Suatu hari saya mengantar seorang wisatawan muda, Levi King, asal Brisbane, Australia. Usianya 27 tahun. Saya ajak dia jalan-jalan, dimulai dari sentra pembuatan garam di pantai di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali, lalu jalan-jalan mendaki bukit di wilayah Yangudi, sebuah dusun sepi di Desa Les.
Levi King senang. Di pantai, ia mengamati petani garam membuat garam. Ia melihat palung-palung dengan air laut. Ia melihat Kristal-kristal garam, putih, bersih dan menggiurkan. Di Yangudi ia melihat petani sedang panen kunyit, lalu melihat bagaimana warga membuat jamu dari kunyit.
Levi King senang. Ia juga menikmati ketela rebus bersama kopi panas. Ia menikmati perjalanan di Desa Les, ia menikmati jeda di rumah warga, ia menikmati sejuk udara kebun kakao di sisi hutan.
Desa Les yang merupakan salah satu dari sepuluh desa yang berada di Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali. Desa ini memang sedang mengembangkan wisata alternatif berbasis masyarakat. Salah satunya, wisata jalan-jalan menyusuri ceruk-ceruk desa.
Saya mengajak wisatawan jalan-jalan di pedusunan Yangudi, Desa Les, Buleleng, Bali
Wisata jalan-jalan berbasis masyarakat di Desa Les ini muncul di tengah pasang surut polemik dampak wisata massal, misalnya pariwisata massal dianggap kurang baik yang menyebabkan berbagai permasalahan sosial dan lingkungan.
Desa Les punya modal untuk pengembangan wisata jalan-jalan. Kombinasi antara alam yang menyajikan pemandangan yang indah mungkin sudah biasa dilihat wisatawan.Namun, di Desa Les, sebuah perjalanan dikemas dengan sangat otentik, semisal mengunjungi petani garam tradisional, melewati jalanan desa dengan beraneka kegiatan masyarakat dari pesisir sampai bukit, dan berakhir di sumber mata air desa.
Sampai di wilayah perbukitan, yakni di pedusunan Yangudi, wisatawan bisa merasakan sendiri bagaimana ia melihat kehidupan komunal di bukit yang bertapal batas langsung dengan hutan Kintamani. Seakan dalam hitungan beberapa menit saja, wisatawan bisa menapaki dua kabupaten sekaligus yaitu Buleleng dan Bangli.
Di masa lalu, daerah Yangudi ini memang menjadi daerah penghubung antara daerah di pegunungan Kintamani, Bangli, menuju pesisir Desa Les, Buleleng. Orang-orang Kintamani, jika hendak menemui laut di pesisir utara, mereka akan melewati jalan setapak di wilayah Yangudi. Jalan setapak dengan pemandangan yang indah.
Bangunan kecil untuk persinggahan wisatawan di atas bukit Yangudi, Desa Les, Buleleng
Petani memetik kakao di daerah perkebunan di atas bukit Yangudi, Desa Les
Wisatawan disuguhi singkong rebus dengan campuran gula juruh atau gula kental dari lontar
Selain memberikan pengalaman dalam berwisata, kegiatan wisata jalan-jalan di Desa Les ini juga mampu membuka sebuah dogma baru dalam pengembangan wisata. Tidak hanya menghandalkan wisata alam yang telah dimiliki, seperti air terjun, tetapi wisata alam itu dikombinasikan dengan potensi lian dari warga dan kreativitas masyarakat.
Sebagai seorang “pejalan” dan insan pekerja di industri “intangible” ini, saya sangat berharap hal-hal baik ini terus menjamur.
Selain mengajak Levi King, beberapa kalisaya menjadi teman kunjung dari wisatawan yang mencoba untuk merasakan pengalaman yang otentik di Desa Les. Dan ternyata, kegiatan memanen kunyit secara langsung, mengolahnya menjadi jamu, menikmati kopi ala masyarakat desa bersama kudapan singkong rebus yang disiram setetes gula juruh, adalah pengalaman yang belum pernah wisatawan itu rasakan.
Jika hari ini di berbagai pertemuan digaungkan tentang pariwisata yang berkelanjutan, mungkin ini harus terus berlanjut. Pertanian berlanjut, nelayan berlanjut, bahkan sampai tukang ojek pun bisa hidup. Hebatnya lagi sang tamu senang bukan kepalang sambil meneguk jamu kunyit dan singkong rebus sambil ngopi.
Bukankah itu kemewahan dalam kesederhanaan? [T]
Wisatawan bisa memandang lautan dari atas bukit di Desa Les, Buleleng
Salah satu rumah warga di atas bukit Desa Les, Buleleng, Bali
Wisatawan menikmati singkong rebus dengan gula juruh dan kopi hangat di atas bukit desa Les, Buleleng, Bali