TIGA PULUH tahun lalu, tepatnya tahun 1992, Putu Mara, memantapkan diri untuk menjelajah kehidupan baru di daerah yang baru. Ia pun bersiap untuk bertualang, tepatnya bertransmigrasi dari desanya di Anturan, Buleleng, Bali, menuju Sumatera Selatan.
Selama 30 tahun itu banyak liku-liku hidup yang dilaluinya. Penuh suka, juga duka. Penuh tantangan, penuh pelajaran. Hingga kini, di usianya yang ke-65, Putu Mara boleh dibilang sebagai salah satu warga transmigran Bali yang sukses.
Tantangan pertama ia hadapi ketika naik kapal untuk berangkat ke bumi Sumatera melalui laut. Untuk pertamakalinya, saat itu. Ia naik kapal laut.
“Saya ingat, saat itu saya menempuh perjalanan menggunakan kapal laut selama dua hari dua malam dan terjadi gelombang laut yang sangat besar,” cerita Putu Mara mengenang awal perjalanannya menuju Sumatera.
Peristiwa itu membuatnya trauma. Ditambah lagi, saat di kapal laut itu, terdapat warga transmigrasi lain yang mengalami serangan jantung dan meninggal di tempat. Namun trauma itu berusaha ditelannya. Putu Mara bersama warga transmigrasi lainnya tetap memiliki prinsip dan tujuan yang teguh untuk mengubah nasib.
Alasan Putu Mara bersama warga transmigrasi lainnya dengan rela meninggalkan tanah kelahiran karena factor ekonomi.
“Meski Bali adalah tanah kelahiran saya, tetapi pada saat itu saya tidak mempunyai apa-apa. Saya mempunyai saudara kandung laki-laki banyak, sedangkan saya anak pertama yang sudah berkeluarga tidak memungkinkan untuk saya tinggal satu atap di rumah orang tua saya yang kecil. Jadi saya memutuskan untuk ikut program transmigrasi inidengan harapan saya pada saat itu dapat mengubah nasib saya,” kata Putu Mara.
Setelah melewati tantangan di laut lepas, Putu Mara bersama keluarga dan warga transmigran lainnya pun tiba di daratan. Mereka naik kendaraan menuju dearh di mana mereka akan tinggal dan menyambung hidup. Daerah yang ditempati Putu Mara bernama Desa Penilikan, Kecamatan Peninjauan, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan.
Di tempat itu, Putu Mara mendapatkan bekal untuk memulai kehidupan baru. Ia mendapatkan sebuah rumah berbahan dasar kayu, tanah seluas 1 hektar beserta bibit pohon karet, dan tanah seluas 1 hektar lagi lengkap dengan bibit pohon kelapa sawit.
“Kami merasa senang dengan hal itu dan membuat perjalanan kami tidak sia-sia,” kata Putu Mara.
Putu Mara langsung bersiap untuk bekerja. Tekadnya sudah bulat ingin mengubah hidupnya menjadi lebih baik, meski berada di negeri orang.
Namun, mengubah kehidupan bukanlah pekerjaan instans. Lahan yang diserahkan oleh pemerintah itu masih berupa hutan.
“Kami harus benar-benar dari nol merintis perkebunan, mulai dari menebang hutan, hingga menanam jatah bibit yang telah diberikan oleh pemerintah,” katanya.
Setelah itu, Putu Mara dan kawan-kawan harus menunggu bertahun-tahun, hingga belasan tahun baru bisa menuai kerja keras itu.
Sehari-hari Putu Mara melakukan pembersihan lahan, pembibitan, pengairan, hingga pemupukan tanaman. Tak jarang Putu Mara dan kawan-kawan juga mendapatkan gangguang hewan buas seperti beruang, tapi semuanya dihadapi dengan sabar dan penuh perjuangan.
“Semua itu dilakukan dengan sabar dan tidak sedikit modal dan tenaga yang telah dikeluarkan sehingga ia akhirnya mendapatkan hasil yang memuaskan seperti sekarang ini,” ujar Putu Mara.
Kini Putu Mara hidup berkecukupan di Dusun 1, Desa Penilikan, Kecamatan Peninjauan, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan.
Saat ini ia sudah memiliki aset tanah yang sudah atas namanya sendiri yaitu seluas 6 hektar. Dari 6 hektar itu, sebanyak 2 hektar berupa perkebunan kelapa sawit, dan 4 hektar perkebunan karet.
Putu Mara juga memilik dua rumah dengan model yang berbeda-beda. Satuu rumah mengikuti bangunan modern sesuai model bangunan rumah warga asli Sumatra Selatan karena kebanyakan rumah warga Bali di daerah itu memang mengikuti model rumah yang sama, agar dapat berbaur dengan warga lokal.
Satu rumah lagi adalah rumah kayu yang didapatinya saat pertama kali datang ke daerah itu sebagai warga transmigran.
“Rumah itu masih saya rawat dengan baik karena mengandung banyak kenangan sehingga enggan untuk mengganti rumah itu,” kata Putu Mara.
Putu Mara pun mendukung dengan serius pendidikan dan pekerjaan anak-anak-anaknya. Ia memiliki empat anak, yakni 3 laki-laki san seorang perempuan. Anak-anak laki-lakinya sudah menikah dan mempunyai rumah sendiri-sendiri mereka juga dibekali perkebunan karet.
Anak perempuannya sedang menempuh pendidikan S1 di Pulau Bali dan satu anak laki-lakinya juga merupakan lulusan S1 pendidikan olahraga di kampus PGRI Palembang.
Warga etnis Bali di daerah transmigrasi Desa Penilikan dan sekitar hidup rukun sesama warga Bali maupun warga lokal. Putu Mara dan warga Bali lain masih memegang erat tradisi menyamabraya atau saling bantu-membantu saat ada upacara adat dan upacara agama, seperti upacara pengabenan dan tiga bulanan anak.
Pada saat Hari Raya Galungan dan Kuningan warga etnis Bali di daerah masih tetap mendirikan penjor di depan rumah sehingga suasana Galungan di daerah itu sama dengan di Bali. Pada saat Hari Raya Nyepi warga masih menerapkan rentetan yang menyesuaikan tradisi di Bali seperti melasti, mengarak ogoh-ogoh keliling desa, dan menerapkan catur brata penyepian.
Putu Mara menjelaskan, kini tercatat kurang lebih warga Bali yang mendiami Desa Penilikan sekitar 113 KK. Mereka berasal dari berbagai desa di Bali, seperti dari desa-desa di Buleleng, di Nusa Penida di klungkung, Desa Seraya di Karangasem, dari Bangli, dan kabupaten lain dinya.
Warga etnis Bali di desa itu memiliki balai banjar dan desa itu memiliki akses jalan yang dibeton dan lumayan bagus, meski masih terdapat sejumlah jalan tanah yang becek dan licin jikalau musim hujan.
Saat menyamabraya mereka biasa saling mendatangi satu rumah dengan rumah lain dengan melewati akses jalan di desa itu. Jika menyamabraya keluar desa, misalnya menghadiri upacara warga Bali di daerah lain, warga Bali di Desa Penilikan tak jarang harus melewati jalan yang berada di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit dan karet.
“Karena saking kuatnya hubungan antara warga etnis Bali di desa satu dengan desa lainnya, sekaligus untuk menjaga tradisi leluhur di daerah transmigrasi, warga tetap bertekad untuk melewati jalan yang becek dan jauh bahkan kadang dengan mengendarai sepeda motor. Itu demi menjaga tradisi leluhur,” kata Putu Mara.[T]