Catatan Harian Sugi Lanus, 2 Oktober 2022
[][][][][]
Masih banyak yang belum tahu kalau TIKA (papan matrix penghitungan Pawukon) yang dipakai di Bali juga dipakai di Jawa. Jika di Bali disebut sebagai TIKA, di JAWA disebut sebagai KALAMUDENG — silahkan lihat gambar/foto koleksi MUSEUM SENOBUDOYO YOGYAKARTA.
Banyak pula orang Bali yang mengklaim bahwa ilmu Pawukon dan Wariga adalah asli Bali. Padahal, dari periode raja-raja Medang Kamulan dan Bali Kuno, baik di Jawa dan Bali semuanya memakai penanggalan dengan Pawukon dan tahun Śaka secara bersama-sama. Ketika raja Bali Kuno menulis prasasti-prasasti menggunakan penanggalan dengan Pawukon, demikian juga raja-raja Medang Kamulan menggunakan penanggalan yang sama.
Berdasarkan informasi dari LONTAR MEDANG KAMULAN (lontar koleksi Gedong Kirtya), pemakaian sistem Pawukon di Bali merujuk tradisi Pawukon dari Medang Kamulan.
Pertanyaannya: Dimana Medang Kamulan?
Merujuk NASKAH KUNO BUJANGGA MANIK yang merupakan catatan perjalanan tokoh bernama Bujangga Manik dari Sunda, naskah ini ditulis di abad ke-15, pada baris ke-782 dan 783 disebutkan bahwa setelah Bujangga Manik meninggalkan Pulutan (sekarang lokasi ini sebut sebagai wilayah barat Purwodadi, Jawa Tengah), ia sampai di “Medang Kamulan”. Pada bagian lain naskah disebutkan setelah menyeberangi Sungai Wuluyu, ia tiba di Gegelang. Gegelang disebutkan terletak di sebelah selatan Medang Kamulan.
Naskah perjalanan ini menyebutkan secara persis wilayah bernama Medang Kamulan yang merujuk wilayah di Jawa bagian tengah (Jawa Tengah sekarang). Oleh beberapa peneliti Medang Kamulan juga disebut sebagai Mataram Kuno. Raja-raja Mataram Kuno inilah yang peninggalan prasasti atau piagam kerajaannya memang telah memakai kalender Pawukon.
Pemakaian Kalender Pawukon di Bali kehadiran bisa kita lihat dalam prasasti-prasasti Bali Kuno dari semenjak Dinasti Warmadewa bercampur lewat perkawinan Mahendradatta dengan Raja Udayana secara kentara berkembang. Sebelum pemakaian Kalender Pawukon berkembang pemakaian “sistem pasaran” yang tampaknya lebih umum dipakai dalam penulisan prasasti Bali Kuno awal yang sering disebut sebagai “prasasti bertipe yumupakatahu”.
Jika dibandingkan prasasti Bali Kuno dengan Jawa Kuno yang memakai Kalender Pawukon, maka kita akan mendapati prasasti-prasasti di Jawa Kuno lebih tua angka tahunnya. Informasi LONTAR MEDANG KAMULAN tersebut tidak keliru jika dibandingkan dengan bukti-bukti efigrafis ini — bahwa ajaran Pawukon bersumber dari tradisi Medang Kamulan.
Pemakaian Pawukon dalam tradisi Jawa Kuno telah ditemukan bukti-buktinya secara efigrafis (dalama kajian prasasti) diantaranya:
— Secara jelas dalam prasasti Lintakan yang berangka tahun 841 Saka (919 Masehi) disebutkan Pawukon telah digunakan sebagai pedoman perhitungan waktu penyelengaraan upacara ruwatan oleh para raja ketika itu (Boechari, 1986).
— Pawukon juga dipakai pedoman dan perhitungan dalam penulisan prasasti Wanua (abad ke-9); prasasti Watu Kura di Prambanan Jawa Tengah (abad ke-10).
Masih banyak lagi prasasti dalam tradisi pelanjut Dinasti Sanjaya yang memakai Pawukon yang ditemukan di Jawa Tengah.
Kitab-kitab lontar di Jawa banyak berisi penjelasan Pawukon. Demikian juga sampai kini di Jawa dipakai perhitungan Wuku atau Pawukon dalam mencari Weton dan ruwatan. Tradisi Pawukon banyak meninggalkan catatan dan buku-buku di Jawa sampai kini. Ruwatan dalam masyarakat Jawa masih terjaga sampai kini dan ini berdasarkan kalender Pawukon dan Weton yang berbasis perhitungan Wariga yang sama sebagaimana di Bali sampai kini.
Berbagai serat atau naskah kuno Jawa berisi penjelasan detail Pawukon diantaranya: Naskah Serat Pawukan (koleksi Museum Radyapustaka), Naskah Pawukon Jawi (yang dibuat pada era Keraton Kartasura abad XVII dikoleksi Museum Brojobuwono) berisi ilustrasi gambar tiap-tiap wuku dengan sangat detail. Lontar dan naskah lain berisi Pawukon dikoleksi di Sasana Pustaka Karaton Surakarta Hadiningrat menjelaskan mendetail tiap-tiap wuku. Jika kita baca Kitab Centini (ditulis di masa Susuhunan Paku Buwana IV) pun memberikan karakter dari Pawukon dengan masing-masing wuku memiliki masing-masing dewa pelindung, beserta pepohonan dan tumbuhannya.
Dari ratusan catatan dan perhitungan Wariga atau Kalender Pawukon yang masih tertinggal di Jawa, masyarakat Bali (khususnya para akademisi) bisa membandingkan bagaimana tradisi Kalender Pawukon ini tumbuh berkembang dari satu akar tradisi yang sama, kemudian terpisah pulau berkembang sesuai konteks jaman dan agamanya yang berbeda.
Untuk melakukan studi Kalender Pawukon di Bali rasanya tidak bisa paripurna dengan tidak menoleh atau tidak membandingkan dengan tradisi Pawukon di Jawa. Pawukon Bali dan Jawa perlu penanganan studi komprehensif jika hendak didalami dengan serius. [T]
+++Dalam gambar ini bisa dilihat TIKA JAWA (KALAMUDENG) koleksi Museum Sono Budoyo Yogyakarta, dan contoh lembar naskah naskah Jawa yang dikoleksi British Library London. Naskah ini berasal dari Yogyakarta, bertahun 1807, disebutkan bahwa Hyang Smara menjadi pelindung salah satu wuku Wariga (di Jawa disebut Wariga Alit).
[][][][][]
BACA artikel lain dari Sugi Lanus