2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Kebaya | Cerpen Ikrom F.

Ikrom F.byIkrom F.
February 18, 2023
inCerpen
Kebaya | Cerpen Ikrom F.

Ilustrasi tatkala.co | IB Pandit

BAHKAN AIR HUJAN pun tidak bisa mengubah takdir anakku.

“Tapi, ia bisa mengenakan baju kebayamu, bukan?” Begitu kata ibu di telepon. “Jadi bagaimana? Sore ini kau ada di rumah, ya?”

Demi meyakinkan ia bahwa aku menyetujui tawarannya, maka kukatakan, “Ya.”

Sore itu hujan cukup deras, nyaris aku tak mendengar ketukan di pintu. Seperti apa dia sekarang? Sudah lima bulan kami tak bertegur sapa. Mau bagaimana lagi? Perselisihan itu demikian hebatnya. Aku mengikuti keinginan anakku dan ibu tak setuju. Ternyata begitulah; sebagai makhluk dengan banyak dimensi, ibu tahu tentang banyak hal tentang rahasia dunia. Termasuk kebohonganku dan kebiasaan buruk anakku. Dan ia tak bisa mengatakan kepada anaknya yang tetap saja menjalani pilihan hidupnya. Ia terus bertengkar dengan dirinya demi masalah sepele; Ia tak mengijinkan cucunya untuk meninggalkan sifat perempuan desa.

“Aku sudah hidup sebelum waktu berubah!” Begitu keluhnya, “Baru kali ini aku harus menghadapi persoalan seberat ini.” Lalu ia berdecak. “Sudahlah.”

Dan kini ia berdiri di depan pintuku. Air menetes dari rambut yang terurai panjang, dan sebagian celananya tampak basah. Jarak dari tempat ia memakir mobil ke rumahku (aku tak punya garasi) cukup membuatnya basah kuyub dan ibu tidak pernah bergegas. Ia ada sepanjang masa dan tentunya abadi. Untuk apa ia bergegas?

Sebenarnya kami tak akan pernah tahu lagi alasan mengapa kami dulu bertengkar; setidaknya aku merasa tak seharusnya bertindak seperti itu. Ibuku kembali ke wujud aslinya dalam kehidupan sehari-hari, kalau ia tidak sedang bertugas, ia lebih suka tenggelam dalam televisi dan dapur. Ia sungguh menyukai sinetron.

Kalau sudah begitu, seluruh dunia seperti harus menunggu perhatian darinya. Ia tak pernah memperhatikan apa pun ketika tenggelam dalam sinetron di layar televisi. Di televisi misalnya, tentulah ia tidak mencari drama asmara remaja; seperti halnya orang lain, ia menyukai tayangan soal masalah pertengkaran, kejahatan dan perselingkuhan.

Ada kebiasaan ibu yang kusuka tiap kali ia selesai menonton sinetron, terutama masalah film yang ia cintai. Ia akan menyorongkan bibir bawahnya ke depan, mencibir, lalu menggumam.

“Huh. Kenapa dia tak berani melawan? Dan mengapa harus menangis? Jika aku sendiri yang mengalami, pastilah aku pukul orang itu, sampai babak belur kalau perlu.”

Ia sendiri tak pernah mau banyak bicara soal pekerjaannya. Sejak ayah meninggal, ia tak pernah bercerita, apalagi kepada anak satu-satunya.

“Urusan menyiapkan makanan dari dapur dan mencuci baju itu hanya sebagian kecil dari pekerjaanku!” Begitu ia pernah berkata dengan emak-emak saat sedang berkumpul di teras rumah, jauh sebelum pertengkaran tentang kelakuan buruk cucunya. Ia mengusap wajahnya yang berkeringat dengan serbet, yang sebetulnya untuk mengusap piring.

“Kalau kau ingin mau dianggap sebagai perempuan desa, maka kau hanya perlu meniru perilaku layaknya orang-orang desa pada umumnya.” Ia berkata sambil menunjuk sebuah baju kebaya yang tergantung di lemari dengan tangannya.  

“Supaya kau tidak terlihat seperti orang asing, maka kau memerlukan baju-baju khas orang desa yang terjual di pasar. Harganya murah. Dan aku yakin suatu saat, anak cucumu nanti akan menyukainya. Terutama suamimu. Karena itu lebih sopan dibandingkan yang lain.”

Ia lantas mengambil kebaya dari gantungan bajunya. “Ini.” Ia berkata sambil menatapku dengan pandangan yang cemas.

Dan ia hanya menghembuskan nafas.

Aku mengangkat bahu. Tingkah ibu selalu membuatku pusing.

Ibu lalu melanjutkan pekerjannya melipat baju.

“Nak, mungkin aku yang selalu merasa khawatir terhadap kehidupan keluargamu kelak. Aku tidak tahu sampai kapan hidup ini tak ada yang perlu dicemaskan. Ayahmu mungkin akan menertawakanku di sana. Bahwa ibumu belum bisa belajar menerima kenyataan. Jadi, ibu memang perlu memperhatikanmu lebih dalam lagi. Kita perlu membangun janji agar ibu bisa lega. Kehidupan ini selalu diisi oleh orang-orang yang penuh janji,” katanya.

“Barangkali ibumu benar, Da. Di masa depan, kita tidak tahu seperti apa wajah dunia,” kata emak yang lain ikut-ikutan menimpali pesan ibuku.

Dan kini ia berdiri di depanku. Matanya sekilas berkilat merah seperti batu rubi, tapi kemudian kembali menjadi mata manusia biasa. Di tangannya ia meneteng kantong besar warna merah berisi kebaya.

Ia mengangkat kantong besar itu dan menyeringai bahagia.

“Dinda,” katanya, lirih dan hangat. Ini terasa seperti kalau engkau meminum segelas teh panas sesudah hujan-hujanan.

Ia memelukku erat. Dan aku pun sebaliknya. Sudah lima bulan. Aku tidak abadi, aku akan mati seperti manusia lain, itu pun kalau kematianku wajar (dan sialan, ibu tak mau memberitahuku perihal itu); aku akan mati karena usia tua, karena setiap organ dalam tubuhku gagal berfungsi. Lima bulan bagiku adalah waktu yang lama, tapi juga sebentar rasanya. Kadang lebih sebentar lagi jika aku berada bersama anakku yang kini entah di mana.

Sedangkan bagi ibuku lima bulan atau lima puluh bulan sudah tak berarti lagi. Aku tak tahu bagaimana rasanya hidup sepanjang masa.

“Percayalah, kau tak akan mau hidup selamanya.” Begitu ibuku kerap berkata padaku.

Soal keabadian bisa dibahas nanti. Kini tentu saja aku senang bahwa ibu datang. Tiba-tiba kusadari bahwa aku merindukannya dan ingin menceritakan kepadanya banyak hal.

Tapi pertama-tama tentu saja yang kudengar adalah suara terbahak-bahak ibu ketika ia masuk dan melihat kebaya yang lusuh seperti lama tak terpakai. Ada warna hitam kemerah-merahan yang pudar disetiap corak kebaya itu.

 “Kau benar-benar rindu ya,” katanya setelah tawanya reda.

Aku mengangguk. Ya, aku rindu, dan egoku sudah menghalang-halangi diriku untuk memanggilnya. Dan akhirnya, ketika seluruh duniaku seperti runtuh habis-habisan tadi malam, maka aku memanggil ibu. Apa yang akan kuceritakan padanya? Ibu pernah menghadiahi aku sebuah kebaya Jawa peninggalan nenek.

“Karena engkau harus mengenakannya sendiri,” katanya.

“Apapun itu. Aku bisa saja mendandanimu. Karena kau tak bisa bertata rias sebagaimana perempuan-perempuan desa. Sungguh beruntung nenekmu; ada yang masih menjaga kebiasaan keluarganya. Engkau dan anakmu, tak akan pernah seperti itu. Cobalah kau kenakan kebaya itu sekarang, aku ingin lihat.”

Dan tadi malam, kebaya yang sudah tersimpan di antara lemari lain itu aku cari-cari. Aku obrak-abrik seluruh kamarku. Aku jungkirbalikkan semua laci. Aku tak pernah membuang kebaya itu. Semua pemberiannya tak pernah kubuang, juga setelah kami bertengkar hebat tentang anakku.

Beberapa jam tentu saja kutemukan kebaya peninggalan nenek itu. Ia sudah lusuh dan berdebu. Warnanya pun sudah mulai pudar. Malah lebih pudar dengan punyaku juga anakku. Lalu aku seperti bisa mengerti bagaimana menjadi perempuan desa.

Aku baru ingat ketika pertama kali melihat ibu mengenakan kebaya.

“Cantik sekali. Di mana aku bisa mengenakannya, Bu?” Begitu tanyaku karena kebaya yang dipakainya sangat sesuai dengan fisiknya.

“Nanti ibu akan belikan di pasar. Sabar ya,” katanya.

Maka seperti anak kecil yang baru saja dapat baju lebaran, kebaya itu selalu dipandanginya dengan takjub. Sambil menunggu hari esok, ia mulai merenung dan sulit untuk beranjak tidur. Tidak sabar akan suatu hari di mana ia dilihat oleh orang-orang. Termasuk kecantikannya saat mengenakan baju kebaya.

Kini setelah aku mengenakannya kembali, aku tampak seperti gadis. Gila, sulit rasanya menemukan sesuatu yang baru dariku. Lalu kupanggil ibu dan rupanya ia tersenyum. Tapi matanya tetap cemas. Aku pun merasakan yang sama dengan ibu.

“Seandainya anakmu bisa melihat ini, Nak. Mungkin dia tidak akan sepeti itu jadinya,” katanya

Baru kali ini aku setuju dengan ibu. Ya, keburukan anakku adalah ia lebih memilih gaya yang disukainya daripada warisan keluarga. Bahkan air hujan pun tak bisa mengubah takdir anakku. Aku mengangguk dan mulai bercerita,

“Semuanya karena masa depan, Bu. Masa depan adalah wajah suram dan petaka bagi kita.” [T]

Lubangsa, 20 Desember 2022

BACA cerpen-cerpen lain

Rahasia Gambuh | Cerpen Made Adnyana Ole
Bom dan Bapak | Cerpen Surya Gemilang
Palus Bukit Jambul | Cerpen Gde Aryantha Soethama
Tags: Cerpen
Previous Post

Puisi-puisi Wayan Redika | Pohon Airlangga, Alamat Bapa, Luka Jayadhrata

Next Post

Menjamin Hak Pilih Disabilitas Intelektual pada Pemilu 2024

Ikrom F.

Ikrom F.

Pemuda kelahiran Jember. Saat ini sedang mengabdi di pondok pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Aktif di beberapa komunitas, seperti Komunitas Penulis Kreatif (KPK) Iksaj, IPJ, LPM Fajar dan PMII. IG @ikrom_f1234.

Next Post
Menjamin Hak Pilih Disabilitas Intelektual pada Pemilu 2024

Menjamin Hak Pilih Disabilitas Intelektual pada Pemilu 2024

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co