Putu Indrawan dan Warung Tresni tidak bisa dipisahkan. Bila membahas Warung Tresni, maka sosok Indrawan akan menjadi bagian dari pembahasan tersebut. Apalagi bila membahas sejarah musik rock di Bali, maka nama Indrawan tidak bisa dilupakan.
Pertemuan saya dengan Indrawan, pemetik bass legendaris itu, terjadi pada tahun 2011. Ketika itu penyair Tan Lioe Ie mengontak saya agar bisa menjadi salah satu kurator Dapur Olah Kreatif (DOK) untuk bidang Sastra. Tanpa berpikir panjang saya menyanggupi. Dan kami pun menggelar rapat pertama di Warung Tresni untuk menyusun kepengurusan dan program kerja.
Putu Indrawan (paling kiri) dan adik-adiknya
DOK adalah sebuah komunitas seni yang didirikan oleh seniman lintas seni. Di dalamnya ada Putu Indrawan sebagai ketua, Tan Lioe Ie, Iwan Darmawan, Agung Bawantara (kemudian mengundurkan diri), Gogonk, Jango Pramartha, Erick Est, saya sendiri, dan beberapa nama lain. Selama setahun (2011 – 2012) setiap malam minggu, DOK menggelar berbagai acara seni di Warung Tresni. Penyair Umbu Landu Paranggi pernah juga menghadiri acara DOK.
Ketika aktif dalam kegiatan DOK itulah saya akrab dengan Indrawan. Sembari minum bir kami sering ngobrol berbagai hal, mulai dari soal seni hingga ilmu kebatinan. Selain dikenal sebagai musisi, Indrawan adalah penekun ilmu kebatinan. Ia sangat fasih berbicara tentang ajaran Kanda Pat dan Dasa Aksara. Tema kebatinan merupakan obrolan yang sering menarik perhatian saya.
Indrawan dan istrinya, Ita | Foto diambil dari akun facebook Ita Indrawan
Indrawan menghadapi hidup dengan cara yang sederhana, sesederhana penampilannya. Cara berpikirnya juga sederhana, sesederhana cara ia meladeni kawan-kawannya dari berbagai kalangan. Di luar dunia seni, ia bisa bergaul santai dengan pejabat, pebisnis, politikus, aktivis, agamawan, tokoh spiritual, wartawan, mahasiswa, ormas, bahkan dengan orang-orang biasa. Pergaulannya sangat luas. Ia bagaikan samudera yang dengan tenang menerima berbagai aliran sungai.
Putu Indrawan lahir di Denpasar, 18 September 1960. Setelah lulus dari SLUA 1 Saraswati, ia kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana. Sejak remaja ia telah menekuni seni musik. Pada awal 1980-an, Indrawan (bass) bersama Manto (gitar), Nyoman “Kabe” Gariayasa (drum), Dodot (keyboard), Bambang Hernomo (vokal) mendirikan grup band dan sering ngamen di bar Kayu Api, Legian, Kuta.
Saat itu, Kayu Api menjadi tempat favorit para musisi dan turis serta penikmat dugem. Beberapa musisi besar pernah singgah di bar tersebut, seperti Mick Jagger, Steward Copeland, Ment At Work, Australian Crawl, Gombloh, dan banyak lainnya.
Menurut penuturan Indrawan, pada awal 1984 promotor dan produser musik rock, Log Zhelebour, datang ke Kayu Api untuk mempromosikan Festival Musik Rock se-Indonesia yang pertama sekaligus mencari grup-grup band yang mau ikut bertanding dalam festival tersebut. Indrawan dan kawan-kawannya ditawari ikut bertanding. Ketika Log Zhelebour menanyakan nama band yang akan didaftarkan, Lolot yang kebetulan berada di Kayu Api bersama Gus Tedy secara spontan menjawab “Harley Angels”.
Lolot (Made Sudana Lokantara) pada saat itu adalah salah satu tokoh Armada Racun yang gemar menunggangi Harley Davidson. Pada masa tuanya Lolot mengabdikan diri sebagai pendeta Kristen.
Tanpa berpikir panjang, Indrawan dan kawan-kawannya menyetujui “Harley Angels” sebagai nama grup band yang didaftarkan dalam festival tersebut. Maka Harley Angels pun mengikuti Festival Musik Rock se-Indonesia yang diselenggarakan Log Zhelebour di lapangan sepakbola “10 November”, Tambaksari, Surabaya, 14 April 1984.
Tidak disangka, Harley Angels meraih juara pertama dalam festival bergengsi yang diikuti 30 grup band dari Jakarta, Bandung, Jawa Timur, dan Bali. Tidak hanya itu, Bambang Hernowo terpilih sebagai penyanyi terbaik dan Indrawan dinobatkan sebagai pemain bas terbaik. Dewan jurinya terdiri dari Achmad Albar, Jelly Tobing, Ian Antono, Arthur Kaunang, dan Abadi Soesman.
Harley Angels. Dari kiri: Putu Indrawan, Bambang Hernomo, Manto, Dodot, Nyoman Kabe | Foto koleksi Iwan Darmawan
Setelah kemenangan dalam festival itu, Harley Angels masih ngamen di bar Kayu Api dan beberapa tempat lainnya. Pada tahun 1990-an, karena kesibukan masing-masing personilnya, Harley Angels membubarkan diri. Sayangnya, grup band legendaris tersebut tidak sempat merekam lagu-lagu ciptaannya dalam sebuah album.
Pada tanggal 7 November 1997, Indrawan menikah dengan Ita. Tak lama kemudian Indrawan banting stir dari musisi menjadi pengusaha. Ia pernah berjualan kuliner dengan mobil bak terbuka di lapangan Renon. Kemudian ia membuka dan merintis warung yang menjual makanan dan minuman khas Bali, seperti tipat kuah, tipat cantok, rujak, es daluman, dan lain sebagainya.
Warung sederhana itu bernama Warung Tresni, berlokasi di Jalan Drupadi, Denpasar, Bali. Selain untuk menikmati makanan khas Bali, Warung Tresni menjadi tempat kongkow seniman lintas seni dan orang-orang dari berbagai kalangan.
Warung sederhana tersebut juga sering menjadi tempat jumpa pers, tempat rapat dan diskusi, bahkan juga tempat arisan. Warung Tresni menjadi semacam oase untuk berbagai kepentingan. Dan, tentu saja Warung Tresni tidak bisa dilepaskan dari sosok Putu Indrawan yang ramah dan supel bergaul. Ia sering meladeni para pelanggan ngobrol dari hal-hal ringan hingga obrolan yang bikin jidat berkerut.
Selama mengurus Warung Tresni, jiwa seni Indrawan selalu bergelora. Ia kemudian menggagas kelahiran beberapa komunitas seni, seperti DOK, Bali Classic Rock Community, Bali Blues Island, dan Bali PuisiMusik. Tentu saja Warung Tresni sering dipakai sebagai tempat berkumpul, berbagi pemikiran, diskusi, dan menggelar berbagai pertunjukan lintas seni yang banyak mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan.
Namun, DOK bisa dibilang sebagai wadah dan gerakan seni fenomenal di Bali. DOK mewadahi seniman dengan berbagai karakter dan latar belakang seni.
Saat itu, DOK mampu merangkul dan mengakomodasi berbagai kepentingan dan selera seni. Seniman musik, sastra, teater, film, kartun, lukis, tari, kuliner guyub menggelar berbagai pertunjukan seni di Warung Tresni. Tentu saja hal itu tidak bisa dilepaskan dari sosok Indrawan. Sayangnya, DOK hanya bertahan setahun, lalu membubarkan diri.
Kongkow para seniman dan kreator di Warung Tresni | Foto oleh Pande Suarsana
Meski DOK bubar, acara-acara musik di Warung Tresni tetap berjalan secara sporadis, diselingi acara-acara seni lainnya. Ketika kangen kongkow, Indrawan rajin mengontak kawan-kawan musisi untuk bermain musik di warungnya. Pada saat acara musik itu terlihat kuatnya persaudaraan antara musisi. Di luar acara musik, Warung Tresni juga dipakai menggelar acara-acara seni lainnya.
Misalnya, pada 7 Februari 2015, Komunitas Kretek (Komtek) pernah menggunakan Warung Tresni untuk menggelar “Pesta Puisi Tiga Kota” yang digagas sastrawan Puthut EA. Untuk kegiatan di Denpasar, acara tersebut menghadirkan Saut Situmorang dari Yogyakarta sebagai penyair tamu didampingi beberapa penyair dari Bali, seperti Pranita Dewi, Mira MM Astra, Muda Wijaya, Obe Marzuki, Ayu Winastri, dan saya sendiri.
Selain pembacaan puisi, acara tersebut juga menampilkan home band dari Warung Tresni yang menyanyikan lagu-lagu rock lawas. Indrawan bertindak sebagai koordinator acara tersebut.
Menurut penuturan Tan Lioe Ie, ketika Indrawan terlibat dalam Bali PuisiMusik, ia banyak memberikan masukan saat menggubah puisi menjadi musik. Ketika tampil di Antida Sound Garden pada Maret 2020, Bali PuisiMusik membawa gubahan baru, yakni “Blues untuk Bonnie” karya Rendra dan “Tuhan Butuh Malaikat Baru” karya Tan Lioe Ie. Pada saat latihan di studio sewaan, Indrawan mengusulkan agar bikin yang shuffle. Bahkan Indrawan banyak memberikan masukan kepada Tan Lioe Ie agar pas atau tepat menyanyikan puisi tersebut.
Grup Band Bali PuisiMusik digagas pada tahun 2009 oleh Putu Indrawan dan Tan Lioe Ie, kebetulan keduanya berkawan sejak sekolah di SLUA 1 Saraswati. Untuk melengkapi personil mereka kemudian mengajak Kabe Gariyasa (drum), Yande Subawa (gitar) dan Made Swandayana alias Dek Ong (keyboard).
Grup ini telah melahirkan dua album yakni “Exorcism” (2010) dan “Kuda Putih Remastered” (2012) berdasarkan beberapa puisi Umbu Landu Paranggi dan puisi Tan Lioe Ie. Selain itu, grup ini pernah tampil di beberapa event, seperti di Festival Bali Jani, Bali Creative Festival, Sanur Village Festival, Bentara Budaya Bali, UWRF, Jakarta Convention Center, Panggung Kedai Lalang Bekasi, Pekan Budaya Aceh, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) Tanjungpinang, TSI Ternate, Festival Seni Surabaya, Antida Sound Garden, dan sebagainya.
Bali PuisiMusik saat tampil di Antida Sound Garden 2020 | Foto: Phalayasa Sukmakarsa
Pada tanggal 7 Mei 2022, Indrawan mengundang saya datang ke Warung Tresni. Malam itu digelar pementasan musik dan temu kangen “kerabat” Warung Tresni. Sambil minum bir, saya menikmati pertunjukan musik yang dimainkan teman-teman musisi. Alunan musik, dari slow rock hingga blues, mengalir menghangatkan pikiran.
Meski kesehatannya tampak kurang bagus, Indrawan ikut tampil menyanyi. Dengan gerak tubuh yang ringkih dan suara serak, ia berusaha menyanyikan lagu Gloria dengan semangat. Ia memang sering menyanyikan Gloria, lagu kegemarannya itu, jika tampil dalam acara musik.
Gloria adalah lagu rock terkenal era pertengahan 1960-an karya The Them yang dinyanyikan ulang oleh The Doors. Sayup-sayup saya merasa lagu yang riang itu ia nyanyikan dengan sedih, seolah itu lagu penghabisan.
Di sela-sela acara, dengan berusaha tegar, Indrawan mengumumkan pembubaran Warung Tresni. Alasannya, kontrak warung tidak bisa diperpanjang lagi. Tentu saja saya kaget mendengar berita sedih itu. Pembubaran Warung Tresni menjadi kesedihan tersendiri bagi banyak orang yang pernah akrab dengan warung itu. Malam itu adalah farewell party Warung Tresni.
Suasana Warung Tresni saat acara musik | Foto oleh Phalayasa Sukmakarsa
Saya merasa Warung Tresni sudah seperti rumah sendiri. Ketika mabuk di warung itu ketika acara musik, saya biasa tidur di atas kursi atau di lantai warung. Pernah pula saat agak mabuk, saya baca puisi dengan berdiri di atas meja warung. Tentu saja Indrawan dan kawan-kawan lain tertawa-tawa melihat tingkah saya yang urakan itu. Tidak hanya saya, banyak seniman, terutama musisi, juga merasa Warung Tresni seperti rumah sendiri. Warung Tresni terlalu banyak menyimpan kenangan.
Setelah episode farewell party itu, saya tidak pernah berjumpa lagi dengan Indrawan. Kesedihan saya belum reda karena bubarnya Warung Tresni, kesedihan berikutnya kembali datang. Saya membaca berita duka di medsos, Indrawan meninggal pada tanggal 8 November 2022, pada hari purnama.
Menurut berita, Indrawan meninggal saat dibonceng putranya, Adi Setiawan (Emon), setelah pulang dari check up rutin paru-paru di rumah sakit. Memang, sejak beberapa tahun lalu Indrawan menderita sakit paru-paru. Namun, berita duka yang mendadak ini tetap saja mengagetkan saya. Dunia musik di Bali telah kehilangan salah satu putra terbaiknya.
Putu Indrawan, musisi legend itu, telah pergi ke alam niskala. Warung Tresni di Jalan Drupadi, Renon, itu pun tinggal kenangan. Selamat jalan, Bli. Damailah dalam keabadian.
(Batubulan, 9 November 2022)