DENPASAR | TATKALA.CO – Di Bali, upacara sudah banyak dilakukan, mulai dari mapekelem, ngepah hayu di segara (laut), dan upacara lainnya. Doa dalam tindakan kita yang kurang, tentang bagaimana merawat segara dari sampah, pencemaran, dan sebagainya.
Begitu kata budayawan I Wayan Westa ketika menjadi narasumber dalam acara Widyatula Bulan Bahasa Bali (BBB) V Tahun 2023, Senin, 6 Februari 2023 di Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Widyatula atau seminar itu mengusung tema “Kasuksman Segara Kerthi ring Kabudayaan Bali”. Selain Wayan Westa, narasumber lainnya adalah I Ketut Purianta dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali. Tak kurang 150 peserta mengikuti acara tersebut yang dimoderatori oleh Luh Yesi Candrika.
Westa menyajikan makalah berjudul “Segara Sajerining Darsana Budaya Bali: Segara ring Jaba Segara ring Jero”.
Ia mengatakan, cukup banyak pustaka lontar yang menyuratkan maupun menyiratkan betapa pentingnya keberadaan segara atau laut bagi kehidupan manusia. Bahkan, leluhur Bali menuliskan bahwa laut adalah sumber kehidupan dan sekaligus tempat peleburan segala penyakit.
“Berbagai ikan ada di lautan, garam dan bahan usada juga diperoleh dari lautan,” ujarnya.
Segara itu, kata Westa, adalah tempat mencari amerta atau kehidupan, terutama bagi kaum nelayan. Untuk memperoleh amerta dari lautan, nelayan bisa mempelajari lontar Wariga Krimping, yang banyak memuat soal hari baik untuk membuat jukung, pancing, jaring sebagai sarana menangkap ikan. Waktu yang baik untuk melaut juga bisa dipelajari dari astronomi tradisional Bali.
“Untuk mendapatkan amerta urip dari segara, diperlukan kerja keras atau karma kanda,” ucap Westa.
Westa lantas menyoroti menurunnya kualitas ekosistem di kawasan pesisir. Kondisi itu tampak dari rusaknya atau alih fungsi hutan bakau. Banyaknya bangunan mendesak kawasan pantai. Bahkan, loloan diuruk demi pembangunan akomodasi pariwisata. Parahnya abrasi yang terjadi di Pulau Bali, seperti dari Kusamba ke Lembeng, dan pesisir Bali lainnya. Belum lagi limbah industri yang tidak terkelola dengan baik.
“Membaca Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, ada segara kertih. Di desa-desa pesisir ada nyepi segara. Kemudian ada upacara candi narmada. Upacara melasti dan nganyut setelah ngaben juga dilakukan di segara. Itu semua bukti bahwa laut sangat disucikan dalam kebudayaan Bali,” kata Westa.
Terkait keberadaan “segara ring jero” dia mengutip lontar Jnana Siddhanta. Di dalam pustaka suci itu ada menyebut istilah sapta samudra pada diri manusia. Kemudian, dalam lontar Panugrahan Dalem ada istilah segara tan patepi (laut luas tak terbatas).
“Untuk meraihnya, seseorang harus belajar, berguru, melatih diri, sehingga mampu diperoleh apa yang disebut amerta jiwa,” katanya.
Sementara itu, Ketut Purianta dalam kesempatannya memaparkan pelbagai kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya pelestarian laut. Ia mengatakan, kelestarian laut sangat dipengaruhi kondisi lingkungan dan daya dukung lingkungan dunia. Semua aktivitas di hulu juga berpengaruh terhadap kondisi di kawasan pesisir atau laut sebagai hilir. Karena itu, upaya pelestarian laut memerlukan partisipasi seluruh masyarakat.
Kabid Perikanan itu menjelaskan, keberadaan laut memiliki peran penting, sebagai sumber daya hayati, sumber daya non-hayati, jasa-jasa lingkungan. Sebagai mega-biodiversity, laut Bali memiliki beragam jenis ikan, keanekaragaman terumbu karang, hingga menjadi perlintasan migrasi lumba-uma dan paus.
Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah regulasi mengenai pelestarian laut. Antara lain UU No. 11/2004 jo UU No. 45/2009 tentang Perikanan, UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 32/2014 tentang Kelautan, Permen KP No. 26/2021 tentang Pencegahan Pencemaran, Pencegahan Kerusakan, Rehabilitasi, dan Peningkatan Sumber Daya Ikan dan Lingkungannya. Pemprov Bali sendiri mengeluarkan beberapa peraturan, salah satunya Pergub Bali No. 24/2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut.
Purianta menegaskan, upaya pelestarian laut oleh Pemprov Bali dilakukan dengan perlindungan secara sekala dan niskala. Upaya itu di antaranya menetapkan zonasi perairan, penanaman pohon, pengelolaan sampah dan limbah, menegakkan aturan, hingga upacara penyucian segara. Pemerintah juga menekankan aktivitas penangkapan ikan dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan sehingga tidak merusak ekosistem laut dan stok ikan pun terjaga.
“Laut sangat luas. Ada banyak masalah dalam upaya menjaga kelestarian laut. Supaya tidak ada sampah dan limbah mengalir ke laut, maka perlu kolaborasi hulu dan hilir. Kebersihan laut merupakan kebutuhan,” tegas Purianta. [T][Pan]