BIASANYA 14 Februari menjadi hari yang dirayakan buat pasangan-pasangan yang sedang kasmaran. Pasalnya, hari ini dianggap menjadi hari kasih sayang.
Meskipun ada beberapa pihak yang menyangkal hal tersebut dengan dalih “valentine bukan budaya kita, budaya kita adalah ngomongin orang di belakang” atau “valentine bukan budaya kita, budaya kita adalah galak di sosial media tapi tidak untuk dunia nyata”.
Meski pelbagai penyangkalan dilakukan, toh nyatanya begitu banyak pasangan yang merayakannya—termasuk juga dirayakan oleh orang-orang kantor untuk bertukar kado. Eits, tapi khusus untuk tahun ini dan tahun depan, 14 Februari akan dirayakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kenapa? Ini dia alasannya.
Kasih Sayang Dalam Pesta Demokrasi
Seperti yang saya dan anda ketahui, ehh anda sudah tahu kan? Jangan bilang belum tahu ya! Pesta demokrasi lima tahunan akan kembali dilaksanakan pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Artinya, masyarakat Indonesia yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih akan menggunakan hak pilihnya pada hari tersebut.
Pemilu menjadi penting karena Pemilu merupakan sarana untuk melakukan pergantian kepemimpinan, baik pada kamar eksekutif maupun legislatif secara konstitusional alias sah di mata hukum.
Dan yang lebih penting lagi adalah pergantian kepemimpinan tersebut melibatkan rakyat, mengingat rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi di Republik Indonesia—katanya. Hehe.
Akan ada 5 (lima) surat suara yang akan diterima oleh pemilih di Tempat Pengutan Suara (TPS) nanti, yaitu surat suara untuk memilih DPRD Kab/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI, serta Presiden dan Wakil Presiden.
Jadi sebelum memilih, jangan lupa pelajari rekam jejak calon-calon yang akan dipilih nanti. Hindari memilih karena titipan keluarga, karena serangan fajar atau cap cip cup saat ada di bilik suara—itu berbahaya, karena pilihan kita akan menentukan nasib bangsa hingga lima tahun ke depan.
Sebagai seseorang yang positive vibes, saya menduga pemilihan hari Valentine sebagai hari pemungutan suara pada tahun 2024 nanti bertujuan menekan narasi-narasi yang berujung pada pembelahan seperti yang sudah terjadi di Pemilu tahun 2019.
Saat itu pembelahan begitu tajam terjadi Indonesia. Istilah “cebong” dan “kampret” begitu lekat dengan persaingan dua poros kuat. Dampaknya kemudian masih bisa dirasakan oleh rakyat di level akar rumput hingga hari ini.
Dan melihat dinamika yang terjadi hari ini, bukan hal yang mustahil jika pembelahan akan kembali terjadi. Identitas akan kembali ditonjolkan, dan gagasan akan ditinggalkan. Apakah Pemilu 2024 mendatang tidak akan menghadirkan sebuah kemajuan?
Hadirkan Seremonial, Jangan Tinggalkan Hal Esensial
Beberapa hari yang lalu, saya memenuhi undangan dari Bawaslu RI dalam acara “Siaga Pengawasan Satu Tahun Menuju Pemilu 2024” dan saya melihat kalau acara serupa juga dilaksanakan oleh seluruh jajaran Bawaslu Provinsi dan Kab/Kota. Acara sejenis dengan judul berbeda juga diselenggarakan oleh KPU RI yang juga dilaksanakan oleh seluruh jajarannya.
Sesuai dengan judulnya, acara ini dilaksanakan dalam rangka memperingati satu tahun menjelang hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Dalam acara tersebut Bawaslu RI mengundang banyak pihak, seperti Komisi II DPR RI, KPU RI, DKPP RI, Kejaksaan Agung RI, Polri, TNI, Mahkamah Konstitusi RI, Partai Politik peserta Pemilu, Organisasi Kemasyarakatan, Pegiat Pemilu, hingga Pemantau Pemilu.
Kenapa banyak? Ya, karena Bawaslu hari ini mendorong partisipasi masyarakat dalam ikut mengawasi penyelenggaraan Pemilu 2024—selain penyerapan anggaran tentunya. Hehe.
Acara “Siaga Pengawasan Satu Tahun Menuju Pemilu 2024” di Jakarta
Beberapa kali saya menulis catatan soal hal-hal yang sifatnya seremonial. Hari Guru yang paling saya ingat—setiap tahun Hari Guru selalu diperingati, dan para pejabat selalu memberi sanjungan atas jasa para guru, tapi realitasnya masalah-masalah klasik belum juga terselesaikan—bahkan sampai hari ini. Hal yang sama juga berlaku untuk acara seremonial yang dilaksanakan oleh Bawaslu RI beberapa waktu lalu. Jangan sampai hal-hal seremonial ini mengganggu jalannya tahapan-tahapan Pemilu 2024.
Ternyata keresahan ini tidak saya rasakan sendiri. Keresahan serupa tampaknya juga dirasakan dan dibaca oleh Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung. Dalam sambutannya, ia sempat menyinggung soal tidak hadirnya Komisioner KPU RI dalam acara “Siaga Pengawasan Satu Tahun Menuju Pemilu 2024” yang dilaksanakan di kantor Bawaslu RI.
Ia menyebut tidak hadirnya Komisioner KPU RI diakibatkan oleh ketidakhadiran Komisioner Bawaslu RI di acara KPU RI pada hari yang sama, namun di jam yang berbeda. Ia pun juga mengingatkan jangan sampai hal tersebut kemudian mengganggu koordinasi dua lembaga yang menjadi ujung tombak penyelenggaraan setiap tahapan Pemilu tersebut—dan untuk poin ini, saya sepakat dengan Pak Doli. Jangan sampai ketegangan-ketegangan dua lembaga tersebut mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan rakyat.
Saya pikir pelbagai pemetaan dan capaian yang disampaikan oleh Teh Lolly Suhenty yang membidangi divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat tidak berhenti dalam acara tersebut.
Informasi-informasi tersebut harus dialihkan ke media-media lain, seperti visual, audio, hingga audio visual. Tim Bawaslu bisa menggunakan akun Instagramnya yang telah memiliki 145 ribu pengikut dan sudah centang biru tentunya sebagai alat sosialisasi. Juga bisa memaksimalkan seluruh platform media sosial yang dimiliki oleh Bawaslu RI dalam mendistribusikan informasi tersebut.
Bawaslu RI harus mendorong jajaran di bawahnya untuk lebih aktif menggunakan sosial media dalam mendistribusikan informasi perihal pengawasan Pemilu 2024—tidak hanya sekadar media untuk nampang kalau Komisioner sedang ikut rapat ini dan itu.
Saya pikir acara seremonial tersebut penting, tapi lebih penting lagi adalah bagaimana informasi yang disampaikan dalam forum tersebut juga sampai di genggaman masyarakat. Apa kalian sudah siap untuk ikut menjadi bagian dalam pengawasan partisipatif? [T]