GURU SEPATUTNYA digugu dan ditiru. Setiap apa pun yang baik-baik, yang dianjurkan kepada siswa, semestinya dapat juga dilakukan oleh guru.
Contohnya banyak. Misalnya, guru juga turut dalam lomba-lomba, juga ikut menjadi petugas pada momen-momen perayaan hari-hari penting.
Kegiatan yang dilakukan siswa, dilakukan juga oleh guru. Itu berguna sebagai pembuktian bahwa guru juga bisa melakukan, bukan melulu bisa memerintah.
Izinkan saya, sebagai guru, bercerita tentang Hari Guru. Setiap tanggal 25 November, lagu Hymne Guru berkumandang dengan gegap-gempita, dinyanyikan bersama sebagai salah satu bentuk menghargai jasa guru yang telah membangun insan cendikia.
SMP Negeri 4 Singaraja, tempat saya mengajar, selalu hadir dengan perayaan yang kreatif. Selain menjadi petugas upacara bendera, saya juga turut dalam lomba antar-MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
Selama menyandang status sebagai pengajar, saya mengingat tiga momen penting dalam perayaan Hari Guru.
Pertama, ketika saya menjadi petugas upacara. Bahkan dua kali. Saya menjadi pembaca susunan acara dan terakhir menjadi petugas pengibar Sang Saka Merah Putih.
Jika ditanya tentang perasaan, tentu bangga sebab diberi kepercayaan untuk turut andil pada acara sakral ini. Lalu, manakah yang lebih sulit, membaca sususn acara atau menjadi petugas pengibar Sang Saka Merah Putih?
Kedua-duanya memiliki kesulitan atau kendala tersendiri. Jika salah ucap atau keliru saat membacakan susunan acara, itu bisa memengaruhi hal lain, termasuk mental kita. Namun syukur selama bertugas, saya selalu lancar membacanya, meski kemungkinan masih ada yang kurang baik.
Misal, cara baca harus begini, gerakan mesti begini dan lain halnya. Paling tidak saya bisa mengemban dengan baik, penuh yakin, dan maksimal tugas yang menuntut siswa untuk bisa berada di posisi yang sama.
Kedua, mengikuti lomba antar-MGMP. Agar perayaan lebih bermakna dan memiliki nilai kenangan yang maksimal, panitia merancang beberapa perlombaan. Jika tahun lalu diadakan lomba menyanyi duet dan joged berpasangan (bukan joget dalam artian negatif ya, Teman-teman), maka tahun ini diadakan lomba memasak, menyanyi duet, dan peragaan busana kerja.
Semua lomba tersebut tentu bertujuan untuk melatih kekompakan dalam kelompok, memupuk jiwa kompetisi tinggi sebab akan menjadi contoh untuk siswa, dan terakhir sebagai ajang seru-seruan agar tidak melulu tentang belajar, mengajar, administrasi, dan lain-lain meski dalam hal ini juga bisa disebut belajar dan mengajar.
Tahap pertama saya mewakili MGMP untuk ikut lomba menyanyi duet. Berpikir menyanyi dengan kondisi tidak bisa bernyanyi adalah beban baru bagi saya. Setiap saat saya berlatih sendiri maupun dengan pasangan duet yang dibantu coach tersayang (suami) dan tidak terlepas dari adanya faktor keberuntungan, akhirnya suara pas-pasan ini mampu mempersembahkan juara I untuk MGMP Bahasa Indonesia.
Selanjutnya, tahap kedua saya mewakili MGMP dalam lomba peragaan busana kerja. Bayangkan yang biasanya berjalan dengan sembarangan dituntut untuk bisa berlenggak-lenggok di panggung dan menunjukkan keanggunan juga keserasian gerak dengan pasangan; kaku dan terkesan terburu-buru pastinya. Namun, agar lain dari yang lain maka permainan konsep adalah jalannya. Jalan menuju juara I.
Ketiga adalah momen yang mengarukan sekaligus mencemaskan. Haru, ketika banyak siswa yang menyayangi dan berlomba memberi bingkisan, merayakan pesta kecil di dalam kelas, dan menyemangati guru ketika turut dalam kegiatan-kegiatan tertentu di sekolah.
Beberapa teman guru juga pasti merasakan yang saya rasakan; didukung ketika ikut lomba, diberi semangat ketika bertugas, senang ketika mendapat juara, dan lancar ketika menjalankan tugas lainnya.
Bahkan mereka mengabadikan dengan beberapa postingan yang mungkin akan menjadi kenangan mereka nanti. Tentu dukungan mereka lahir karena dukungan yang kita beri.
Kedekatan guru berpengaruh terhadap perasaan siswa. Apalagi siswa masa kini. Merasa diperhatikan, didukung, dan dimengerti akan menjadikan siswa tersebut nyaman berkonsultasi dan tidak ingin menyepelekan himbauan gurunya.
Selain guru lainnya, wali kelas adalah pilar utama motivasi siswa, sebab dari wali kelas mereka mendapatkan perhatian lebih terkait hal-hal yang berhubungan dengan kegitan sekolah, baik di bidang akademik maupun nonakademik. Dari tahun ke tahun, terlebih selama menjadi wali kelas, saya selalu menerima hal manis dari siswa bahkan yang bukan dari kelas binaan.
Sama halnya dengan tahun sekarang. Dukungan saat lomba dan menjadi petugas upacara saya dapatkan. Bahkan bouquet bunga, coklat, dan camilan saya terima. Namun di balik semua itu kecemasan pun hadir. Memikirkan berapa lama mereka menabung, atau sejak kapan mereka mengumpulkan uang agar bisa memberikan guru-gurunya bingkisan?
Apakah orangtuanya mengetahui bahwa anaknya memiliki inisiatif mengenai perayaan hari guru? Apakah “guru” mereka sendiri sudah diberikan bingkisan juga, mengingat selain HUT PGRI juga merupakan HARI GURU NASIONAL. Orangtua mereka guru juga, bukan?
Tidak bisa dipungkiri bahwa momen hari guru adalah hal yang berkesan sekaligus serpihan bukti bahwa guru tersebut disenangi dan dihargai. Lalu apakah siswa yang hanya mengikuti arus tanpa pergerakan lain tidak menyenangi, menghargai, dan minim inisiatif? Tentu tidak.
Mereka yang mampu menjadikan diri lebih baik, baik itu sebab keinginan sendiri maupun bantuan guru-gurunya adalah salah satu harga lebih bagi gurunya. Selain itu, dengan siswa atau peserta didik menjaga nama sendiri, orangtua, dan sekolah juga merupakan sebuah penghargaan yang istimewa bagi seorang pendidik. [T]