BAHKAN AIR HUJAN pun tidak bisa mengubah takdir anakku.
“Tapi, ia bisa mengenakan baju kebayamu, bukan?” Begitu kata ibu di telepon. “Jadi bagaimana? Sore ini kau ada di rumah, ya?”
Demi meyakinkan ia bahwa aku menyetujui tawarannya, maka kukatakan, “Ya.”
Sore itu hujan cukup deras, nyaris aku tak mendengar ketukan di pintu. Seperti apa dia sekarang? Sudah lima bulan kami tak bertegur sapa. Mau bagaimana lagi? Perselisihan itu demikian hebatnya. Aku mengikuti keinginan anakku dan ibu tak setuju. Ternyata begitulah; sebagai makhluk dengan banyak dimensi, ibu tahu tentang banyak hal tentang rahasia dunia. Termasuk kebohonganku dan kebiasaan buruk anakku. Dan ia tak bisa mengatakan kepada anaknya yang tetap saja menjalani pilihan hidupnya. Ia terus bertengkar dengan dirinya demi masalah sepele; Ia tak mengijinkan cucunya untuk meninggalkan sifat perempuan desa.
“Aku sudah hidup sebelum waktu berubah!” Begitu keluhnya, “Baru kali ini aku harus menghadapi persoalan seberat ini.” Lalu ia berdecak. “Sudahlah.”
Dan kini ia berdiri di depan pintuku. Air menetes dari rambut yang terurai panjang, dan sebagian celananya tampak basah. Jarak dari tempat ia memakir mobil ke rumahku (aku tak punya garasi) cukup membuatnya basah kuyub dan ibu tidak pernah bergegas. Ia ada sepanjang masa dan tentunya abadi. Untuk apa ia bergegas?
Sebenarnya kami tak akan pernah tahu lagi alasan mengapa kami dulu bertengkar; setidaknya aku merasa tak seharusnya bertindak seperti itu. Ibuku kembali ke wujud aslinya dalam kehidupan sehari-hari, kalau ia tidak sedang bertugas, ia lebih suka tenggelam dalam televisi dan dapur. Ia sungguh menyukai sinetron.
Kalau sudah begitu, seluruh dunia seperti harus menunggu perhatian darinya. Ia tak pernah memperhatikan apa pun ketika tenggelam dalam sinetron di layar televisi. Di televisi misalnya, tentulah ia tidak mencari drama asmara remaja; seperti halnya orang lain, ia menyukai tayangan soal masalah pertengkaran, kejahatan dan perselingkuhan.
Ada kebiasaan ibu yang kusuka tiap kali ia selesai menonton sinetron, terutama masalah film yang ia cintai. Ia akan menyorongkan bibir bawahnya ke depan, mencibir, lalu menggumam.
“Huh. Kenapa dia tak berani melawan? Dan mengapa harus menangis? Jika aku sendiri yang mengalami, pastilah aku pukul orang itu, sampai babak belur kalau perlu.”
Ia sendiri tak pernah mau banyak bicara soal pekerjaannya. Sejak ayah meninggal, ia tak pernah bercerita, apalagi kepada anak satu-satunya.
“Urusan menyiapkan makanan dari dapur dan mencuci baju itu hanya sebagian kecil dari pekerjaanku!” Begitu ia pernah berkata dengan emak-emak saat sedang berkumpul di teras rumah, jauh sebelum pertengkaran tentang kelakuan buruk cucunya. Ia mengusap wajahnya yang berkeringat dengan serbet, yang sebetulnya untuk mengusap piring.
“Kalau kau ingin mau dianggap sebagai perempuan desa, maka kau hanya perlu meniru perilaku layaknya orang-orang desa pada umumnya.” Ia berkata sambil menunjuk sebuah baju kebaya yang tergantung di lemari dengan tangannya.
“Supaya kau tidak terlihat seperti orang asing, maka kau memerlukan baju-baju khas orang desa yang terjual di pasar. Harganya murah. Dan aku yakin suatu saat, anak cucumu nanti akan menyukainya. Terutama suamimu. Karena itu lebih sopan dibandingkan yang lain.”
Ia lantas mengambil kebaya dari gantungan bajunya. “Ini.” Ia berkata sambil menatapku dengan pandangan yang cemas.
Dan ia hanya menghembuskan nafas.
Aku mengangkat bahu. Tingkah ibu selalu membuatku pusing.
Ibu lalu melanjutkan pekerjannya melipat baju.
“Nak, mungkin aku yang selalu merasa khawatir terhadap kehidupan keluargamu kelak. Aku tidak tahu sampai kapan hidup ini tak ada yang perlu dicemaskan. Ayahmu mungkin akan menertawakanku di sana. Bahwa ibumu belum bisa belajar menerima kenyataan. Jadi, ibu memang perlu memperhatikanmu lebih dalam lagi. Kita perlu membangun janji agar ibu bisa lega. Kehidupan ini selalu diisi oleh orang-orang yang penuh janji,” katanya.
“Barangkali ibumu benar, Da. Di masa depan, kita tidak tahu seperti apa wajah dunia,” kata emak yang lain ikut-ikutan menimpali pesan ibuku.
Dan kini ia berdiri di depanku. Matanya sekilas berkilat merah seperti batu rubi, tapi kemudian kembali menjadi mata manusia biasa. Di tangannya ia meneteng kantong besar warna merah berisi kebaya.
Ia mengangkat kantong besar itu dan menyeringai bahagia.
“Dinda,” katanya, lirih dan hangat. Ini terasa seperti kalau engkau meminum segelas teh panas sesudah hujan-hujanan.
Ia memelukku erat. Dan aku pun sebaliknya. Sudah lima bulan. Aku tidak abadi, aku akan mati seperti manusia lain, itu pun kalau kematianku wajar (dan sialan, ibu tak mau memberitahuku perihal itu); aku akan mati karena usia tua, karena setiap organ dalam tubuhku gagal berfungsi. Lima bulan bagiku adalah waktu yang lama, tapi juga sebentar rasanya. Kadang lebih sebentar lagi jika aku berada bersama anakku yang kini entah di mana.
Sedangkan bagi ibuku lima bulan atau lima puluh bulan sudah tak berarti lagi. Aku tak tahu bagaimana rasanya hidup sepanjang masa.
“Percayalah, kau tak akan mau hidup selamanya.” Begitu ibuku kerap berkata padaku.
Soal keabadian bisa dibahas nanti. Kini tentu saja aku senang bahwa ibu datang. Tiba-tiba kusadari bahwa aku merindukannya dan ingin menceritakan kepadanya banyak hal.
Tapi pertama-tama tentu saja yang kudengar adalah suara terbahak-bahak ibu ketika ia masuk dan melihat kebaya yang lusuh seperti lama tak terpakai. Ada warna hitam kemerah-merahan yang pudar disetiap corak kebaya itu.
“Kau benar-benar rindu ya,” katanya setelah tawanya reda.
Aku mengangguk. Ya, aku rindu, dan egoku sudah menghalang-halangi diriku untuk memanggilnya. Dan akhirnya, ketika seluruh duniaku seperti runtuh habis-habisan tadi malam, maka aku memanggil ibu. Apa yang akan kuceritakan padanya? Ibu pernah menghadiahi aku sebuah kebaya Jawa peninggalan nenek.
“Karena engkau harus mengenakannya sendiri,” katanya.
“Apapun itu. Aku bisa saja mendandanimu. Karena kau tak bisa bertata rias sebagaimana perempuan-perempuan desa. Sungguh beruntung nenekmu; ada yang masih menjaga kebiasaan keluarganya. Engkau dan anakmu, tak akan pernah seperti itu. Cobalah kau kenakan kebaya itu sekarang, aku ingin lihat.”
Dan tadi malam, kebaya yang sudah tersimpan di antara lemari lain itu aku cari-cari. Aku obrak-abrik seluruh kamarku. Aku jungkirbalikkan semua laci. Aku tak pernah membuang kebaya itu. Semua pemberiannya tak pernah kubuang, juga setelah kami bertengkar hebat tentang anakku.
Beberapa jam tentu saja kutemukan kebaya peninggalan nenek itu. Ia sudah lusuh dan berdebu. Warnanya pun sudah mulai pudar. Malah lebih pudar dengan punyaku juga anakku. Lalu aku seperti bisa mengerti bagaimana menjadi perempuan desa.
Aku baru ingat ketika pertama kali melihat ibu mengenakan kebaya.
“Cantik sekali. Di mana aku bisa mengenakannya, Bu?” Begitu tanyaku karena kebaya yang dipakainya sangat sesuai dengan fisiknya.
“Nanti ibu akan belikan di pasar. Sabar ya,” katanya.
Maka seperti anak kecil yang baru saja dapat baju lebaran, kebaya itu selalu dipandanginya dengan takjub. Sambil menunggu hari esok, ia mulai merenung dan sulit untuk beranjak tidur. Tidak sabar akan suatu hari di mana ia dilihat oleh orang-orang. Termasuk kecantikannya saat mengenakan baju kebaya.
Kini setelah aku mengenakannya kembali, aku tampak seperti gadis. Gila, sulit rasanya menemukan sesuatu yang baru dariku. Lalu kupanggil ibu dan rupanya ia tersenyum. Tapi matanya tetap cemas. Aku pun merasakan yang sama dengan ibu.
“Seandainya anakmu bisa melihat ini, Nak. Mungkin dia tidak akan sepeti itu jadinya,” katanya
Baru kali ini aku setuju dengan ibu. Ya, keburukan anakku adalah ia lebih memilih gaya yang disukainya daripada warisan keluarga. Bahkan air hujan pun tak bisa mengubah takdir anakku. Aku mengangguk dan mulai bercerita,
“Semuanya karena masa depan, Bu. Masa depan adalah wajah suram dan petaka bagi kita.” [T]
Lubangsa, 20 Desember 2022