“Pergunakanlah bahasa Indonesia dengan baik dan benar”, demikian imbauan yang sering disampaikan oleh para pembina bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis.
Imbauan semacam itu bukan tanpa alasan. Banyak kenyataan dalam kegiatan berbahasa dapat dikemukakan sebagai contoh guna memperkuat alasan tersebut. Salah satunya adalah sikap arogan dari mereka yang senantiasa menjadi figur publik atau anutan yang masih bersifat paternalistik.
Terhadap masyarakat yang bersifat paternalistik, sikap atau gaya bahasa tokoh (anutan) berdampak psikologis. Artinya menganggap bahwa bahasa yang digunakan si tokoh anutan tersebut sudah benar. Akibatnya, masyarakat akan menirukan begitu saja, tanpa koreksi, atau tanpa menelusuri kebenarannya.
Di samping itu, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah cukup mampu berbahasa Indonesia. Terlebih jaman digital masa kini, sejak mulai berbicara sudah menggunakan Bahasa Indonesia. Sehingga Bahasa Indonesia dianggap remeh, dianggap pelengkap dalam pembelajaran, atau asal-asalan saja. Hal ini menjadikan Bahasa Indonesia begitu latah oleh penggunanya yang abai dan tidak dapat dimungkiri bahwa masih banyak warga masyarakat seperti “enggan” mempelajari bahasa Indonesia sebagai esensi penting dalam kehidupan, juga sebagai warga negara Indonesia sejati.
”Buat apa belajar bahasa Indonesia, toh sudah bisa berbahasa Indonesia. Lebih baik belajar bahasa lain, bisa jadi gaid, mendatangkan uang, atau bisa bekerja di belahan bumi lain”. Begitu biasanya asumsi generasi milenial ketika belajar bahasa Indonesia.
Kenyataanya, benar saja, tidak ada papan-papan reklame yang di pampang di pinggir jalan yang menawarkan les privat bahasa Indonesia. Yang ada, ajakan/tawaran untuk les bahasa lain. Karena oleh sebagian masyarakat, juga generasi milenial, masalah bahasa Indonesia dipandang hanya sebagai masalah para pakar dan pembina bahasa Indonesia (termasuk guru-guru yang mengajarkan di sekolah).
Bahkan, mereka yang sudah intelek atau berpendidikan pun seperti “tidak hirau lagi” terhadap bahasa Indonesia. Mungkin karena dalam pergaulan sehari-hari, mereka merasa tidak mengalami kesulitan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Begitulah, jika bahasa Indonesia dipandang sebagai alat komunikasi semata-mata, setelah seseorang merasa mampu menggunakannya, merasa mampu menyatakan pikiran, dan perasaan dalam bahasa Indonesia, serta orang lain mampu memahaminya, dianggap selesailah tugas mempelajari bahasa Indonesia itu.
Namun seyogianya perlu disadari, bahasa Indonesia bukan semata-mata alat komunikasi dalam berinteraksi ataupun dalam hubungan interaksi belajar di sekolah. Bagi bangsa Indonesia yang ingin tampil sebagai bangsa yang beridentitas, beradab, berkepribadian, dan punya jati diri, bahasa Indonesia merupakan salah satu sarana pengungkapan diri. Hal itu berarti bahwa melalui pengajaran dan penggunaan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia menyatakan peradaban, identitas, kepribadian, dan jati dirinya. Seperti pepatah mengatakan “Bahasa menunjukkan Bangsa”, atau “Bahasa Pemersatu Bangsa”, itulah!
Begitu pula esensi penting bahasa Indonesia di tengah jargon “Profil Pelajar Pancasila. Esensi bahasa Indonesia dalam hal ini sebagai media untuk sarana dalam menjalin gotong royong, sebagai media pemersatu kebhinekaan global, sebagai media untuk menyampaikan pikiran yang kritis dengan benar, untuk menunjukkan bahwa setiap individu memiliki jati diri ke-Indonesiaan yang sejati dengan mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan untuk menunjukkan bangsa Indonesia memiliki kepribadian yang kuat melalui bahasa, sebagai sarana untuk menyampaikan segala daya kreatif dengan berbahasa yang benar, serta yang paling penting sebagai wujud rasa bakti kepada Tuhan yang telah mengaruniai satu bahasa yang adiluhung untuk pemersatu segala perbedaan yaitu, bahasa Indonesia.
Jadi, Bahasa Indonesia betul-betul memegang peranan penting dalam hal ini, yakni sebagai media dalam mengakomodir nilai-nilai yang ingin dicapai dalam mewujudkan “Profil Pelajar Pancasila”. Bukan malah merusak penggunaan bahasa, latah berbahasa, melazimkan yang tidak benar, dan salah kaprah dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Namun dalam kenyataannya, bahasa Indonesia nampaknya makin terdesak oleh suplai bahasa-bahasa lain di tengah pesatnya dunia informasi dan digital. Tak bisa dipungkiri, insan-insan Indonesia lebih elegan dan percaya diri belajar bahasa yang dianggap lebih bombastis. Untuk apa?
Tujuan urgennya adalah ekonomi. Sekarang belajar bahasa tak lagi urusan identitas, tak lagi urusan pemersatu komunitas, pemersatu antar daerah, dan tak sekadar untuk nilai profil Pancasila. Tetapi belajar bahasa adalah agar bisa memproduksi uang, kaya, dan hidup yang lebih hedonis Jadi, belajar bahasa dewasa ini identik dengan materialistik.
Jika konsep ini terjadi pada eksistensi bahasa Indonesia, apakah bahasa Indonesia akan menjadi pelengkap budaya Indonesia saja? Bahasa Indonesia akan “terbunuh”. Bahasa Indonesia akan ditinggalkan. Walaupun digunakan atau dipelajari itu hanya semata-mata untuk kepentingan akademis saja. Untuk kepentingan kurikulum pendidikan. “Yang penting apa yang diucapkan oleh pembicara dan lawan bicara komunikatif, bisa diterima, dan dimengerti, itu cukup” begitu anggapan warga Indonesia terhadap kondisi bahasa Indonesia.
Nah, kondisi ini tentu ironis bagi bahasa Indonesia. Mengutip pendapat Prof Sumarsono (alm), yang pernah menjadi guru besar Jurdik Bahasa Indonesia, Undiksha, Singaraja, Bali, dalam buku Linguistiknya dinyatakan bahwa bahasa apapun, termasuk bahasa Indonesia, tak bisa “mati”. Yang ada adalah para penggunanya yang berkurang, atau tak acuh terhadap penggunaannya.
Merujuk pendapat itu, apakah bahasa Indonesia akan makin tak dipedulikan, karena generasi Indonesia merasa tak ada untungnya belajar dan memakai bahasa Indonesia bila ditakar secara ekonomi materialistik? Peduli saja kurang, apalagi mempelajari dengan intens tentang kebakuan bahasa, tentang kaidahnya, diksinya, kalimatnya, dan wacananya. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan penggunaan bahasa Indonesia sekarang yang kacau dan asal ucap.
Kasus-kasus yang bisa disikapi secara bijak dalam hal ini, misalnya penggunaan Bahasa Indonesia sehari-hari, baik oleh masyarakat penutur maupun bahasa yang digunakan di media. Dalam konteks inilah dihadapankan dengan persoalan gramatika bahasa, makna di satu pihak dan kreativitas, serta inovasi dalam penggunaan bahasa Indonesia. Kalau dibiarkan setiap orang memakai bahasa Indonesia menurut enaknya, berarti harus diterima juga makin banyak ucapan-ucapan/kalimat aneh yang menyatukan bangsa ini.
Fenomena yang bisa diketengahkan dalam keanehan berbahasa Indonesia dan ini sangat latah diucapkan dengan intensitas yang sangat memprihatinkan, misalnya,“I Ketut Sawer belajar dengan giat untuk mengejar ketertinggalan”. Yang dikejar dalam konteks ini adalah ketinggalan, bukan prestasi. Pantas saja I Ketut Sawer terus mengalami kemunduran. Seharusnya “I Ketut Sawer belajar dengan giat untuk mengejar prestasi”. Atau “I Ketut Sawer belajar dengan giat untuk mengatasi kebodohan”.
Atau yang lebih latah lagi,“Tim Nasional Indonesia berusaha keras untuk mengejar ketertinggalan”. Tidak hanya sesekali, tetapi ucapan seperti ini dilakukan acap kali ada live pandangan mata di layer tv atau di sosial media. Memang secara struktur kalimat itu tanpa cacat, tetapi aneh.Sebab, jika dianalisa secara makna, kalimat itu sangat ironis. Karena yang dikejar adalah ketinggalan, bukan kemenangan. Pantas saja TIMNAS kalah terus. Seharusnya ”Tim Nasional Indonesia berusaha keras untuk mengatasi ketertinggalan atau untuk meraih kemenangan”.
Kekacauan kalimat seperti itu bahkan sudah membudaya di kalangan masyarakat, apalagi bagi reporter di tv, host, atau ucapan pengamat sepak bola. Apakah kondisi seperti ini akan dibiarkan? Mentang-mentang merasa percaya diri berbahasa Indonesia, namun salah kaprah. Merasa nasionalis dengan memakai bahasa Indonesia, namun kita jadikan bahasa Indonesia menderita.
Kita tak lagi bisa mencontoh model bangsa Amerika, bahwa di mana pun warganya berada, bahasa apapun yang dipelajari, tetapi warga Amerika tak pernah lupa apalagi merusak penggunaan bahasanya yang menjadi karakter peradabannya. Persoalannya sekarang ialah apakah boleh mengatakan “silakan memakai bahasa Indonesia sebagaimana enaknya di tengah parasaan yang mengaku nasionalis, di tengah perubahan yang pesat, dan di tengah jargon mengejar pencapainan nilai-nilai filosofi Profil Pelajar Pancasila?”
Perihal penting sekarang yang perlu dipahami, bahwa tuntutan terhadap kebebasan menggunakan bahasa Indonesia ada batasnya. Persoalan bahasa rupanya tak banyak berbeda dengan persoalan politik. Pembakuan (pelaziman) bahasa adalah cermin otoritas, sedangkan kreativitas pemakai bahasa adalah cermin kebebasan setiap warga. Yang selalu menjadi perkara ialah bagaimana kita mengakui diri nasionalis sejati, mengaku memakai bahasa Indonesia, tapi realitanya bahasa Indonesia dalam penggunaanya dirusak.[T]