“Semoga dengan dibongkarnya patung Bung Karno, Tabanan segera menjadi Kota Pelangi lagi,”
Beberapa waktu yang lalu sempat heboh soal pembongkaran patung Bung Karno di simpang Kediri oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan.
Bahkan, menurut cerita teman saya orang-orang rela hujan-hujanan saat malam untuk melihat pembongkaran patung yang terbuat dari perunggu ini.
Sebagai warga Tabanan, saya tidak begitu mengikuti sejarah bagaimana patung Bung Karno ini menjadi kontroversi atau buah bibir warga dan netizen. Tapi, ketika nyalon sebagai wakil Bupati Tabanan pada 2020 saya sempat mendengar isu soal patung ini.
Warga di Kecamatan Kediri konon katanya menginginkan patung ini digusur. Itu bagus, sehingga kontroversi pun selesai. Saya secara pribadi mengucapkan terimakasih pada Bupati Tabanan dan jajaran.
Entah kenapa, di banyak tempat ikon Sukarno bermunculan. Bahkan tidak hanya patung, Tabanan memiliki Taman Bung Karno. Di sana-lah patung karya Nyoman Nuarta diletakkan.
Mungkin, sebagai partai penguasa PDI Perjuangan harus menonjolkan trah Sukarno. Sehingga patung Sang Proklamator harus dibuat di banyak tempat. Ini secara logika sejalan dengan Tabanan yang dikenal sebagai basis partai banteng atau wilayah merah.
Dalam perjalanan pulang ke kampung di Tabanan, ada seorang teman asal Buleleng berkelakar pada saya. Ia mengatakan mungkin Tabanan ingin mendapat sebutan Kota Bung Karno. Senda gurau teman saya ini sah-sah saja. Apalagi sebelum itu, ia bilang harusnya Buleleng yang memperlakukan Bung Karno seperti itu karena ikatan historis.
Ngomong-ngomong soal sejarah, memang orang tua, tepatnya ibu Sukarno merupakan orang Buleleng, lebih tepatnya berasal dari wilayah Bale Agung.
Saya dalam obrolan itu tidak mau kalah. Tabanan juga punya sejarah tapi tidak berkaitan dengan patung Bung Karno. Saat itu saya menunjuk patung Sri Wedari yang berada di wilayah Sanggulan. Kebetulan mobil yang saya kendarai lewat di sana.
Sama-sama patung toh.
Teman saya bertanya, apa kaitannya dengan patung Sri Wedari?
Saya menjelaskan dengan sok tahu, bahwa Tabanan pada tahun 80’an pernah memiliki julukan sebagai Kota Pelangi. Teman saya terdiam sejenak.
Lantas ia bertanya lagi, apa kaitannya Patung Sri Wedari tadi dengan sebutan Kota Pelangi?
Saya jelaskan dengan seksama. “Dulu, di Tabanan dianggaplah wilayah yang sering hujan. Terutama di wilayah Kecamatan Baturiti, Kecamatan Penebel dan Kecamatan Pupuan,”
“Nah, setelah turun hujan akan ada gerimis. Saat gerimis ini, dalam cerita dongeng bidadari akan turun ke bumi,”
“Jika sepanjang tahun selalu ada gerimis, maka akan selalu ada pelangi. Makanya disebut Kota Pelangi,”
Mendengar cerita tadi, teman saya hanya ngangguk-ngangguk pelan. Tampaknya ia percaya dengan perkataan saya. Dalam hati saya hanya tertawa. Saya tidak mengetahui secara jelas asal muasal sebutan Kota Pelangi ini. Pastinya, pada tahun 80’an seingat saya ketika pulang ke kampung, radio sering mengatakan Tabanan adalah Kota Pelangi.
Sebagai seorang Ketua Partai Nasdem di Denpasar, plus pernah nyalon di Tabanan sebagai calon Wakil Bupati pada Pilkada 2020, tentu obrolan tidak sesedehana itu. Lagi-lagi saya bercerita, di era tahun 80’an Tabanan warnanya banyak. Maksud saya, warna partai politiknya. Ketika mendengar itu, teman tadi lebih serius melihat saya.
Saya mengutip pernyataan Filsuf Yunani Aristoteles yang mengatakan, dalam demokrasi setiap warga negara dapat saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya sendiri. Jadi, setiap warga negara atau perwakilan warga negara berhak mendapatkan kekuasaan. Sehingga tidak ada kekuasaan absolut.
Mendengar penjelasan sok intelektual ini teman saya hanya berkata, “Ooooh,”
Beberapa detik setelahnya, “Duaaar,” ban depan mobil saya tidak sengaja melewati jalan berlubang. Bahkan, kami berdua sempat terguncang dari tempat duduk.
Lantas teman saya spontan berkata. “Semoga dengan dibongkarnya patung Bung Karno, Tabanan segera menjadi Kota Pelangi lagi,”
Kami pun tertawa. “Hahahahaaa….” [T][*]