Meski tinggal di Bali, tepatnya di Jembrana, setiap kali mendengar kata Ubud yang pertama kali terbetik dalam benak saya adalah hamparan sawah terasering dengan warna hijau yang menyegarkan mata. Belum lagi suhu udara yang sejuk khas pegunungan, serta pemandangan lembah, liukan sungai, membuat Ubud selalu jadi tujuan yang menyenangkan untuk menyepi sambil liburan.
Sawah terasering di Ubud sudah menjadi obyek wisata yang populer dan ramai dikunjungi wisatawan. Tampilan sawah berundak-undak, pohon-pohon kelapa yang ada di antara pemisah sawah menjadi pemandangan yang unik untuk dijadikan latar belakang foto.
Akan tetapi, saat membaca undangan yang dikirim melalui email dari Yayasan Mudra Swarisaraswati untuk menghadiri acara Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) tahun 2022, satu kata yang terlintas dalam benak saya adalah buku. Bukan karena saya dan sembilan penulis emerging UWRF 2022 lainnya akan mengadakan launching buku antologi Memayu Hayuning Bawana, melainkan karena acara tersebut sudah memiliki jadwal diskusi buku yang padat selama empat hari.
Puspa Seruni (pegang mik) pada sesi launching buku Memayu Hayuning Bhawana di Ubud Writers and Readers Festival 2022
Ada lebih dari seratus penulis, baik dari dalam negeri atau dari luar negeri yang diundang untuk memeriahkan festival sastra yang katanya terbesar di Asia Tenggara itu.
Bukan hal baru, sih, kalau UWRF dihadiri oleh penulis-penulis keren karena sejak pertama kali digelar UWRF sudah mampu mendatangkan banyak penulis untuk berdiskusi di festival yang sudah berlangsung selama sembilan belas tahun itu. Sebenarnya bukan hanya penulis yang berkumpul di acara UWRF itu, ada sutradara film, penyair, pendongeng, orang teater, juga pemusik.
Foto bersama 10 penulis emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022
Sejak hari pertama festival yaitu tanggal 27 Oktober 2022, saya mengikuti beberapa program utama yang sudah dijadwalkan oleh panitia penyelenggara. Banyaknya program unggulan membuat saya sempat bingung memilih mana yang harus saya ikuti.
Rasanya semua perlu dan semua penting bagi saya yang masih pemula. Saya ingin, acara UWRF ini menjadi semacam pengisi baterai pengetahuan saya tentang dunia sastra. Saya datang dengan gelas kosong dan berharap pulang dengan gelas penuh.
Biasanya saya datang ke lokasi festival mulai pukul sembilan pagi dan pulang menjelang pukul sebelas malam. Setiap hari saya beranjak dari satu acara ke acara lainnya, dari panel diskusi, bedah buku, launching buku dari penulis, pemutaran film dokumenter hingga acara musik atau pembacaan puisi yang biasanya di gelar malam hari.
Saya pulang ke penginapan hanya untuk istirahat, supaya keesokan harinya kembali segar untuk mengikuti festival.
Di acara itu, kami—para emerging UWRF 2022—mendapat kesempatan untuk mengisi panel diskusi. Tentu saja sangat menyenangkan, mengingat kami sebagai penulis pemula mendapat panggung untuk berbicara dan menyuarakan pemikiran dan gagasan tentang topik yang diangkat.
Lebih menyenangkan lagi, dalam setiap sesi panel diskusi peserta yang hadir selalu penuh dan sangat antusias mengikuti jalannya diskusi. Kami—saya khususnya—merasa sangat tersanjung dan dihargai meski secara pengalaman tentu masih sangat jauh dari para penulis lain yang sudah terlebih dahulu berkiprah di panggung sastra.
Ada pemandangan unik yang saya perhatikan di acara UWRF itu, menurut perkiraan saya yang datang dan menghadiri kegiatan tersebut 80% adalah warga asing. Sebagaimana semua orang ketahui, Bali memang surga bagi para pelancong dari laur negeri. Akan tetapi uniknya, orang bule yang datang ke acara UWRF itu sangat aktif berdiskusi dan memberi apresiasi pada panel diskusi yang diikuti.
Saya merasakan sendiri, saat hari ketiga saya mengisi panel diskusi bersama Diana Reid dari Australia, Emily Brugman dari New South Wales dan Muhamad Nada Fauzan, rekan sesama emerging UWRF 2022, peserta diskusi lebih banyak orang asing. Mungkin orang Indonesianya hanya 10-20%, itupun dari rekan sesama penulis, media partner atau editor buku yang sedang memburu penulis baru.
Ada rasa bangga dan haru, apalagi saat sesi diskusi hampir semua pertanyaan—yang bertanya semuanya orang bule—ditujukan kepada saya. Akan tetapi, sekaligus saya merasa miris dan bertanya-tanya, apakah kehadiran warga Indonesia di ajang sastra besar semacam UWRF ini dapat dikatakan merepresentasikan tingkat literasi kita? Saya harap tidak.
Puspa Seruni (saya) saat mengisi sesi diskusi di Ubud Writers and Readers Festival 2022
Antusiasme dan apresiasi yang diberikan peserta diskusi serupa ucapan motivator yang menggema dalam kepala saya, yang membuat semangat saya untuk terus menulis semakin terpompa. UWRF membuat perspektif saya tentang Ubud bukan semata hamparan hijau sawah dengan terasering tetapi tempat berkumpulnya sastrawan dari berbagai daerah bahkan hingga mancanegara.
UWRF tahun ini menjadi pengalaman pertama saya, dan saya berharap tidak menjadi yang terakhir karena saya ingin merasakan lagi kemeriahan UWRF di tahun-tahun mendatang. Mungkin tidak bisa lagi datang sebagai emerging UWRF, tetapi siapa tahu bisa jadi pembicara yang diundang atau bahkan menjadi salah satu dewan kurator yang menyeleksi naskah para calon emerging UWRF selanjutnya. Siapa tahu, kan.
Saya tidak akan kapok datang ke Ubud meski bukan untuk liburan dan menepi, karena bagi saya buku dan sastra sudah menjadi liburan itu sendiri. Ubud dalam kepala saya bukan lagi identik dengan sawah berundak tetapi dengan festival sastra terbesar di Asia Tenggara. [T]