“Semeng megae, mulih sanje awak kenyel lantas turu (bahasa jawa: tidur), peteng ne rehat main game kenape kaden adi kene2 dogen rutinitas ne!”
Begitulah keluh kesahku kepada temanku, kami sepakat sekamar kala sedang ada acara di sebuah hotel di denpasar saat itu
“Iyaaa!”
Itu jawaban temanku dengan singkat. Aku pun melanjutkan keluhanku tanpa melirik teman di belakangku, sembari menonton berita yang itu itu saja.
“Dot gati waktu di petengne to keanggo melajah ane len, diluar kuliah lah…kuale sing nyak menek mood ne kle kenape seh uripe ne!”
“Iyaaa!”
Jawaban singkat itu kembali dilontarkan temanku.
“Kengken carane menekang mood kira2 ah? Pang ade lah value ibane, kle awak sube mepingit di Singaraja, sing baange merantau, timpal-timpale pragat merantau, mekabakan nu mengkeb2 adehhh! Kenape ne kira-kira, Da?”
“Iyaaa sayang…”
Dengan cepat aku menatap temanku yang berada di belakangku. Temanku cengar-cengir sambil video-call dengan pacarnya, huh bikin kangen ayang hehehe.
Yasudah, aku putuskan merenungkan keluhanku sendiri. Setelah dilelahkan dengan badai skripsi selama satu setengah tahun terakhir, mengikuti program kampus dengan iming iming meramaikan isi CV, aku sampai pada fase “sekarang apa?”
Bukan dalam konteks profesi apa yang akan menjadi mata pencaharianku, tapi seperti “apa langkahku selanjutnya ya?”
Kebingungan ini menghabiskan sebagian besar waktuku dengan bengong setiap mengendarai notor di jalan, rebahan, baca komik, memantau media sosial berharap agar aku menemukan jawabannya. Tak kunjung menemukan jawabannya, aku bertanya kepada teman-temanku.
“Ake kudu ngengken jani?”
“Nganten muh!”
“Beh sing ngelah pis”
“Mai melali ke Jogja aminggu!”
“Beh masak mare masuk sube cuti!”
“Ngoding-lah, atasan menantikan keringat peluhmu menjadi sebuah perangkat lunak yang membantu kinerja civitas akademika, Panji!”
“Itu sudah menjadi rutinitas di hari kerja, Ferguso!”
“Kenape sing lanjutang nulis ne ringan2 buin ci?”
Aku terdiam, mendengar sugesti dari temanku yang satu ini. Kenapa ya? Aku tidak terlalu lelah untuk bercerita, aku tidak terlalu lelah untuk sedikit bengong dan berpikir akan mengeluhkan apa atau bercerita apa, hanya saja ya apa yang harus aku keluhkan dan aku ceritakan ya?
Setiap hari seperti ini saja, bahkan tidak kumpul-kumpul dengan teman-temanku lagi, karena teman-teman satu gengku pada zaman baheula kini bekerja rata-rata semua di luar kota atau di luar Bali, ada yang lanjut pendidikan dan itu di luar negeri, tinggal aku dan satu orang temanku yang tersisa tapi ia sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran.
Sedangkan aku di sini, lahir di sini, TK-SD-SMP-SMA-Sarjana-Pascasarjana di sini, di Singaraja. Boring ajan!
Sebenarnya tidak hanya boring, banyak hal pelik yang terbungkus di tengahnya. Ini juga sebenarnya masuk beberapa draft di catatan ponselku, tapi bahasanya mungkin terlalu tajam dan menyakitkan, kuurungkan niatku melanjutkannya.
Lalu kenapa ya? Apa ini yang namanya quarter life crisis seperti yang sering dibahas di artikel-artikel dan media sosial itu ya?
Tapi krisisnya dimana? (Selain krisis duit sama krisis BBM tentunya hehehe…). Atau apakah ini yang namanya “writer’s block?” Hmm… writer’s artinya penulis, block artinya blokir, blokir penulis? Penulis di blokir? Penulis blokir?
Hehehehe, tapi aku bukanlah penulis serius, ini kan hanya untuk selingan saja. Kalau begitu kenapa aku harus serius memikirkannya? “Kenapa ya?”
Lebih lanjut aku mencari jawabannya, aku teringat membeli 3 paket seri buku dari seri fantasi yang sangat aku gemari. Ayahanda, Ibunda dan Adinda sampai geleng-geleng karena aku belum membacanya hingga kini (bahkan masih tersegel) tapi aku penasaran dengan ceritanya!
Tapi kenapa aku tidak mulai membacanya? Seperti merasa lapar tapi tidak sedikitpun ada niat untuk makan. Padahal tujuanku membeli buku itu bukan hanya memenuhi rasa penasaranku yang menghiburku, namun juga sembari mencari inspirasi manakala aku terpikirkan plot untuk mengembangkan video game seperti skripsi ku dulu, kali aja mimpi yang sudah aku kubur bisa terwujud ya kan, hehehe.
Begitu banyak kata “kenapa?” yang aku pun tidak tahu kenapa, mungkin renungan ini tidak ada ujungnya jika aku hanya terus bertanya namun tidak pernah menjawabnya.
Lalu siapa yang bisa menjawabnya? Ya diri sendiri pastinya. Kok diri sendiri? Memangnya orang lain tidak boleh menjawab? Kuis di Who Wants to Be a Millionaire saja boleh minta pendapat penonton atau telfon teman, “Kenapa ya?”
Ternyata aku tidak sendiri, teman-teman yang seumuran denganku ternyata mengalami “Kenapa ya?” yang sering dipikirkan di kepalanya, tidak aku hitung satu-satu, yang di kepala ku sendiri saja tidak aku hitung apalagi menghitung milik orang lain, hehehe.
Mungkin “Kenapa ya?” di kepalaku lebih sedikit dari milik teman-teman atau mungkin “Kenapa ya?” yang ada di kepalaku ini juga dipikirkan oleh teman-temanku yang lain, hanya saja mereka sudah menjawabnya, tapi itu malah menimbulkan “Kenapa ya?” yang lain.
Ah, seperti level dalam video game yang aku mainkan saja…semakin bertambah progressnya semakin susah tingkat kesulitannya!
Lalu kalau seperti itu, “Kenapa ya?” sampai sekarang aku belum menemukan jawabannya? Atau mungkin sebenarnya aku sudah tahu alasannya, hanya saja tidak dilontarkan oleh orang lain? Atau aku kurang puas dengan jawabannya? “Kenapa ya?” ini harus dijawab? “Kenapa ya?” aku memikirkan ini?
Sepertinya setiap manusia memiliki pertanyaan di kepalanya sendiri yang tak kunjung mendapatkan jawabannya. “Kenapa ya?” tidak diberikan saja jawabannya, setidaknya alam mikro (Bhuana Alit) sepertinya akan sedikit lebih tenang dari gejolak yang dihadapi sekarang. “Kenapa ya?” aku terlalu jauh memikirkan hal ini? “Kenapa ya?” keluh kesah ini bisa lahir?
“Kenapa adeeennnn… “ [T]