Temu Seni Tari Indonesia Bertutur tidak hanya mempertemukan saya dengan orang-orang baru untuk berelasi. Saya juga dipertemukan dengan orang lama yang beberapa tahun tidak pernah saya temui. Bathara Saverigadi merupakan kakak kelas saya sewaktu saya masih kuliah dan tinggal di Jakarta.
Sebuah kebetulan sekali, dalam kegiatan yang diadakan Kemendikbudristek, saya dipertemukan dengan Bathara di tempat yang ratusan kilometer jaraknya dari ibukota: kami bertemu dalam sejuknya udara Ubud. Bertemu dengan Bathara yang menjadi peserta Temu seni tari seakan membawa saya pada nostalgia kehidupan kampus.
Bathara yang mempunyai darah seni dari kedua orangtuanya merupakan salah satu penari yang cukup dikenal di kalangan kampus saya dulu. Setiap mahasiswa yang mengambil program studi Komunikasi Seni Pertunjukan pasti mengenal nama Bathara karena keahliannya dalam menari kontemporer dan juga tradisi Jawa.
Tetapi hal itu tidak membuatnya besar kepala. Bahkan setelah mengikuti ajang lomba Indonesia Mencari Bakat di salah satu stasiun televisi, ia tetap rendah hati.
Bathara Saverigadi (baju hijau) dalam sesi Sharing Method di Pura Gunung Kawi
Sejak kecil ia memang sudah akrab dan diikutsertakan ke dalam acara seni oleh orangtuanya. ia bercerita bahwa dari 4 bersaudara, dialah anak yang selalu ikut dengan orangtuanya untuk menonton pertunjukan atau rapat seni. Selain itu, rasa penasaran akan gerak tubuh, dan pandangannya terhadap tubuh sebagai kendaraan untuk memahami aspek-aspek kehidupan membulatkan tekad dirinya menjadi seorang penari.
Sejak kecil, ia sudah mempelajari tari tradisi. Walaupun di tengah perjalanan, ia juga mempelajari tari modern seperti hip-hop atau kontemporer, tetapi di akhir hari ia kembali ke tari tradisi—tari tradisi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagainya ia pelajari dari satu sanggar ke sanggar lainnya, walaupun ia kadang merasa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangannya ketika mempelajari tari tradisi.
Bathara Saverigadi (baju putih di tengah) dalam sesi Sharing Method di Amatara Agung Raka, Ubud
Hal yang tidak sejalan dengan pikirannya ia rasakan pada saat menari tradisi, yang mana tidak pernah terjadi ketika ia sedang mempelajari tari-tari lain. Ketika ia menari kontemporer misalnya, koreografi diciptakan bedasarkan kebebasan bergerak, atau hip-hop yang asal-usul geraknya berdasar pada tarian masyarakat Afrika-Amerika sebagai bentuk ekspresi dari opresi para rasis yang ada saat itu. Ia merasakan tarian yang notabenenya berasal dari kalangan rakyat, bisa membuka kemungkinan yang lebih longgar kepada para penarinya—sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan dari komunitas tari tradisi tempat ia bernaung.
Bathara mengutarakan bahwa terkadang, pada ekosistem tari tradisi, terdapat diskriminasi tertentu, misal pada pemilihan karakter yang dimainkan, misal: dalam beberapa sendratari tradisi, tokoh Arjuna harus diperankan oleh penari yang “ganteng” dan gagah, sementara tokoh Sita harus diperankan oleh sosok penari perempuan yang ayu, feminin, dan lemah lembut. Tokoh Arjuna tak bisa dimainkan oleh seorang yang sangar atau Dewi Sita diperankan oleh perempuan yang berparas garang.
“Boleh dipelajari koreonya, tapi tidak untuk dipentaskan,” kata Bathara.
Bathara Saverigadi dalam pertunjukan tari di Teges Kanginan
Karena itu, tubuh Bathara terkadang dianggap tidak tepat untuk memerankan karakter tertentu, yang baginya adalah satu bentuk pembatasan. Terkadang, diskriminasi ia dapatkan ketika mempelajari tarian tradisi yang cenderung feminin. Para penari sendiri, kadang mengkotak-kotakan mana tari yang untuk laki-laki, dan mana tari yang untuk perempuan. Dalam satu kasus, perempuan bisa menggunakan kumis untuk mementaskan tarian laki-laki, tetapi Bathara yang merupakan seorang laki-laki tidak boleh mementaskan tarian perempuan.
Hal tersebut yang menjadi salah satu isu yang dibawa Bathara ketika menari. Ia ingin mengaburkan pandangan konservatif di mana tarian itu selalu dikotak-kotakan dengan saklek. Sehingga, ketika ia menari, ia selalu menampilkan campuran dari gerakan dan bentuk tubuh yang feminin dan maskulin. Baginya setiap bentuk tubuh selalu menarik, tak terlepas dari konstruk sosial yang ada.
Agenda mengaburkan gender ini terlihat mendarah daging di dalam tubuh Bathara. Ketika ia membawakan tariannya pada sesi presentasi pertunjukan dalam Temu Seni Tari Indonesia Bertutur, gerakan lembut dan keras dipadukan dengan baik dan ritme yang tepat. Saya seperti melihat dua polaritas yang berbeda di dalam satu tubuh. Rasanya, penonton lain yang ikut menonton bersama saya juga setuju dengan hal tersebut.
Bathara Saverigadi (paling kanan) dalam pertunjukan tari di Mandala Wisata, Desa Bedulu
Versatilitas yang ditawarkan oleh Bathara menjadi daya tarik tersendiri bagi dirinya sebagai penari tradisi. Sebuah hal yang jarang dibawakan oleh penari tradisi lain. Hal ini menunjukan betapa cairnya Bathara dalam mendalami seni tari tradisi yang ada. Ia mampu melepaskan diri dari pakem tradisi tertentu.
Sebagai pemegang rekor MURI koreografer tari Jawa termuda, tidak membuat Bathara terbang di atas angin. Ia selalu membuka dirinya untuk bertemu orang-orang dari berbagai kalangan. Bathara melakukan hal ini untuk mengetahui berbagai macam perspektif yang nantinya bisa berguna untuk dirinya dan praktik kesenian yang dia lakukan kedepannya. Ia juga berharap bahwa suatu saat ia bisa membuka mata orang banyak bahwa profesi sebagai penari bukanlah sebuah profesi yang dipandang hanya dengan sebelah mata saja. [T]