PERJALANAN SAYA menuju lereng Gunung Rawung, Jawa Timur, pada tanggal 8 Desember 2022 bersama rombongan preti sentana Dalem Tarukan sebenarnya bukanlah perjalanan yang pertama. Di tahun-tahun sebelumnya perjalanan yang serupa sudah pernah saya lakukan bersama rombongan yang sama, namun kali ini menyisakan suatu pengalaman yang berbeda dari sebelumnya.
Awalnya, saya pahami di sana ada petilasan Rsi Markandeya, ada kolam pembersihan atau beji, terdapat Candi Gumuk Kancil, ada Goa Gantung yang kesemuanya akan bisa memberikan pengalaman spiritual yang unik dari setiap pemedek yang tangkil.
Magnit spiritual yang tersimpan di areal ini bisa dirasakan karena letaknya jauh dari hiruk pikuk kebisingan. Desiran angin yang menyejukkan, gemericik air pancuran di beji yang tumpah di beberapa kolam bukan hanya indah didengar ibarat suara dentingan gitar yang bersautan dari satu kolam ke kolam lainnya, namun kesejukan airnya mampu mengirim kesegaran yang luar biasa dan dipercaya khasiatnya dapat mengobati berbagai penyakit.
Di tahun sebelumnya pemahaman seperti itu menjadi hal dominan bagi saya. Tiba-tiba saja, perhatian saya saat piodalan yang jatuh pada, Umanis Purnama Kenem, 9 Desember 2022, telah memberi wawasan baru dalam membangun cara pandang tentang keberadaan Pura Gumuk Kancil di kawasan lereng Gunung Rawung.
Keberadaan candi ini bukan begitu saja ada, namun melalui proses yang sangat panjang. Candi ini terletak di Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi. Letaknya sekitar 80 Km dari kota Banyuwangi. Waktu yang diperlukan menuju Pura Gumuk Kancil dari Kota Denpasar, Bali kurang lebih 8 jam.
Di tengah kerindangan pepohonan dan perkebunan yang merupakan hutan milik KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) Perhutai Banyuwangi Barat berdiri tegak dan anggun Candi Gumuk Kancil, yang bentuknya mirip dengan Candi Prambanan di Jawa Tengah.
Candi Gumuk Kancil di Dusun Wonoasih, Glenmore, Banyuwangi | Dokumentasi; Made Jaya Senastri, Desember 2022
Candi Gumuk Kancil yang saat ini dikelola oleh Yayasan Nusantara Jaya dibangun sejak tahun 2001 dan diresmikan 11 Agustus 2002. Keberadaannya selalu dikaitkan dengan Maha Rhsi Agung Markandeya–seorang tokoh spiritual Hindu yang sangat terkenal pada Abad ke 7.
Ulasan-ulasan tentang candi ini yang tersiar media sosial, tidak bisa lepas dari pemberitaan Sang Rshi. Misalnya tentang:
Petilasan sejarah masuknya ajaran hindu di tanah Blambangan: http://www.semangatbanyuwangi.id/2020/08/petilasan-sejarah-masuknya-ajaran-hindu.html; Candi Agung Gumuk Kancil https://www.babadbali.com/pura/plan/gumuk-kancil.htm;
Candi Agung Gumuk Kancil, Jejak Pasraman Maharesi Markandeya; https://balibercerita.com/candi-agung-gumuk-kancil-jejak-pasraman-maharesi-markandeya/
Ulasan tentang keberadaannya memberi pemahaman kepada kita bahwa di lokasi berdirinya Candi Gumuk Kancil dipercaya sebagai petilasan Rshi Markandeya — seorang Rhsi yang berasal dari India berdasarkan Lontar Markandeya Purana.
Lontar ini menceritakan tentang asal usul sang Maha Rsi dan perjalanan beliau dalam berdharmayatra. Dikisahkan perjalanan suci beliau dari India menuju tanah Jawadwipa dan sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, kemudian lanjut ke pegunungan Dieng. Diperkirakan karena adanya bencana alam (gunung meletus) perjalanan beliau diteruskan menuju ke arah timur — ke Gunung Rawung, Banyuwangi.
Di sinilah beliau beserta pengikutnya membangun pasraman, yang saat ini menjadi lokasi didirikannya Candi Gumuk Kancil. Masyarakatpun sangat percaya bahwa wilayah di Rawung selatan merupakan pasraman yang ditempati masyarakat Jawa Aga (sebutan untuk masyarakat yang tinggal di lereng selatan Gunung Rawung).
Pasramannya dikenal dengan sebutan Diwang Ukir Damalung membentang dari Banyuwangi hingga Besuki, Situbondo. Komunitas Hindu di lereng Raung tersebar di dua dusun, Sugihwaras dan Wono Asih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore. Dua dusun terpencil ini berlokasi di lereng selatan Rawung.
Berdasarkan peninggalan sejarah yang ditemukan di lokasi ini berupa arca Siwa, genta dari kuningan, dan alat-alat upacara lainnya seperti uang kepeng, tempat tirta, kendi dan alat-alat rumah tangga dan masih adanya pemukiman penduduk yang saat ini masih bertempat tinggal di lereng Rawung Selatan secara turun temurun yang warganya beragama Hindu (Dusun Sugihwaras dan Wono Asih) menjadi penguat bahwa tempat ini merupakan jejak sejarah yang terkait dengan akivitas ritual yang bercorak Hindu.
Di pasraman di lereng Selatan Gunung Rawung, Sang Rhsi Markandeya melakukan tapa semedi, dan dari sanalah beliau mendapatkan wangsit yang mengharuskan beliau melanjutkan perjalanan sucinya ke tanah Bali.
Perjalanan pertama ke Bali beliau ditemani oleh sekitar 800 pengikutnya menuju pegunungan Toh Langkir, Besakih, Karangasem. Hanya saja, di perjalanan pertama ini, pengikut Sang Rshi banyak yang diserang penyakit yang berakibat pada kematian sebagian besar pengikutnya.
Melalui tapa semedi, Rhsi mendapat pentunjuk untuk kembali ke Gunung Rawung, dan keajaiban terjadi ketika para pengikut yang sakit mandi di lereng Gunung Rawung menjadi sembuh. Dan tempat tersebut saat ini disebut dengan Sugihwaras. Perjalanan kedua kalinya beserta rombongan yang berjumlah sekitar 400 orang akhirnya berhasil dengan membawa lima jenis logam yang dikenal dengan sebutan panca datu merupakan tonggak awal Bali mengenal ritual bercorak Hindu.
Sebagai bentuk penghormatan kepada Rshi Markandeya atas jasa beliau menyebarkan agama Hindu dari Pulau Jawa ke Bali, dibangunlah Candi Gumuk Kancil. Misi utama dari pendiriannya yang pembangunannya diketuai oleh Bapak Ketut Wiryana beserta timnya (Jaya Prana dan Prof. Dr. I Wayan Runa, M.Si) dimaksudkan untuk membangun tonggak persatuan warga Jawa-Bali.
Niat mulia inipun diwujudkan dengan pembangunan candi yang menggunakan bahan batu andesit yang berasal dari Gunung Merapi (mewakili Jawa) dan batu dari Gunung Agung (mewakili Bali). Kaki dan badan candi menggunakan batu yang berasal dari Gunung Merapi, sedangkan puncak candi menggunkan batu yang berasal dari Gunung Agung yang dilengkapi dengan kersi yang b erlapis emas dan sekaligus berfungsi sebagai penangkal petir.
Sangatlah logis bahwa pembangunannya bukan hanya sekadar sebagai bentuk penghormatan terhadap sosok Rshi Markandeya, namun lebih jauh dari itu sebagai tindakan simbolik yang diharapkan mampu dijadikan wahana untuk merawat kesadaran sejarah yang nantinya diyakini akan menghasilkan kesadaran tentang arti penting menjaga keseimbangan lahiriah dan batiniah.
Aura magis yang terpancar di kawasan Candi Gumuk Kancil kiranya akan bisa mengantarkan umat Hindu yang tangkil untuk mendapatkan kejernihan pikiran. Terlebih keberadaannya dikelilingi dengan tempat suci lainnya yakni Pura Puncak Raung, Goa Gantung dan Beji. Tahapan persembahyangan yang diawali dengan pembersihan diri di Beji, dilanjutkan dengan persembayangan di Pura Puncak Raung dan selanjutnya di Candi Gumuk Kancil merupakan tahapan spritual yang akan mampu menyisakan pemahaman tentang arti pembersihan dan kesucian.
10 Pancuran di Beji: Tempat Penglukatan | Dokumentasi: Sendratari, Desember 2022
Pemberitaan dan pembacaan tentang Candi Gumuk Kancil yang dilengkapi dengan aura religius magisnya dengan pelahan namun pasti dari sejak pendiriannya telah menambah lintas cakrawala umat Hindu di Bali yang dulunya hanya melintas di Pura Blambangan, Banyuwangi, namun kini telah menjadikan Candi Gumuk Kancil sebagai lintasan yang melengkapi perlawatan spiritual dari historis dikenalnya agama Hindu ke Bali.
Hasil perlawatan saya saat sampai di Candi Gumuk Kancil pada piodalan yang jatuh pada Jumat 9 Desember 2022, Umanis Purnama, Wuku Kajeng bukan hanya menguatkan pemahaman tentang sejarah pendiriannya, tahapan persembahyangannya, emosi keagamannya namun ada hal yang mampu menarik perhatian saya tentang simbol-simbol yang dihadirkan di depan candi.
Perhatian saya tentang simbol-simbol yang menyedot perhatian bukan hanya dimaksudkan untuk mengasah daya kritis, namun ternyata telah mampu membawa saya ke ruang pemikiran tentang permainan oposisi biner yang terpaut dengan mekanisme penguatan tentang makna keseimbangan. Dalam konteks inilah perjalanan kali ini menjadi berbeda dari perjalanan sebelumnya saat menuju tempat yang sama.
Simbol-simbol Pada Candi Gumuk Kancil | Dokumentasi: Made Jaya Senastri, Desember 2022
Pertama, di ruang candi diletakkan lingga dan yoni. Di dalam pemahaman lingga yoni yang selama ini ada diartikan sebagai simbol penciptaan manusia. Lingga diartikan sebagai organ maskulin, sedangkan yoni mewakili organ feminin. Penyatuan keduanya akan menghasilkan kehidupan. Dalam penyatuan lingga dan yoni terdapat pemaknaan bahwa penyatuan keduanya akan menghasilkan energi penciptaan kehidupan.
Jika dilihat dari perspektif agama Hindu, pemujaan atas penyatuan keduanya akan menghasilkan kekuatan tertinggi, bahkan penyatuan keduanya diartikan sebagai lambang kesuburan, sehingga pemujaan terhadap simbol ini sebagai pengharapan untuk mendapatkan kesuburan alam semesta.
Pemaknaan tentangya, kiranya dapat diperluas bahwa kehadiran lingga-yoni di Candi Gumuk Kancil dari pembacaan semiotika dapat menyiratkan suatu pesan moral yang hidden di mana simbolisasi yang hadir disitu bisa melatihkan cara berpikir dan bertindak kita tentang purusa (laki-laki) dan predana (perempuan) yang diartikan sebagai dua kekuatan yang bisa saling mengisi, saling melengkapi.
Jika sudah sampai pada pemahaman di tingkat ini, maka sikap yang terbangun dalam kehidupan sosial adalah sikap yang saling mengasihi dan bukan sebaliknya sikap yang saling melukai. Kiranya pembacaan yang semacam ini bukan semata sebagai tafsir yang dilandasi sikap feminis, namun dilandasi pula dengan hasil pembacaan dari simbol lainnya yang tersedia di Candi Gumuk Kancil, yakni pemakaian warna merah dan putih di areal candi.
Kedua, pemakaian warna merah dan putih dalam bentuk tedung/payung, bendera dan umbul-umbul ternyata bukanlah hanya sebagai pajangan. Kehadirannya ternyata menguatkan pandangan bahwa manusia adalah makhluk simbolik (homo simbolicum). Pembacaan tentang simbol, diperoleh dari Romo Cokro, atau yang lebih populer dipanggil dengan sebutan Romo Eko.
Romo diartikan sebagai orang yang dimuliakan. Romo Eko berasal dari kawasan Dieng, hadir pada saat piodalan di Candi Gumuk Kancil. Beliau memberikan pembacaan atas hadirnya warna merah dan putih di candi seperti berikut ini.
“Merah -Putih itu adalah simbol bhuwana agung dan bhuwana alit, merah itu simbol bumi/pertiwi dan putih adalah simbol angkasa. Sama juga artinya dengan simbol purusa dan pradana. Putih itu adalah lingga, sedangkan merah adalah yoni. Dalam kehidupan kita sebagai manusia kedua warna ini selalu hadir untuk menyadarkan kita bahwa keduanya sangat diperlukan untuk memberi arti pada kehidupan kita. Simbol angkasa dan pertiwi akan mengajarkan kita bahwa keduanya sangat berarti untuk mendapatkan kualitas hidup. Kita tidak bisa hidup tanpa bumi dan angkasa”
Romo Eko Saat Menjelaskan Makna Simbol di Candi Gumuk Kancil | Dokumentasi Made Jaya Senastri, Desember 2022
Pandangan dari Romo Eko dapat membantu kita bahwa simbol merah putih yang dihadirkan di Candi Gumuk Kancil seharusnya bisa memberi pelajaran hidup kepada kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan baik dalam artian saling menghormati antara pursa dan pradana, namun juga pentingnya penghormatan kita terhadap bumi dengan segala isinya karena, di bumilah sumber kehidupan.
Menurut Romo Eko keberadaan simbol di candi sesungguhnya memberikan pesan kepada manusia agar selalu eling untuk menjaga bumi, karena bumi sudah berjasa memberi kehidupan kepada manusia. Pandangan ini sesuai dengan prinsip ekofeminisme yakni sifat feminis yang berpegang pada prinsip perawatan terhadap bumi. Kesadaran akan pentingnya bumi dalam kehidupan manusia ditunjukkan melalui pembuatan gunungan hasil bumi saat piodalan di Candi Gumuk Kancil sebagai cerminan persembahan kepada Hyang Maha Kuasa.
Gunung adalah sumber kehidupan, karena dari sanalah berbagai hasil bumi diperoleh, dan sumber air pun kita peroleh dari gunung, sehingga manusia wajib berucap syukur. Demikian penjelasan Romo Eko tentang makna tersembunyi dibalik persembahan hasil bumi.
Menariknya lagi prinsip perawatan terhadap bumi dan cara unik umat Hindu melakukan persembahan tampak dari bahan sesajen yang sepenuhnya diambil dari hasil bumi setempat., tidak mengandalkan bahan dari luar desa. Wadah sesajen dibuat dari irisan bambu dan berisi pisang dan kelapa. Tidak bisa ditutupi kesan sederhana tentang cara umat Hindu di lereng Gunung Raung melaksanakan ritual. Potret ini bisa menjadi bahan ajar yang memperkaya pemahaman umat Hindu tentang arti perbedaan.
Isian Sesajen untuk Persembahan di Candi Gumuk Kancil | Dokumentasi : Sendratari, Desember 2022
Menapak jejak purusa dan predana di Candi Gumuk Kancil akan mengajarkan kita arti pentingnya kerjasama antara purusa dan predana yang diperkuat melalui warna merah dan putih sebagai simbolisasi langit dan bumi yang memberi kehidupan kepada umat manusia.
Ternyata pembacaan terhadap simbol telah mampu memupus anggapan bahwa perjalanan spiritual yang melintas batas wilayah hanyalah pemuas gaya hidup, namun telah mampu mengirim cakrawala baru yang penuh kesan. [T]