SETELAH LULUS dari Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Putu Angga Mayobhayu tidak langsung angkat koper untuk pulang ke kampung halamannya di Klungkung, Bali. Ia justru jenak di Kota Malang dan memantapkan diri untuk buka warung di kota dingin itu.
Saya sempat singgah ke warung itu, ketika dalam perjalanan balik ke Bali, 8 Desember 2022. Warung itu bernama Warung Bli Putu. Saya coba sate lilit, menu andalan Bli Putu, dan rasanya saat itu saya sudah berada di Bali.
Putu Angga, usianya baru 22 tahun, dan sesungguhnya sudah mencoba berjualan sejak tahun-tahun terakhir masa kuliahnya.
Pada saat pandemi 2019, ia mencoba mencari solusi untuk bisa bertahan hidup dengan gaya khas mahasiswa di rantauan. Ia mencari sebuah alternatif usaha agar tetap bisa tinggal di Malang, tanpa banyak membebani orang tua di kampung, dan menyelesaikan kuliah tepat waktu.
“Dengan tekad dan keyakinan diri sendiri akhirnya usaha kuliner adalah jawaban dari keyakinan untuk bisa menyambung hidup tanpa harus pulang ke Bali untuk meminta uang kepada keluarga,” kata Putu Angga.
Tepat 3 Januari 2022 sebuah lapak dibuka dengan menu unggulan sate lilit. Selama 7 bulan memberanikan diri untuk berjualan menggunakan rombong di pinggiran Jalan Soekarno-Hatta, Malang.
Menuju bulan ke -8, Putu Angga memutuskan untuk pindah lokasi dan menyewa sebuah kios berukuran 4X9 meter di daerah Sudimoro, Kota Malang. Putu Angga berjualan dari jam 8 sampai jam 5 sore.
Berpose di depan Warung Bli Putu
Putu membayar Rp. 800.000, per bulan kepada pengontrak pertama. Pengontrak pertama itu adalalah saudara Putu. Setelah Warung Bli Putu tutup, akan di lanjutkan dengan betjualan lalapan oleh saudaranya.
Menurut Putu Angga, keputusan untuk membuka warung adalah perjudian terbesar selama ini dalam hidupnya. Bagaimana tidak, tanpa memiliki keterampilan yang mumpuni di bidang masak-memasak, Putu memberanikan untuk membuka bisnis kuliner kecil di masa pandemi.
Keyakinan dan keuletan serta rasa haus untuk terus menimba ilmu dan belajar terus adalah modal utama yang dimiliki Putu Angga. Warung Bli Putu dengan spesialis sate lilit khas Bali menjadi menu khas yang diharapkan bisa menggaet banyak pelanggan.
Dengan menu yang halal pastinya. Penjualan online pun dilakukan, ciri khas bisnis masa kini dan nanti. Sampai saat ini, pelanggannya juga sudah meningkat setidaknya tidak hanya teman dari Bali dan orang Bali, tetapi banyak orang-orang Malang atau mahasiswa dari daerah lain di Indonesia yang memang sudah jatuh cinta dengan masakan bali seperti lawar kacang ayam, sate lilit, sambal matah, sambal embe dan kuah ayam basa genep.
Pendapatannya Putu Angga memang tak langsung membuatnya kaya raya. Ssetidaknya hasil jualannya bisa untuk biaya hidup dan sewa kontrakan tanpa harus meminta pada keluarga di Bali.
Berawal dari modal Rp. 8.000.000, kini Putu Angga paling sedikit mampu menghasilkan Rp. 1.600.000 tiap bulan. Beberapa kali tembus di angka Rp. 4.000.000 per bulan. Meskipun penghasilan masih sedikit, Putu Angga pantang menyerah.
“Tinggal di Malang pantang bernasib malang,” seloroh Putu Angga.
Dari Putu Anggadan usaha Warung Bli Putu ini saya belajar banyak sekali. Selain rasa masakan yang pastinya sangat subjektif dan harga yang terjangkau, saya malah tertarik dengan jargon-jargon di spanduk yang dipasang di warung. Jargon itu tentu saja sarat makna.
Sebut saja “Menjual Nasi Bukan Janji”, dan paket menu yang sungguh sarat makna seperti “Paket Sudra”, “Paket Waisya” dan “Paket Ksatria”.
Selamat dan sukses terus Bli Putu di Malang. Pantang malang dan terus berjuang. [T]