Tahun 1980-an, setiap Hari Minggu, tepat siang hari. Lamat-lamat terdengar dari radio transistor alunan tabuh geguntangan. Orang-orang mendengarkan sambil panen di sawah, sambil menganyam bambu, sambil istirahat di jineng, atau sembari duduk di tepi telajakan saat menjaga padi yang dikeringkan di atas jalan tanah.
“Ndit, ndit, ndit, siiiir…! Ndit, ndit, ndit, siiiir!”
Bahkan ketika orang berjalan di tegalan yang jauh dari perkampungan, tetap telinganya menangkap dari kejauahan lamat-lamat suara geguntangan dan nyanyi-nyanyian merdu; smarandana, sinom atau ginada.
Suasana sepi. Tahun 1980-an adalah tahun-tahun sunyi di pedesaan. Sehingga, seberapa jauh pun letak radio, orang bisa mendengar lamat-lamat suara geguntangan itu. Tahun-tahun yang penuh kenangan.
Alunan geguntangan dan nyanyian-nyaian merdu itu memancar dari Radio Republik Indonesia (RRI) Denpasar. Saat itu, tepat pada setiap tengah hari, RRI menyiarkan arja secara langsung. Bukan rekaman kaset.
Dan arja itu ditunggu-tunggu. Orang Bali yang hidup pada hari-hari bahagia di 1980-an itu hampir dipastikan punya kenangan tentang arja yang memancar dari radio transistor, radio yang masih menggunakan power listrik dari baterai sehingga bisa ditenteng ke mana-mana.
Arja itu disiarkan secara langsung. Artinya, para pemain arja duduk di studio RRI, tanpa make-up dan kostum arja. Mereka memainkan cerita-cerita panji dengan cara duduk, dan yang terpancar ke seluruh Bali hanya suara mereka. Seperti mendengar sandiwara radio yang pada tahun-tahun 1980-an itu juga digemari masyarakat Bali.
Dan suara-suara geguntangan, nyanyian dan dialog arja yang terdengar di RRI itu selalu membuat pendengar tersihir dan kangen selalu. Pendengar akan menunggu dengan amat penasaran kelanjutan dari cerita demi cerita setiap Minggu siang. Para pendengar menunggu idola mereka.
Para pemain arja saat itu memang rata-rata memiliki warna vocal yang bagus. Yang seharusnya melengking, bisa melengking tinggi. Yang seharusnya rendah, suara mereka bisa tetap rendah tanpa bero atau fals.
Warna suara yang kuat dan membuat para penggemarnya kangen selalu, salah satunya adalah suara Ni Wayan Murdi. Perempuan itu, di RRI, memerankan tokoh mantra manis. Dalam cerita-cerita panji, tokoh mantra manis adalah tokoh sentral. Ia tokoh protagonis yang punya tanggungjawab besar untuk membuat cerita tetap berjalan pada alur yang baik. Tokoh ini harus mengundang simpati, agar tokoh antagonis seperti mantri buduh mendapatkan antipasti.
Jika tokoh protagonis sukses mendatangkan simpati, dan tokoh antagonis berhasil membuat penonton antipasti, maka pada saat itulah secara keseluruhan cerita arja bakal ditunggu setiap minggu. Para penonton menunggu hingga mantri manis mendapat pahala baik, dan sebaliknya mantra buduh mendapat pahala buruk.
Ni Wayan Murdi tentu saja pemeran mantra manis yang sangat manis. Lengking suara saat dialog maupun bernyanyi sungguh sebagai lengkingan alami—seakan menanjak pada tebing tinggi.
“Power vokal benar-benar dijaga betul oleh kakak saya, sehingga di zaman itu belum ada microphone, tapi suaranya benar-benar kuat dan disegani.”
Itu perkataan Jro Wayan Butuantara—adik dari Ni Wayan Murdi—yang juga Bendesa Adat Sumerta, Denpasar.
Kini Ni Wayan Murdi telah berpulang. Seniman arja itu meninggal karena faktor usia, Sabtu dinihari, 5 November 2022. Ia meninggal pada usia 78 tahun.
[][][]
Ni Wayan Murdi lahir sekira tahun 1945 di Desa Adat Sumerta, Denpasar Timur. Sekitar tahun 1980-an ia memang salah satu penari pada kelompok arja RRI Denpasar. Selain bermain arja di studio dan dsiarkan lewat radio, ia bersama arja RRI juga pentar ke desa-desa di Bali.
Tak heran, namanya melambung pada era 1980-an dan dikenal dengan baik oleh penggemar arja di seluruh Bali. Banyak penggemarnya menyatakan dengan kekaguman bahwa kepiawaian Ni Wayan Murdi memerankan mantri manis tak tertandingi. Untuk itulah masyarakat penggemar kesenian arja selalu menunggu aksi pentasnya.
Peran mantri manis begitu melekat pada dirinya. Berkat itu pula dia diangkat menjadi pegawai negeri di RRI dengan tugas utama, salah satunya sebagai pemain arja yang cerita-cerita didengar saban Minggu siang lewat radio.
Ni Wayan Murdi sempat beberapa kali mengadakan lawatan seni di sejumlah negara, di Eropa seperti Perancis, Belanda dan Italia. Tentu saja, Murdi begitu tekun merawat kesenian arja bukan semata-mata karena keinginan untuk mendapatkan materi, melainkan sebuah idealism dan kepuasan batin yang ia rasakan ketika kesenian arja tetap ada dan disukai masyarakat.
Jro Wayan Butuantara menceritakan, Ni Wayan Murdi adalah seniman yang dilahirkan dari seorang ayah yang juga seniman topeng bernama I Nyoman Pugra (almarhum). Dan, Murdi melakoni dunia seni tari hingga akhir ayatnya.
Atas kegigihan menekuni dunia arja, Ni Wayan Murdi pernah menerima pernghargaan dari pemerintah, diantaranya ada Penghargaa Dharma Kusuma dari Pemda Provinsi Bali.
“Dan ada beberapa penghargaan lainya. Tahunnya saya lupa, kakak saya menerima penghargaan dari pemerintah,” kata Butuantara.
Sesuai rencana, jenazah Ni Wayan Murdi adkan diupacarai dalam upacara ngaben Jumat 12 November 2022. Upacara digelar di rumah duka di Jl. Kenyeri, No. 72, Banjar Tegal Kualon, Desa Adat Sumerta, Desa Dinas Sumerta Kaja, Denpasar, [T][Ole/Yong]