“Berapa sih tanah kita tersisa, berapa sih sungai kita yang masih (berair), dan berapa sumber air kita yang terselamatkan. Untuk kemudian kita bisa memetakan bagaimana Bali ke depan?”
Itu pertanyaan budayawan Wayan Westa dalam diskusi yang dilaksanakan Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Indonesia Bali bertajuk “G20 dan Masa Depan Bali” yang dilaksanakan di Rumah Community Hub, Denpasar, Minggu, 18 September 2022.
Wayan Westa adalah salah satu pembicara dalam diskusi yang berlangsung guyub dan santai itu. Pembicara lainnya adalah Ketua Yayasan Konservasi Indonesia Iwan Dewantama, dan Ketua DPP Peradah Indonesia Bali I Putu Eka Mahardika.
Diskusi itu digelar untuk “membaca” peta masa depan Bali setelah diserbu investor, apalagi G20 tanggal 15-16 November 2022 ini Bali akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan event Internasional Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
Sebagai pusat penyelenggaraan KTT G20 itu, Bali mendapatkan berbagai dukungan pembangunan prasarana fisik dari pemerintah pusat untuk menunjang kesuksesan KTT G20.
Pada sisi yang lain, Bali juga “dihadiahi” sejumlah proyek strategis nasional oleh Pemerintah Pusat. Proyek-proyek benilai triliuanan rupiah tersebut dihadirkan dengan harapan mampu menstimulus perekonomian sekaligus menjawad kebutuhan masyarakat.
Akan tetapi, pada saat bersamaan Bali juga mengalami berbagai persoalan kompleks seperti daya dukung lingkungan, persaingan ekonomi dan arus investasi kapital yang deras, kebertahanan budaya dan adat, hingga persoalan sosial dan persoalan sumber daya manusia berpeluang menciptakan riak yang mengancam eksistensi Bali sebagai sebuah entitas.
Dalam diskusi itu Wayan Westa mengungkapkan, Bali menjadi benteng yang terbuka, di mana arus orang, arus barang, dan arus kapital tak terbendung datang ke Bali. Hal ini membuat terjadi pembangunan secara masif di Bali, terutama di sektor pariwisata yang banyak mengorbankan dan mengalihfungsikan tanah pertanian.
“Ketika Bali membuka industri pariwisata, industri ini mengambil wilayah yang luar biasa, terutama tanahh tanahh untuk pembangunan villa-villa, hotel, restaurant dan sebagainya. Banyak ribuan hektar tanah beralih fungsi untuk mensejahterakan orang Bali sendiri, tapi itu hanya sesaat,” terang Wayan Westa
Wayan Westa, Iwan Dewantama dan Putu Eka Mahardika serta moderator IK Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran Batur) dalam diskusi “G20 dan Masa Depan Bali” di Denpasar
Dengan masifnya pembangunan pariwisata ini, kata Westa, maka Bali tidak memiliki pertahanan ekonomi lain di luar pariwisata. Untuk itu Bali sangat rapuh saat menghadapi berbagai ancaman, misalnya pandemi Covid-19. Untuk itu.
Westa menegaskan, kerapuhan ekonomi Bali tersebut harus segera diatasi untuk masa depan Bali. Dan pada saat itulah ia mempertanyakan, “Berapa sih tanah kita tersisa, berapa sih sungai Kita yang masih, Dan berapa sumber air kita yang terselamatkan. Untuk kemudian memetakan bagaimana Bali ke depan?”
Sementara itu, Iwan Dewantama, mengatakan Bali sedang mengalami permasalahan terkait tata kelola air. Hal ini terbukti melalui data yang dikeluarkan oleh pemerintah menunjukkan bahwa dari sekitar sembilan kabupaten/kota yang ada di Bali, hanya satu kabupaten mengalami surplus air. Di samping itu, Bali juga mengalami masalah intrusi air laut
“Dari sembilan kabupaten/kota, lima kabupaten/kota sudah mengalami intrusi air laut. Artinya apa? Yakni air laut masuk ke akuifer di tanah Bali yang harusnya akuifer itu diisi air tawar, artinya ada pengambilan besar-besaran untuk air bawah tanah kita itu terjadi. Misal, bagaimana hotel, villa mengambil air bawah tanah kita dan itu tidak terkontrol,” terang Iwan Dewantama
Menurut Iwan Dewantama, ketika ini tidak menjadi konsen pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan tata kelola air dan mengatasi turunya muka tanah, maka kejadian serupa seperti banjir rob di Semarang dan Jakarta bisa terjadi di Bali. Bali sebagai pulau kecil jika terjadi penurunan muka tanah akan sangat berbahaya.
“Melalui kondisi Bali dimana luas hutanya tidak ideal, danaunya tercemar, intrusi air laut terjadi, pencemaran air, adalah fakta-fakta yang harus menjadi ukuran mau dibawa kemana Bali ke depan. Investasi-investasi yang masuk ke Bali, lebih harus berpihak pada alam dan kelangsungan pulau Bali,” terang Iwan Dewantama
Dalam diskusi itu I Putu Eka Mahardhika mengatakan, investasi yang masuk ke Bali harus juga melibatkan adat. Hal ini agar investasi dapat bermanfaat dan memiliki dampak bagi manusia Bali.
“Bukan berarti bahwa ketika investasi besar-besaran datang ke Bali itu bagus. Belum tentu. Bagusnya ini apakah untuk mereka yang berinvestasi atau berdampak pada manusia Balinya. Dimana dampak ini juga ada kategorinya yaitu, apakah manusia Bali hanya sebagai pekerja, atau berdampak bagi kesejahteraan mereka,” terang Eka Mahardhika.
Lebih lanjut ia mengatakan, investasi harus tepat guna, tepat sasaran, serta sesuai dengan kontur Geografis Bali seperti tidak menghilangkan arteri air, kelestarian tanah dan lingkungan. “Pemerintah harus jujur dan tau kebutuhan masyarakatnya. Semua elemen dan semua lapisan dalam masyarakat harus saling gisi dalam membangun Bali,” katanya.
Menurutnya, Bali dan masyarakatnya harus belajar meletakkan posisi investasi strategis mereka untuk kesejahteraan masyarakat dan kelangsungan hidup Pulau Bali selanjutnya. [T][Mao/*]