Dalam perkembangan drama gong di Bali, sosok seniman almarhum Wayan Sujana alias Jedur seakan jarang disentuh. Padahal, pria kelahiran Banyuning, 31 Desermber 1945 itu memilki peran penting dalam tumbuh kembangnya kesenian yang pernah booming di era 70-an hingga 90-an itu.
Selain dikenal sebagai guru, Wayan Sujana merupakan salah satu seniman Drama Gong Puspa Anom Banyuning yang terkenal di tahun 1970-an itu. Darah seninya mengalir tiada henti, sehingga ia menyerahkan sebagian hidupnya kepada pengembangan seni drama gong itu. Sujana juga menekuni drama klasik, drama radio, drama modern, melukis tenda drama, membuat lagu dolanan anak anak, membuat lagu radio “Kidung Klasik Tanah Bali” hingga lawak nasional memakai topeng bondres.
Pria yang hanya tamatan SPG ini sangat terkenal dengan perannya sebagai tokoh Sampek dalam pentas drama gong yang mengangkat lakon “Sampek Ing Tay”. Penampilannya di atas panggung sangat realis, berbeda dengan penampilan pemain drama gong lainnya. Salah satu penampilannya yang terkesan realis yakni ketika adegan Sampek menemui Ing Tay untuk menyampaikan isi hatinya akan melamar.
Dalam adegan itu, ia mampu membangun suasana yang begitu menyentuh rasa. Karena itu, tak heran, pada tahun 1970 -1 985, ia memerankan tokoh Sampek hingga ratusan kali pentas di seluruh pelosok Bali, bahkan sampai ke Lombok. Setiap drama gong dengan lakon Sampek Ing Tay ini pentas, masyarakat selalu membludak. Masyarakat yang menonton terharu, bahkan tak kuasa membendung isak tangis karena kekuatan pemeran Sampek dan Ing Tay itu.
Suami Ni Ketut Mawati ini tak hanya tampil sebagai pemeran tokoh Sampek, tetapi juga aktif sebagai pengarah pertujukan, sutradara sekaligus sebagai penulis naskah sehingga dalam pementasan Drama Gong Puspa Anom. Ia juga merancang tenda sebagai latar pertunjukan. Sekitar sepuluh tenda dengan gambar yang berbeda-beda ia rancang sesuai dengan suasana dalam setiap adegan. Hal itu menjadikan drama gong ini semakin digemari. Sebut misalnya dalam adegan rapat, maka tenda yang muncul adalah gambar puri yang megah. Demikian jika adegan di hutan, maka tenda yang diturunkan bergambar hutan dengan tumbuhan lengkap binatangnya. Tenda-tenda itu merupakan buah karya Jedur yang mampu mendukung suasana dalam setiap adegan.
Ayah dari Luh Sumartini, Made Sukini, Nyoman Darwin Setiabudi, Ketut Heppy Setiawati, Luh Ariani Basundari dan Made Candriga Kresna Kumari ini dikenal sebagai pimpinan Drama Gong Puspa Anom Banyuning yang kreatif. Inovasi yang dilakukannya membuat seni pertunjukan drama gong ini menyebar ke seluruh Buleleng. Bahkan mengalami booming tahun 70-an yang ditandai dengan banyaknya bermunculan sekaa-sekaa drama gong karena antusiasme masyarakat yang begitu tinggi terhadap bentuk seni pertujukan ini.
Foto: Wayan Sujana “Jedur”
Dalam urusan ilmu, ia tak pernah pelit untuk memberikan ilmunya pada siapa pun, terlebih untuk tujuan mengembangkan kesenian drama gong. Ia juga terkadang menyelipkan anaknya yang masih duduk di kelas 5 SD ikut bermain menjadi raja muda kecil dalam lakon “Prastika Nala” saat pentas di Lombok. Itu tampaknya sebagai upaya penggenerasian.
Pria yang tinggal di Jalan Gempol 142 Banyuning Tengah, Singaraja itu juga membina kesenian di desanya, membina drama gong khas Buleleng lewat sekolah-sekolah dan sanggar-sanggar yang ada di Buleleng. Di samping itu, ia juga pernah berperan dalam sandiwara radio “Kidung Klasik Tanah Bali” bahkan menciptakan lirik lagunya.
Sandiwara radio itu disiarkan RRI Singaraja sampai puluhan judul. Sujana juga sering berkontribusi sebagai duta kesenian Pemerintah Kabupaten Buleleng diajang Pesta Kesenian Bali (PKB). Pengalaman panjang itu membuat Jedur kerap dipercaya menjadi narasumber, khususnya terkait seni drama gong. Ia bahkan menjadi narasumber langganan RRI Singaraja.
Saat ini, drama gong khas Buleleng, yang menggunakan tenda gambar dan properti lainnya sampai sekarang masih dilestarikan oleh Sanggar Seni Nong Nong KLING. Sanggar seni ini juga dibentuk oleh Sujana dan mementaskan drama berbahasa Indonesia.
Setelah drama gong memudar sejak sekitar tahun 1987 karena ditinggalkan oleh penggemarnya, pria yang sangat suka makan jejeruk dan be sudang itu kemudian membentuk sekaa lawak, namun semua pemain memakai topeng, meminjam topeng bondres yang sudah ada. Namun, busananya bukan busana topeng, melainkan busana lawak yang disesuaikan dengan karakter dari setiap peran dibawakan. Vokal pemain disesusikan dengan karakter yang diangkat, sehingga penampilannya menjadi semakin menarik dan yang pasti mengundang tawa.
Setelah sastrawan sekaligus dramawan Putu Satria Kusuma hijrah dari Denpasar ke Singaraja, Jedur bergabung dengan Putu Satria Kusuma. Putu Satria Kusuma mendirikan “Sanggar Kampoeng Seni Banyuning”. Sanggar ini sudah banyak juga memproduksi garapan di bawah besutan Putu Satria Kusuma.
Di sanggar ini, ia mencurahkan segala ekspresinya, sehingga sudah banyak melakukan pementasan diberbagai event di Bali. Bahkan pementasan sampai ke luar daerah, seperti di Jakarta, Bentara Budaya Bandung, Gedung Kesenian Jakarta, Solo, Yogyakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia. Di samping aktif dengan aktivitas Sanggar Kampung Seni Banyuning, ia juga tetap melakoni seni tradisi, seperti bondres.
Seiring dengan umur yang sudah semakin tua, Jedur mengalami sakit. Walaupun dalam keadaan sakit, ia sempat meluangkan waktunya untuk pentas di ajang PKB yang diselenggarakan di Buleleng pada tahun 2005 dan mementaskan lakon “Nostalgia Sampik Ing Tay”. Berselang beberapa bulan setelah itu Sujana jatuh sakit dan meninggal dunia pada tanggal 8 Desember 2005. Meski telah berpulang, kepiawaiannya mementaskan drama gong atau drama modern dari satu judul ke judul yang lain masih dikenang para generasi penerusnya maupun para pencinta seni drama lainnya.
Lakoni Seni Drama Sejak Kecil
Berdasarkan cerita salah satu anaknya, Nyoman Darwin Setiabudi, bakat seni Jedur tidak mengalir dari darah orang tuanya, yaitu Nyoman Sringasta dan Ketut Seririt ini yang sebagai petanu dan buruh bangunan itu. Bakat berkesenian itu memang tumbuh dari dirinya sendiri. Tetapi, bakat dan taksu itu tidak terlepas dari Pura Gede Pemayun. Di pura itu terdapat salah satu palinggih tempat stana I Dewa Bagus Panji yang diyakini masyarakat Buleleng sebagai Dewa Kesenian.. Setiap akan mendirikan kesenian ataupun berlatih, ia selalu mapiuning (memohon restu). “Ayah pernah bilang nunas taksu di Pura Gede Pemayun. Itulah spiritnya dalam berkesenian,” cerita Darwin.
Masa kecil Jedur sangat dekat dengan aktivitas berkesenian. Seni peran bahkan sudah biasa dilakoninya ketika masih anak-anak, di samping seni tabuh, tari dan seni lainnya. Pada saat duduk di kelas V SD, ia pernah berperan sebagai Malin Kundang, juga peran lain dan kisan yang berbeda. Bakat seni peran itu terus dipupuknya hingga menjadi siswa Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Di SPG, aktivitas keseniannya semakin padat. Ia sering membuat pementasan drama bersama teman-teman di sekolahnya. Seni peran seakan melekat dalam kehidupannya. Di mana pun ia berada di situ ada aktivitas seni peran.
Foto: Wayan Sujana Jedur saat main drama modern
Setelah tamat SPG, Jedur mendengar ada perayaan hari Kemerdekaan RI di Buleleng yang dimeriahkan dengan pasar malam dan pagelaran Drama Kacang Dawa dari Gianyar. Ia bersama teman-temannya datang ke Lapangan Letkol Wisnu (areal Pura Jagat Natha sekarang) tempat berlangsungnya perayaan kemerdekan RI itu. Jedur menonton dengan teman-temannya. Saat itu, ia menyaksikan drama gong, tetapi menggunakan bahasa Indonesia. “Dari cerita ayah, drama itu katanya drama gong, tetapi memakai bahasa Indonesia. Besoknya, ayah kumpul bersama teman-temannya yang ikut nonton untuk membahas drama itu,” ungkap Darwin.
Dari pertemuan itu, Jedur bersama teman-temannya akhirnya sepakat membuat drama gong, tetapi memakai bahasa Bali dalam dialognya. Tepat pada 1 Juni 1968 dibentuklah sekaa drama gong bernama Puspa Anom. Mereka sepakat memilih tempat latihannya di Pura Gede Pemayun dan berharap mendapat restu dan spirit dari Ida Sesuhunan di pura tersebut.
Prosesnya cukup panjang untuk menjadi sekaa drama yang dikenal masyarakat. Awalnya, sekaa drama gong ini sempat mengangkat judul “Wiraguna Wiranata”, lalu “Panji Semirang”. Berikutnya “Prastika Nala”, “Basur”, “Angling Dharma”, “Dukuh Siladri”, “Uwug Payangan”, “Bende Mataram”, “Krispusaka Lebur Jagat”, “Kacang Garing” dan masih banyak judul lainnya lagi. Puncaknya, Sekaa Drama Gong Puspa Anom mementaskan lakon “Sampek Ing Tay”.
Sosok Jedur sangat cinta pada seni peran itu sehingga terus mencari dan menggali karena tak ingin drama gong hanya sampai di situ saja. Ia memiliki prinsip, drama gong tak hanya bagus mengangkat cerita Panji saja, bisa juga mengangkat cerita lainnya. Ia pun mencoba mengangkat cerita Sampek Ing Tay, dan terbukti bisa terkenal bertahun-tahun. Agar drama gong itu bisa lebih menarik lagi, Jedur juga menawarkan cerita Bali anyar lainnya yang bisa diangkat ke dalam pertunjukan drama gong. “Itu impian ayah yang bercerita pada saya dulu,” ucapnya.
Dengan lakon Sampek Ing Tay itu, Drama Gong Puspa Anom yang dipimpin Jedur akhirnya pentas keliling Bali. Itu memberinya pengalaman pentas yang sangat fantastis. Sebagian besar desa-desa di Kabupaten Buleleng sudah dijelajahinya, termasuk pentas di Puri Kanginan, Buleleng. Bahkan, keluarga Puri Kangian setiap saat meminta Jedur pentas di Puri. Itu karena keluarga Puri begitu nge-fans dengan penampilan Jedur di atas panggung yang realis dan apa adanya. Jedur juga sudah berkeliling Bali melalui pementasan drama gong. Sementara di luar daerah, Drama Gong Puspa Anom pernah pentas di Lombok sebanyak tujuh kali, dan setiap satu kali pentas bisa memakan waktu hingga seminggu. Setelah bergabung dengan Sanggar Kampung Seni Banyuning, ia sering pentas ke luar daerah.
Drama Gong Puspa Anom boleh dibilang memiliki kontribusi dalam pembangunan balai banjar, wantilan, bale gong atau pun pura. Drama gong ini sering ditanggap pentas dalam rangka penggalian dana untuk pembangunan balai banjar, wantilan, bale gong maupun pura, termasuk pembangunan Pura Gede Pamayun dan bale gong yang ada di desanya. Yang menarik, Drama Gong Puspa Anom pernah melakukan barter bersama salah satu tukang dari Gianyar. “Sekaa Drama Gong Puspa Anom pentas di desanya, lalu masyarakat di desa tersebut membuatkan bale gong berserta relief-relief unik,” ucap Darwin.
Peristiwa Jedar Jedur
Jiwa seni yang dimilikinya membuat Jedur selalu luwes bermasyarakat. Penampilannya yang sangat sederhana, humoris membuatnya dikenal sebagai sosok yang loyal. Jika masyarakat sedang melaksankan pembangunan pura, ia selalu duduk sebagai panitia, bahkan sering menempati posisi sebagai ketua. Ia tak hanya memerintah dengan menunjuk jari, tetapi juga terjun langsung sebagai pelaksana, termasuk pada pembuatan dekorasi (lands keeping) taman sekolah.
Padahal dulu tak ada dana bantuan opersional sekolah (BOS), tetapi ia mampu membuat taman sekolan menjadi indah. Taman bunganya digarap sendiri. “Saya sempat tanya sama ayah, di mana dapat uang kok bisa beli bunga dan rumput? Ayah hanya ketawa dan berkata, ‘endepang bane jak memene. Ibi sanja maan mondres ping pindo, upahe abesik kabeliang bunga, jangan bilang-bilang kepada ibu. Semalam dapat menari bondres dua kali. Ongkos sekali Bapak belikan bunga’,” kenang Darwin.
Pertemuannya dengan sang istri juga menyisakan cukup menarik. Jedur yang fokus pada aktivitas berkesenian seakan lupa memikirkan pasangan hidup. Waktunya dihabiskan untuk urusan seni, sehingga lupa mencari pacar. Padahal, di mata teman-temannya, Jedur dinilai memiliki paras yang rupawan. Karena itu, ia terus didapuk menjadi raja muda dalam setiap pementasan drama. Orang tua Jedur terus menuntutnya menikah hingga akhirnya Jedur kemudian dijodohkan dengan saudara sepupu yang kini menjadi istrinya. Artinya, pertemuan Jedur dengan istri itu karena dijodohkan orang tuanya.
Menurut cerita Darwin, nama panggilan Jedur itu diberikan setelah ayahnya lahir yang bertepatan dengan kahadiran tentara Belanda di Buleleng. Tentara Belanda itu menembakkan meriam ke wilayah Banyuning dari pesisir Pelabuhan Buleleng. Bunyi meriam tersebut terdengar jedar jedur. Sampai sekarang peristiwa itu di Banyuning terkenal dengan istilah Jedar Jedur. Bersamaan dengan itu, Wayan Sujana lahir, sehingga langsung dipanggil Jedur.
“Satu pesan bapak yang masih membekas di hati saya, ‘yen bin pidan bapak mati, odalan di Pura Pemayun, ingetang keseniane sing dadi putus harus pentasang drama gong, jika nanti bapak meninggal, tepat saat odalan di Pura Pemayun, ingat, kesenian tak boleh putus, harus pentaskan drama gong’. Odalan di pura tersebut selama lima hari, maka selama itu harus ada kesenian yang tampil,” tutur Darwin.
Karena jasanya dalam pengembangan kesenian drama gong, Jedur dianugerahi berbagai penghargaan. Di antaranya Anugerah Seni Wijakusuma dari Pemerintrah Kabupaten Buleleng pada 30 Maret 1995, penghargaan saat mengisi Festival Seni Masa Kini dari Yayasan Walter Spies Denpasar pada 27 Desember 1993, penghargaan sebagai peserta Festival Tingkat Nasional Tari Daerah Kreasi Baru Jakarta pada 16 Oktober 1985 dan sebagai peserta Festival Nasional Teater Bandung pada 7 Oktober 1996. Pada tahun 2022 ini, Pemerintah Provinsi Bali juga mengapresiasi jasa-jasa Jedur dalam mengembangkan kesenian drama gong dengan menganugerahinya Penghargaan Dharma Kusuma. [T [*/Diambil dari Buku Penghargaan Dharma Kusuma 2022, Provinsi Bali]