dari PKPA saya kembali bekerja di LBH. Karena di LBH nggak digaji hanya diberikan uang transpot, malamnya saya ikut kerja di warung pecel lele. Pekerjaanya cuci piring, goreng lele, bungkus nasi, dll. Sempat buka angkringan tapi bangkrut karena covid. Nah, pas covid itu pengadilan tutup, LBH juga tutup, ahirnya saya pulang ke Tuban ,” jelasnya.
Di kampung halaman ia tak langsung mendapat pekerjaan─juga tak tahu apa yang harus dikerjakan. Bahkan ia sampai lingkung selama dua bulan lamanya. “Karena sudah bingung (mentok), saya telpon temen HMI Tuban, minta link ke pengacara. Dari situ saya kenal pengacara namanya Engki─ya senior HMI juga,” ujarnya.
Bersama Engki─panggilan akrab pengacara muda Nang Engki Anom Suseno─tak main-main, Diki langsung diajak mengungkap kasus korupsi yang dilakukan Susilo Hadi Utomo, Sekertaris Desa (Sekdes) Cepokorejo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Susilo tersandung korupsi dana bantuan sosial (bansos) program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di desanya sejak 2018 silam. “Weeeh… ngeri itu, korbanya sampai 50 orang. Dari situ saya belajar banyak soal advokasi hukum,” jelasnya dengan bangga.
Sembari magang, Diki Wahyudi juga sempat menjadi tim salah satu calon bupati Tuban. Segala urusan administrasi pencalonan bupati, seperti urusan di KPU, Bawaslu, surat rekom dan dokumen-dokumen penting lainnya, ia yang kerjakan.
Tetapi barang sial siapa yang tahu, calon bupati itu kalah. “Karena kalah, senior saya pindah kantor ke Sidoarjo. Alhasil, saya nganggur lagi. Lamar sana-sini nggak ada yang nerima, padahal IPK saya 3,73. Saya sampai mikir bahwa ijazah itu nggak ada gunanya,” katanya sambil tertawa.
Mulai Membangun Tiktok Sarjana Hukum
Sambil cemas dan gelisah menunggu panggilan kerja (yang tak kunjung ada kabar), awal tahun 2021, Diki mulai mencoba, barang iseng, membuat akun Tiktok dengan nama “Sarjana Hukum”─nama yang, bagi sebagian orang, bukan hanya serius dan terkesan “narsis”, tapi juga “sombong”.
Akun itu berisi video-video (konten) pendek seputar hukum: pasal ini-itu; ayat-ayat tentang perceraian, sengketa tanah, lapor-melapor, dan banyak hal, sekali lagi, seputar hukum. Dengan gayanya yang ceplas-ceplos; dengan logat Jawa-nya yang khas, komunikatif, Diki tampil bak ahli hukum yang sedang ceramah di atas podium mewah, di dalam auditorium megah dengan ratusan, bahkan ribuan orang, yang serius mendengarkannya.
Ia mencoba peruntungan di “panggung” yang, siapa pun, sangat berpotensi menjadi “orang sukses dan diakui”. Ya, Tiktok, juga platform digital lainnya, memang terbukti mampu menjadikan siapa pun, yang awalnya “bukan apa-apa”, “bukan siapa-siapa”, berubah menjadi orang yang diakui, ditokohkan, dielu-elukan, dihormati, ditiru, dijadikan inspirasi, dianggap sukses. Platform digital, seperti yang sudah umum terdengar, menjadi alternatif penyelamat.
Sekadar mengutip Mumu Aloha dalam Kampung Kriwil Fashion Week dan Sinetron Rakyat Kita (detiknews, 27/08/22), pandemi mungkin memang jahat; menghancurkan sebagian kehidupan. Dan menyerah adalah jalan yang paling mudah. Tapi, hidup pada zaman teknologi yang memberikan jalan alternatif dan berbagai kemungkinan lain yang nyaris tiada batas, menempuh jalan paling mudah rasanya bukan pilihan yang elok.
Kita bisa berkaca pada tokoh utama kita, Diki Wahyudi, yang memilih untuk─meminjam bahasa Mumu Aloha─“lahir kembali” setelah pandemi, dan membuka jalan baru bagi lahirnya inspirasi-inspirasi baru masyarakat, idola-idola baru bagi kalangan akar rumput, pahlawan-pahlawan baru untuk wong cilik.
Tetapi, merintis bukan hal mudah. Kita semua tahu itu. Dan tentu, selalu ada harga yang harus dibayar untuk setiap tindakan yang kita ambil. Diki, pada awalnya, kerap diremehkan, bahkan dikritik─cenderung diolok-olek─oleh pengacara-pengacara senior. Tapi itu biasa, ada yang lebih mengerikan daripada itu, ia bahkan dianggap gila oleh ibunya sendiri─dan itu harga yang harus ia bayar untuk sukses.
“Almarhumah ibu saya bilang, ‘Kowe edan, Dik? Ngomong kok karo kamera.’ Kira-kira kalau diartikan, ‘Kamu gila, Dik? Ngomong kok sama kamera’,” katanya sambil mengenang ibunya.
Namun, dan ini yang patut kita apresiasi dan ikuti, di balik banyaknya orang yang mengkritik, meremehkan, menghujat, menganggap gila, dengan sisa-sisa harapan, Diki, alih-alih mundur dan menyerah, ia memilih maju, konsisten melanjutkan. “Ada nih satu support sistem, cewek, dia selalu komen; selalu like; bagikan video Tiktok saya. Mungkin, tanpa dia, saya nggak sampai di posisi seperti sekarang ini. Tapi sayang, pas akun Tiktok sudah “gede”, dia malah nggak ada lagi buat saya. Hahaha,” kenangnya sambil tertawa berharap.
Akhirnya Fyp
Sebelum mendapat respon di Tiktok (fyp), sebenarnya Diki sempat hampir putus asa. “Sampai teman saya, Jaswanto, menyemangati, mendukung saya, mengajak saya untuk live di IG, membahas soal hukum. Tapi video Tiktok saya tetap nggak fyp, masih dikit yang nonton,” keluhnya.
Tetapi penderitaan itu tak berlangsung lama. Setelah tiga bulan berlalu, Diki, dengan video-videonya tentang hukum, benar-benar mampu “menaklukkan rimba” per Tiktok. Ya, seperti di film-film, setelah berjuang mati-matian, akhirnya video Diki fyp juga, mendapatkan banyak respon dari warga Tiktok.
“Setelah 3 bulan buat Tiktok, baru fyp pertama, weh seneng banget. Banyak yang komen, share, like, nanya juga. Komen-komennya positif,” jelasnya dengan penuh semangat.
Semenjak saat itu, ia semakin bergairah untuk terus memproduksi video-video tentang hukum─walaupun, katanya, Tiktoknya pada saat itu belum menghasilkan duit. Ia juga menyampaikan, videonya tentang perusahaan (pengusaha) yang bisa dituntut jika menggaji karyawan di bawah UMR, menjadi konten yang paling banyak ditonton.
“Yang nonton itu sampai 8,6 juta. Di situ saya jelaskan, pasalnya 81 angka 63 UU Cipta Kerja. Ancaman hukumnya nggak main-main, paling sedikit 1 tahun penjara dan paling lama 4 tahun penjara atau denda paling sedikit 100 juta dan paling banyak 400 juta,” tambahnya menjelaskan.
Bukan hanya itu, menurut keterangan Diki, videonya tentang tutorial perceraian gratis dan tentang orang yang punya utang tidak bisa dipenjara, juga banyak ditonton─atau fyp.
Sebab videonya yang fyp lagi fyp terus, akhirnya ada produk yang mulai meliriknya. Diki ketiban endorse. “Setelah ada endorse yang masuk, ibu baru tahu, dan percaya. Ternyata bicara sama kamera itu nggak gila, tapi, selain menghasilkan, juga mengedukasi Indonesia. Hahaha,” katanya sambil terkekeh.
Barang tinggal memanen setelah berjuang menanam, merawat, Diki seolah dinaungi dewa kemakmuran, kesejahteraan. Kisah bahagianya tak sampai di situ, mulailah banyak forum yang mengundangnya; mulai dari komunitas, organisasi, live IG, live Tiktok, radio, bahkan kampus.
Menjawab Pertanyaan-pertanyaan Netizen
Semenjak videonya viral berkali-kali, Diki, secara tidak langsung, “dibaptis” netizen sebagai ahli hukum. Dengan cepat ia menjadi tokoh, ditokohkan, diakui, menjadi inspirasi, diikuti, digandrungi, dielu-elukan, punya fans.
Tetapi itu tak cuma-cuma, ada beban di balik itu semua─itu pun kalau Diki menganggapnya sebagai beban. Sebagai tokoh hukum, Diki wajib menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar hukum dari fans-fansnya, atau dari netizen pada umumnya.
Diki mendapat banyak pertanyaan seputar persoalan hukum; seputar perceraian, sengketa tanah, hak karyawan, utang-piutang, sampai pasal tilang-menilang. Dan semua itu dijawabnya dengan ceria, dengan mudah, ceplas-ceplos, seperti tanpa beban.
“Tapi yang paling sering ditanya itu soal perceraian, si,” jelasnya.
Akhirnya, sekali lagi, mengutip Mumu Aloha, “dengan perangkat handphone murah di tangan, sambil makan di warung, ngarit di sawah, naik bus antarkota antarprovinsi, atau sambil menunggui kios di pasar”, orang-orang dengan mudah “menyetel”, mengakses pengetahuan tentang hukum, menyaksikan, menyimak penjelasan Diki di akun Tiktok Sarjana Hukum. Dan, dari layar HP yang dipantengi seseorang di warteg atau di suatu kios di sisi lorong pasar yang hiruk-pikuk, akan menggema suara khas: Jadi seperti itu. Yuk pahami hukum, biar paham hukum, ikuti Tiktok Sarjana Hukum!
Hingga saat tulisan ini rampung, akun Sarjana Hukum sudah mencapai 378,8 K pengikut. Diki telah berhasil memberikan edukasi dan menebar manfaat kepada mahasiswa dan masyarakat Indonesia.
“Tapi, meskipun begitu, sampai sekarang, saya belum diundang Undiksha untuk menjadi pembicara. Ayo, saya tunggu undanganya!” serunya sambil bercanda.[T]
BACA TULISAN DIKI WAHYUDI