SEPIANTARI DAN SEPIANTINI, dengan langkah pasti, dan dengan wajah yang riang, masuk hutan, Minggu siang, 12 Februari 2023. Apa yang mereka cari?
Jangan ditanya dulu. Sepiantari dan Sepiantini adalah sepasang perempuan kembar. Sejak pagi menjelang siang, mereka sudah memulai perjalanan dari wilayah datar di Desa Panji Anom, Kecamatan Sukasada, Buleleng.
Mereka berjalan menyusuri tepi parit, kadang agak terengah saat menyusuri jalan mendaki, kadang terseok di atas jalan setapak yang tak rata. Tapi wajah mereka tetaplah riang.
Langkah mereka diarahkan menuju hutan desa di wilayah ketinggian Puncak Landep, sebuah kawasan hutan yang lokasinya lumayan tinggi. Mereka berdua berjalan mulai dari ketinggian 1.500 mdpl, untuk sampai pada ketinggian 1.700 mdpl.
Jalan yang dilalui memang cukup terjal. Itu tentu saja menjadi tantangan. Tapi mereka tetap riang. Mereka bersenang-senang. Apa yang mereka cari?
Jangan ditanya dulu. Sepiantari dan Sepiantini adalah perempuan muda dari Desa Kayuputih Melaka, masih di wilayah Kecamatan Sukasada. Mereka melakukan perjalanan suci dengan konsep bersenang-senang untuk mencari sesuatu. Dua perempuan muda itu hendak ikut dalam sebuah misi yang tak biasa.
Sepiantari dan Sepiantini mengambil bibit pohon untuk dirawat dan akan ditanam kembali di dalam hutan | Foto: Panitia Nandurin Gumi
Sepiantari dan Sepiantini tentu saja tidak berdua saja. Mereka berada dalam satu rombongan pemuda lainnya, sekitar 25 pemuda, yang berasal dari gabungan komunitas anak muda di Buleleng dan Denpasar. Mereka sedang melaksanakan sebuah program. Namanya, “Nandurin Gumi”.
Program itu merupakan kegiatan kolektif lintas komunitas yang berfokus pada upaya-upaya konservasi. Dengan cara-cara yang menyenangkan, para anak muda itu tidak menjadikan konservasi sebagai ruang yang penuh kegawatan.
Konservasi menjadi ruang untuk bersenang-senang. Mereka berjalan bersama, saling ngobrol, saling tertawa, kadang saling ejek dengan gembira sembari menikmati alam di sekitar mereka. Mereka bersenang-senang untuk merawat alam.
Upaya mereka bisa disebut sebagai upaya pembacaan ulang konservasi tanah, air dan pohon. Bersama Sepiantari dan Sepiantini, pada pemuda dari sekitar 22 komunitas menghadapi jalan terjal secara menyenangkan dan puncak ketinggian dengan wajah yang berseri-seri. Mereka berjalan selama sekitar dua jam.
Program “Nandurin Gumi” memang benar-benar berbeda. Sepanjang perjalanan dari wilayah datar di Desa Panji hingga tiba di Puncak Landep itu para pejalan dari komunitas yang berbeda-beda itu mencari bibit tanaman langka. Jika bertemu bibit langka, bibit itu diambil dan di bawa pulang.
Selanjutnya bibit-bibit itu akan dirawat di tempat penitipan maupun di rumah masing-masing. Setiap anggota yang mengambil bibit wajib merawat bibit itu hingga tumbuh subur. Setelah satu tahun, bibit itu akan dikembalikan lagi ke dalam hutan.
Bibit-bit itu rencananya akan ditanam kembali pada bulan Desember saat tiba musim penghujan.”Ini konsepnya bersenang-senang,” kata inisiator Program Nandurin Gumi, Ida Bagus Mahadi.
Bersenang-senang masksudnya, kata Mahadi, semua masuk hutan tanpa beban. Mereka berkenalan dengan tumbuhan, mencium bau hutan dan bersentuhan dengan batang besar pohon hutan.
Selama ini yang banyak dilakukan orang atau lembaga-lembaga pecinta lingkungan adalah menanam pohon, setelah itu tak jarang pohon yang ditanam itu dibiarkan begitu saja, tanpa dirawat, dan mati sendiri. Setelah mati, program penanaman pohon kembali dilaksanakan. Begitu seterusnya.
Nah, dalam program ini, prosesnya dibalik. Bibit pohon itu diambil, dirawat di rumah layaknya anak. Setelah cukup umur baru ditanam lagi. “Bibit yang kami ambil adalah bibit yang kondisi tumbuhnya tidak memungkinkan. Misalnya tumbuh di pinggir jurang, padahal mereka harusnya tumbuh di tempat yang aman agar bisa tumbuh subur dan jadi resapan air,” ujar Mahadi.
Bersenang-senang mencari bibit pohon dalam Program Nandurin Gumi | Foto: Dok panitia
Dari upaya pencarian bibit itu ditemukan 22 bibit pohon langka yang diselamatkan. Bibit itu didominasi oleh bibit pohon angeh. Pohon angeh di tengah hutan Puncak Landep memang langka. Banyak pula yang tidak mengenal bentuk pohon ini. Bibit pohon ini banyak tumbuh di sekitar jalan menuju hutan. Sayangnya banyak terlindas kaki di jalur tracking karena ketidaktahuan pada pejalan. Bibit ini wajib diselamatkan agar tidak punah.
“Dulu di puncak banyak pohon angeh. Sekarang sedikit. Bibit yang tumbuh pun kebanyakan di pinggir jalan. Jadi karena tidak sengaja dan tidak tahu, ya terlindas atau terinjak. Dan akhirnya tidak jadi tumbuh,” kata Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Panji Anom, Ketut Marma.
Ketut Marma memang ikut dalam perjalanan anak-anak muda itu. Dia-lah yang senantiasi memberikan petunjuk dan penjelasan-penjelasan tentang pohon langka di wilayah hutan itu.
Minimnya keberadaan pohon angeh ini, kata Ketut Marma, dikarenakan penebangan liar. Banyak orang menebang pohon ini untuk digunakan sebagai arang. Oknum-oknum itu masuk ke dalam hutan dan menebang pohon angeh tanpa memilih. Sehingga populasi pohon ini semakin hari semakin berkurang.
Bagimana dengan kegiatan Nandurin Gumi ini? Ketut marma tentu saja menyambutnya dengan gembira juga. Karena ia memang ingin mengenalkan kepada generasi muda fungsi hutan, wajah hutan yang disebut-sebut sebagai area resapan air.
“Setelah mereka mengenal pohon itu, mereka tergugah untuk menjaga,” kata Ketut Marma. [T][Ole/DS]