Cukup berani saya katakan bahwa untuk teater tingkat SMA di Singaraja, Teater Kontras dari SMAN 1 Singaraja adalah teater yang paling konsisten dari tahun ke tahun dalam mengadakan pementasan.
Jika tidak terhalang pandemi, tentu pementasan mereka akan dapat Anda saksikan setidaknya 2 kali lebih banyak secara offline. Tetapi syukur, pada tanggal 18 Februari 2023 di ruang TRRC SMAN 1 Singaraja, pentas HUT Kontras ke-13 kali ini bisa dilangsungkan secara offline lagi.
Dari undangan yang saya dapat, acara akan dimulai pukul 5 sore. Saya putuskan datang tepat waktu sambil menunggu beberapa siswa saya yang akan ikut menonton. Seperti biasa, antusiasme warga sekolah dan masyarakat umum memang tinggi terhadap acara pementasan ini. Antrean masuk mengular sampai sekitar 20 orang. Untunglah saya diundang, jadi tak harus ikut antre. Saya lihat di daftar undangan, pembina SMA Bali Mandara dan SMA 4 sudah hadir lebih dulu. Dari informasi panitia, saya simpulkan, undangan kali ini memang lebih fokus pada pembina teater di SMA─walaupun tetap mengundang tokoh-tokoh teater.
Saya masuk ke ruang TRRC agak terlambat karena masih menunggu siswa dan hampir saja tidak jadi masuk karena ruangan benar-benar penuh. Panitia menyadari gelagat saya dan langsung menghampiri. “Masih nunggu, kak? Masuk aja dulu kak. Duduk di depan aja. Saya antar”. Begitu katanya. Saya tak sempat menanyakan nama, tapi terima kasih, ya. Saya jadi bisa dapat tempat yang lumayan nyaman.
Acara yang sedang berlangsung saat itu adalah potong tumpeng dan penyerahan kenang-kenangan untuk sastrawan yang hadir saat itu, Pak Mahardika. Acara pementasan secara resmi baru dimulai saat MC sudah mulai beralih ke gaya non-formal. Dari informasi MC, semua tiket untuk pementasan ini ludes terjual dalam kurun waktu kurang dari 1 hari. Seandainya tiket dijual lebih banyak, saya tetap yakin tiketnya akan tetap habis dalam waktu kurang dari 1 hari. Tapi tak usah berandai-andai, membatasi tiket adalah pilihan tepat mengingat ruang TRRC sudah nyaris membludak.
***
Masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pementasan selalu diawali dengan hymne teater Kontras. Dari informasi yang saya dapat di Instagram mereka: @teater_kontras_ , pementasan hymne dan musikalisasi itu bertajuk “Bertabur Aksara Bumandhala Manah Nirmala”. Hymne akan dipentaskan terlebih dahulu sedangkan musikalisasi akan dipentaskan ketiga setelah dramatisasi puisi.
Saat itu, posisi pemusik berada di pojok kiri sedangkan penari sekaligus penyanyi ada di tengah. Menilik dari apa yang saya lihat, fokus utama tentulah ada pada vokal, gerakan tari dan pembacaan puisi. Alat musik yang saya lihat dan dengar ada 2: gitar dan keyboard. Suara alat musik teredam vokal─dan hal ini menjadi baik sekaligus buruk. Baik karena para vokalis memiliki suara yang kencang dan buruk karena kestabilan musik kurang diperhatikan.
Pementasan kedua, dramatisasi puisi berjudul Aminah karya WS Rendra. Ada 6 pemain dan musik yang dipakai musik digital. Secara umum keaktoran dari 6 pemain ini sangat stabil. Baik dari kekuatan vokal, intonasi, sangat mirip. Saya seperti melihat 1 orang yang dibagi menjadi 6 dalam pementasan ini. Jangkauan vokal mereka sangat kuat, daya tahan vokal mereka pun kuat. Tidak ada momen mereka terlihat kelelahan atau tersendat-sendat. Hal ini sudah pasti karena latihan vokal intens.
Tempo pementasan dapat dijaga dengan baik. Namun yang bisa menjadi catatan mungkin soal artistik saja─terutama soal lighting. Saya rasakan beberapa kali lampu seperti salah menyinari atau ragu-ragu. Entah memang begitu atau tidak konsepnya, setidaknya itu yang saya rasakan sebagai penonton.
Untuk pementasan ketiga, musikalisasi puisi. Konsep musikalisasi puisi dan hymne kurang lebih sama. Apa yang ditonjolkan dan baik buruknya juga kurang lebih sama. Tapi apakah respon penonton akan sama? Tidak. Mengapa saya yakin tidak, karena ada celetukan yang saya dengar dari belakang. “Vokal Grup,” katanya. Tentu, celetukan ini muncul dari orang yang setidaknya pernah melihat musikalisasi atau vokal grup atau keduanya sekaligus. Sepengetahuan saya (bisa jadi salah), perbedaan yang saya tangkap adalah komposisi pemain. Memang belum ada aturan yang pasti soal komposisi pemain dalam musikalisasi puisi, tapi dari apa yang sudah ada─dan barangkali diakui─musikalisasi puisi tidak akan mengesampingkan posisi pemusik.
Mungkin atas dasar itulah celetukan itu muncul. Terlebih lagi jumlah pemain yang ada di panggung ditambah koreografi semakin memperkuat kebenaran celetukan itu. Dan, sekali lagi, memang belum ada aturan pasti soal jumlah pemain dan koreografi dalam musikalisasi puisi. Bagi saya secara pribadi, itu semua bergantung pada satu hal, tujuan. Jika semua yang dilakukan Teater Kontras ada tujuannya, sah-sah saja. Misalnya tujuan ada banyak orang di pementasan muspus ini adalah supaya semua bisa dapat kesempatan pentas, ya tak masalah.
Namun, celetukan itu tak sepenuhnya salah karena memiliki dasar yang kuat tetapi tak sepenuhnya benar karena musikalisasi puisi memiliki keluwesan yang lebih soal jumlah, koreo dan komposisi dibanding vokal grup, paduan suara atau menyanyi solo.
Dan ini yang ditunggu, pementasan puncak yang berjudul Darah Seorang Penari. Kurang lebih naskah ini menceritakan tentang seorang perempuan bernama Ajeng yang digadang-gadang untuk menjadi penari yang hebat seperti ibunya. Namun Ajeng merasa kebahagiaan tidak melulu soal menari dan ia ingin mencari kebahagiaannya sendiri.
Pada pementasan ini, bagian keaktoran bukan lagi fokus utama. Sudah pasti bagus meskipun ada momen-momen di mana kejomplangan keaktoran terlihat. Terutama dari peralihan adegan lucu ke sedih. Tokoh-tokoh lucu terlihat jauh mendominasi secara keaktoran dibanding yang lain. Mendominasi dalam artian lebih mampu menyedot perhatian penonton.
Fokus utama justru dalam pemilihan musik atau nada pengiring. Seringkali adegan sedih justru ditertawakan penonton karena satu nada tinggi cringg dari drum. Hal itu terulang beberapa kali dan setiap hal itu terjadi, selalu ada yang tertawa. Hal ini pula yang membuat kejomplangan keaktoran lebih terasa. Seandainya musik dibuat lebih nge bass (rendah), kejomplangan keaktoran sudah pasti lebih samar. Tapi tetap saja, semua adegan bisa dikemas dengan rapi, baik dan lancar. Hal-hal yang tidak sesuai harapan hanya kerikil yang dapat dengan mudah dilangkahi.
Selanjutnya sesi diskusi. Pak Mahardika berkata bahwa pementasan mereka sukses membuat penonton lupa memakan kacang yang ada di tangan mereka. Pujian-pujian memang banyak pada keaktoran tiap pemain. Hal itu sangat mudah dilihat dari apa yang disuguhkan. Berkaca dari pementasan-pementasan sebelumnya, keaktoran tak pernah menjadi masalah mereka. Masalah Teater Kontras lebih kepada pendukung-pendukung lainnya seperti musik dan lighting. Saya secara pribadi setuju dengan pujian-pujian itu.
***
Secara garis besar ada dua hal yang saya rasa bisa dipertimbangkan oleh Teater Kontras. Pertama, ada baiknya Kontras mulai berani “bermain-main dan bereksperimen” di musik terutama dalam pementasan musikalisasi puisi. Barangkali bisa dicoba dengan hanya 5-7 pemain yang setiap pemainnya punya tugas masing-masing dalam porsi yang pas. Maksudnya musik jangan dipojokkan dan tak menyanyi secara keroyokan.
Ada banyak musikalisasi puisi di Youtube yang saya rasa bisa dijadikan referensi. Misalnya Musikalisasi Puisi Sia-sia dan Satu Perahu dari Kelompok Sekali Pentas. Tentu tak harus langsung meniru mentah-mentah, namun bisa diambil soal bagaimana pemusik tidak dipojokkan. (Lihat di sini Musikalisasi Puisi Sia-Sia (Chairil Anwar) – Kelompok Sekali Pentas (live concert) Kelompok Sekali Pentas – Satu Perahu (Wayan Jengki Sunarta)).
Kedua, catatan sebelum pentas yang bisa dishare melalui Instagram atau media resmi Teater Kontras. Kehadiran catatan sebelum pentas bukan hanya sebagai penjelasan mengenai apa yang kalian lakukan, melainkan juga untuk media promosi─ajakan untuk menonton sekaligus supaya penonton punya sedikit bayangan soal apa yang akan kalian suguhkan. Di catatan sebelum pentas pula, bisa kalian jelaskan semua tujuan-tujuan dari pementasan kalian sehingga celetukan-celetukan tidak akan muncul atau diminimalisir.
Terakhir, catatan sebelum pentas adalah “perjudian” kalian. Artinya respon penonton setidaknya akan ada 3: “Aaah catatannya doang bagus, pentasnya kurang”; “Mantap nih, catatannya bikin lebih ngerti dan sesuai sama pentasnya”; “Kampret, pementasannya jauh lebih megah dari catatannya, syukur bela-belain nonton”.
Salam.[T]