Gagasan membuat pertunjukan Puputan Jagaraga didenyutkan oleh bapak Perbekel (sebutan kepala desa di Bali) Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Buleleng, yakni Dewa Komang Yudi. Pak Mekel, begitu biasanya ia dipanggil (Mekel, singkatan dari Perbekel), menghubungi saya via WA tepat H-10 hari peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan ke-77.
Malam itu sungguh menjadi dilema karena dengan nada begitu lugas dan penuh keyakinan Pak Mekel menjelaskan idenya untuk menggarap sebuah drama pada malam peringatan HUT Kemerdekaan Ri di desanya. Di sisi lain Pak Mekel menyampaikan kalau warga desa yang akan menjadi aktornya tidak pernah mengenal panggung pertunjukan.
Siap Pak Mekel, seru saya sembari meyakinkan diri.
Setelah diskusi singkat itu, saya mengklakulasi waktu yang tersisa dan membuat skenario kemungkinan yang bisa ditawarkan. Singkatnya proses terjadi dalam 5 kali pertemuan sampai pentas.
Menegangkan? Ya pasti, dua hari sebelum pentas baru tergarap 2 babak dari 4 diskenario.
Tapi dalam hati selalu saya meyakinkan diri agar lebih tenang, melihat semangat warga desa, anak-anak, PKK dan karang taruna yang ikut andil latihan sampai tengah malam, saya semakin tergerak.
Huhhh.. begitu saya menghela nafas panjang di akhir pertunjukan tangan saya julurkan untuk salaman dengan tangan tangguhnya Pak Mekel. Selamat saya ucap kepada Pak Mekel, dan kepada semua aktor yang terlibat di panggung dan di belakang panggung.
Malam itu saya melihat betapa berartinya proses yang mereka lalui sehingga membuat mereka bahagia. Yang paling penting saya selalu melirik ke arah penonton dan sungguh takjub, karena begitu antusiasnya warga desa menonton, ya mereka menonton dengan bijak hampir 50 menit pertunjukan drama itu berlangsung.
Di akhir, kami pun menikmati suguhan makan malam nasi babi guling yang dibungkus daun pisang yang cantik, bungkus nasi yang jarang dilihat diperkotaan.
Merawat Denyut Kehidupan
Sebuah perayaan yang sederhana tampilannya, tetapi ada vibrasi besar yang membuat warga desa begitu antusiasnya datang ke Balai Desa untuk merayakan Hari Kemerdekaan dan melihat “hiburan” di panggung desa. warga desa datang mengantarkan anak-anaknya untuk pentas tari, musik, fashion show, bernyanyi dan mementaskan lakon drama sederhana.
Tak luput perhatian juga peran karang taruna desa yang mempersembahkan beberapa lagu yang popular di kalangannya, beberapa dari mereka pun sibuk di belakang panggung menyiapkan acara. Tidak kalah juga para pedagang di pinggir dekat tembok-tembok yang mengelilingi balai desa telah menjajakan dagangan ikut merayakan hari kemerdekaan.
Melihat aktivitas di Desa Tembok sambil menikmati suguhan malam itu, saya sempatkan cerita tentang Pak Halim HD namanya, beliau seorang budayawan Solo pernah berkata bahwa dahulu pada era reformasi desa adalah panggung tempat hidupnya kesenian-kesenian rakyat, balai desa (balai banjar) adalah studionya para seniman kala itu. Seluruh aktivitas budaya hidup dan menghidupi di banjar.
Kita masih ingat juga sejarah mencatat bagiamana Gede Manik mencipta tari fenomenal Trunajaya dan Wayan Mardana dengan tari Wiranjaya, keduannya menghidupi seni di desa-desa atau dikenal sebagai seni sesebunan.Saya juga ceritakan pegalaman bagaimana Taiwan melihat Indonesia Menjaga Tradisi dengan mengundang rombongan seni Tradisi Jawa dan Bali untuk tampil di Taiwan pada tahun 2017. Artinya bahwa identitas Nusantara ini terbangun dan terawat sudah dari lapisan terdalam namanya banjar/desa baik dalam kegiatan upacara agama, ritual persembahan atau perayaan.
Drama Puputan Jagaraga yang dipersembahkan oleh Desa Tembok sesungguhnya mampu menghidupkan kembali peristiwa budaya yang sudah terwariskan oleh para leluhur dengan membangun aktivitas budaya di desa melalui pasraman dan karang taruna. Drama yang mengisahkan perjuangan prajurit Buleleng yang dipimpin Patih Gusti Ketut Jelantik melawan tentara Belanda yang sungguh heroik.
Walaupun kalah dalam peperangan, tetapi perjuangan Gusti Ketut Jelantik sampai detik akhirpun denyut kehidupan itu masih berdetak, menjalar seperti akar menghidupi semangat juang Jro Jempiring bersama para istri prajurit yang ditinggal para suami.
Foto bersama Pak Mekel Desa Tembok, aktor Jenderal Michiel, Kodir dan Prajurit Belanda | Dokumentasi Nengah Juliawan
Pergerakan Bermakna
Secara garap adegan dan visual artistik, sajian Drama Puputan Jagaraga ini digarap dengan sangat sederhana, bahkan seluruh aktor hanya menggunakan pakian seadanya tanpa sewa. Tapi itu bukan masasalah, karena visual adegan cukup didukung dengan penggunaan lampu LED yang dapat memberi penguatan suasana dan kekuatan sound sistem yang cukup membuat penonton mendengarkan setiap kata para aktor.
Dengan latar Cerita Puputan Jagaraga, garapan ini memiliki identitas kuat yang selalu hadir dalam kehidupan masyarakat Buleleng pada umumnya. Kehidupan masyarakat dikemas dengan adegan genjek, metajen, dan pedagang. Tidak lupa pada dialog pedagang diselipkan sosialisasi program desa tentang Puskesdes dan Bus Sekolah yang dapat diakses bayar dengan membawa sampah plastik oleh seluruh masyarakat.
Dalam adegan juga menekankan peran sosok Jempiring yang membantu Jelantik menyusun strategi Perang Supit Urang yang semat memukul mundur 250 orang pasukan Belanda pada perang pertama.
Bagi saya pentas itu sudah berakhir, yang masih terus hidup adalah makna setelah proses latihan. Sebuah proses latihan natural yang dilakukan rutin selama 4 hari adalah pergerakan penuh makna, tentang mereka mengontrol emosi, tentang menjalin kerjasama (menyamakan frekuensi), tentang menghargai waktu, tentang profesionalitas kerja.
Apabila ini menjadi rutinitas, temasuk di Desa Tembok, menurut saya seni akan berperan untuk memanusiakan manusia dan akan lahir pergerakan bermakna yang selalu menjadi inspirasi desa lainnya.
Dengan begitu saya yakin ini adalah pergerakan yang bermakna. Kenapa? Ya jawaban versi saya, karena mereka “berani” mencoba. Sebuah garapan yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya, bisa jadi dikatakan matah, ajum-ajuman dan umpatn lain bagi mereka yang tidak mampu melakukan pergerakan itu. Atau dikatakan sensasi saat pandemi. Entahlah, tapi saya melihat ini sangat sederhana.
Proses begitu cepat, tapi hasilnya saya saksikan tidak seperti mie instan yang cepat membuat saya lapar. Ini seperti saya menyantap ikan bakar dipinggir pelabuhan Sangsit. Aroma dan nikmatnya masih saya bahwa sampai ke rumah. Masih saya ceritakan dengan istri betapa saya terkagum melihat pemainnya sangat total tertawa, marah atau sedih.
“Happy is Free” adalah kata yang saya catat, karena saya meyakini dengan sering-sering happy akan meningkatkan imun tubuh. Salah satu momen megenjekan sambil menari bersama ngibingin joged menunjukan begitu bahagianya mereka tanpa beban. Semoga mereka yang pentas benar-benar meningkat imunnya.
Ini adalah keberanian Kapten kapal dan ABKnya kapal yang diberi nama Desa Tembok dapat menciptakan sebuah tontonan yang bergizi saat perayaan Hari Kemerdekaan.
Di akhir pertunjukan kamera silih berganti membidik serunya moment itu, kemudian saya lihat jarum jam sudah pukul 11.00 WITA, cerita dengan Pak Mekel harus dilanjutkan lain waktu.
Sungguh nikmat malam itu, kamipun kembali ke kota Singaraja menunaikan pekerjaan esok harinya… MERDEKA… Tancep Kayonan. [T]