Realitas keterbukaan membuat setiap nilai mengejar eksistensi. Akibatnya, nilai mengandung relativitas yang tinggi. Perkembangan sekarang ini juga, kadang membuat kita bingung dan disorientasi. Penguatan nilai-nilai dasar setiap individu berfungsi untuk menghadapi fenomena, peristiwa alamiah, atau ia datang tak terduga, dan terkadang tak dikehendaki.
Meski hal itu sudah menjadi ketetapan, takdir dari Sang Ilahi. Seperti masa pandemi itu yang disinyalir sedang melandai.
Peka dan cermat terhadap subjektivitas, maka eksistensi individu ── manusia semakin ada dan menguatkan hakekat jati dirinya. Subjektivitas di sini bukan bermakna antonim objektivitas, tetapi subjektivitas aku yang menghendaki, bertindak, dan aku yang mengerti.
Lounching buku kumpulan puisi Kambali Zutas Anak-anak Pandemi, kalau boleh dimaknai merupakan rajutan simpati pada anak-anak tidak sebatas pada saat musibah pandemi melatar bumi. Profil anak-anak dalam situasi apapun berhak tumbuh, bermain, belajar, berkembang, dan bersosialisasi secara wajar bermartabat. Itulah hak setiap anak-anak dan hak itu mesti tetap dapat menjadi miliknya.
Situasi, kondisi, dan dominasi eksternal berpotensi membentuk eksistensi anak-anak. Manakala kita menghendaki bangsa yang besar, berkepribadian luhur dengan karakter agamis, nasionalis, humanis dalam harmoni mikrokosmis sejati, maka tentulah anak-anak menjadi skala prioritas kepengasuhan dalam ruang waktu yang tak pernah lalai apalagi berhenti.
Pada gambar cover buku Anak-anak Pandemi hasil goresan kuas Muchamad Thoha Hasan melukiskan betapa kedekatan impersonal itu bernilai. Tataran nilai sudah seharusnya tidak hanya terbangun dalam suatu objek harmoni warna. Tetapi lebih daripada esensi warna itu dapat berfusi menjadi kesenyawaan sebaran empati yang tertambat jauh ke dalam setiap hati dan jiwa meruang tekat hati nurani.
Cover buku Anak-anak Pandemi mengingatkan saya pada isme seni rupa. Sayangnya, saya tidak menemukan adanya harmoni unik dalam satu karakter fauvisme, impresionisme, ataukah futurisme Thoha Hasan. Sehingga saya kesulitan menarik benang merah secara utuh. Terangkum dalam karakteristik suatu isme untuk memasuki paradigma yang hendak saya cermati pada gambar cover buku Anak-anak Pandemi dalam kumpulan puisi Kambali Zutas .
Seandainya Hasan konsisten pada satu isme tersebut di atas, maka torehan harmoni warna fauvis misalnya, justru mendekatkan karya perumus gambar covernya mempribadi dalam realitas fenomenal dalam buku kumpulan puisi Anak-anak Pandemi. Singkatnya, dalam perspektif karakteristik fauvis torehan warna tidak harus merah. Karena justru mengaburkan esensi fauvisme itu sendiri. Meski dimaksudkan warna merah secara berjamaah menjadi satu diantara simbol tanda bahaya untuk menggambarkan suatu peristiwa. Tapi malah semakin luntur melukiskan suatu analog makna dalam mengungkap kenyataan.
Masihlah, saya suka pada gambar cover itu dengan visual gambar anatomi goresannya saat memakai pisau analisis Whirling Dervishes Rumi. Semakin ke dalam dalam putaran semakin pula menyematkan bentuk ikatan yang kuat antara anak dengan orang tua, antaranak-anak dengan orang-orang terdekatnya. Sisi-sisi positif orang terdekat tentu menjadi beranda madrasah pertama bagi anak-anak di tengah-tengah hegemoni era syberspace, sybernate, dan sybernetics saat ini.
Begitulah karya seni, kerap kali dibuat tidak langsung menunjuk pada makna yang dimaksud. Sebelumnya dibuat agar terjadi impersonal kurasi. Tafsir silang pikir sejenak yang tengah terjadi dan telah menjadi keseharian bahkan telah menghegemoni. Baudrillard menyatakannya sebagai simulacrum. Kesadaran simulasi dimana kita ada di dalamnya. Tanpa sadar kita larut dalam konstruksi liniernya.
Karya sastra Kambali dalam kumpulan puisi Anak-anak Pandemi secara umum terlecut dari genjring-genjring ana-huwa-huma-hum. Ia lebih banyak mengungkapkan intensi dominan eksplor logikal fenomenologis dibanding refleksi literal aestetis. Yakni kesadaran pengorganisasian aspek-aspek fenomena insidental dieksplor ke dalam narasi-narasi personal, sosial, juga spiritual. Separo lebih-lah kemudian, ia kembali membangun konstruksi literal sastrawi. Baik bersifat penambatannya pada sistematika, tema, imaji, gaya, rima, metafor jeda yang terangkum dalam berbagai ingatan dan peristiwa yang menjadi fokusnya. Ini juga berangkat dari praduga analisis konten dengan tema yang dibahasnya.
Namun tak dimungkiri bahwa otentisitas dan orisinalitas bagi kreator seni merupakan dasar pijak pengayaan nilai. Karenanya, tidak harus dihindari apalagi dijauhi. Kedua hal tersebut tetap bisa menjadi bagian dari sebaran nilai bagi kreativitas penyair satu sisi, dan bagi lainnya untuk mendukung capaian-capaian dalam pengkaryaan literasi lebih banyak hadir di ruang publik.
Kesadaran Kambali memasuki dunia kreatifnya, mungkin, merupakan sebuah jawaban atas kegelisahan lambatnya program pemerintah dan stakeholders tentang literasi. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD: 2019) menyatakan bahwa Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara dengan tingkat literasi. Atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah!
Selain itu, fenomena a zone of freedom yang sudah berada di depan mata. Capaian teknis, pengayaan literasi tentang logika, agama, humaniora, dalam hal ini literasi aestetika itu, diakui atau tidak, sesungguhnya dapat dilakukan oleh berbagai kalangan. Pada waktunya semua itu tentu dapat menabur benih-benih mutiara yang terpendam. Tumbuhkembang kreativitas generasi-generasi kreator literasi menuju gerbang yang lebih luas dan terbuka.
Bagi Kambali merumuskan suatu kesadaran semacam itu memerlukan proses. Proses tidak lepas dari hal-hal yang bersifat finansial dan immaterial. Ia sendiri mengakui saat ditemui dini hari (10/8) di warung sebelah rumahnya di Denpasar, tentang kesan proses terwujudnya buku dengan gayanya menjawab “enggak ada, enggak ada, Pak yang paling terkesan terbitnya buku, kecuali proses dan momentumnya,” paparnya.
Memang, selayaknya proses lebih terdepan dibanding produk yang dihasilkan. Sebaliknya tidak akan ada hasil tanpa melalui suatu proses. World wide “DD”, warung waralaba siap saji yang hingga kini tetap eksis mendunia, juga dimulai sejak tahun 1897. Singkatnya, process would be better than its product.
Irisan elan vital produktivitas Kambali dalam berkarya seperti air mengalir. Gaya kalimatnya terungkap secara sarkas dan majas terbaca dalam puisi Pantang Mati Bunuh Diri: Tidak! Keparat! Aku pantang bunuh diri! Takdir adalah mimpi, dan mimpi menjadi kenyataan. Tak perlu kau suruh bunuh diri. Aku punya waktu, hingga benar-benar mati dengan sendiri.
Dalam ungkapan kalimat-kalimat yang jelas dan tidak banyak perlu mengernyitkan dahi dengan metafor dan ungkapan-ungkapan majas puitiknya, Kambali suatu saat menuliskan kata takdir. Saya pikir tidak asing baginya kata takdir itu. Memang sudah harus mengerti dan memahami makna kata takdir. Perspektif teologi ilahiah takdir adalah bagian dari substantif religi (baca: Islam). Karena qodho dan qodar itulah takdir. Lagi pula menjadi bagian pokok dasar iman. Jika salah memahami, menghayati, dan mengamalkan dapat membuat lunturnya iman.
Segmen takdir di sini perlu diperjelas agar tidak salah tafsir. Tentu yang dimaksud Kambali dengan takdir bersifat muallaq. Yakni takdir yang dapat diubah karena kesungguhan manusia merubah takdir. Bukan sebaliknya takdir mubram, suatu ketentuan terhadap penciptaan─ketentuan (qodho─qodar) yang sama sekali tidak dapat dirubah. Sifat takdir mubram misalnya, selalu disematkan pada seluruh ciptaan Allah Swt. Tidak terkecuali manusia sudah tertulis takdirnya di Lauhul Mahfud sejak 50.000 tahun sebelum seluruh kesemestaan diciptakan-Nya.
Mengulik beragam jalinan eksistensi diri Kambali juga bagian dari alternatif sublim takdir. Lewat buku kumpulan puisi Anak-anak Pandemi, sesungguhnya merupakan desain cantik untuk senantiasa dapat menguatkan kembali atas takdir, agar kita dapat berdiri tegak dari suasana abnormal menuju era new normal.
Narasi-narasi penguatan potensi personal, sosial, juga spiritual yang dibangunnya lewat kumpulan puisi Anak-anak Pandemi sesungguhnya hanya merupakan sarana untuk menuju tujuan utama. Tidak lain adalah esensi mengokohkan kembali berbagai potensi yang kita miliki menjadi lebih berfungsi, berdaya guna terasah lagi.
Pada kumpulan puisinya ia menyematkan kata takdir baru saya temukan sebanyak tiga kali. Dalam puisi berjudul Anak-anak Pandemi #4: Janin-janin Pandemi/ Bayi-bayi pandemi/ Anak-anak pandemi/ apakah ini takdir/ jadi farath1 pemberi senyuman di alam nanti/ pelipur lara orang-orang tak kuasa/ penolong orang-orang tak berdaya/ penenang hati orang-orang yang tak kuat/ lalu mati suci didaulat penghuni surga. Tersematkan pula kata takdir pada karya puisinya berjudul Kabar dari kawan: Mereka telah pergi, Ke sana kemari mencari sesuap nasi/demi menghidupi keluarga/Tidak ada yang peduli/Kecuali takdir sebagai penenang hati.
Puisi pertama ia mengungkapkan pengalaman religi dalam penguatan spiritualnya, baik bagi dirinya maupun pesan buat pembaca. Kata takdir pada puisi pertama di atas terklasifikasi sebagai takdir mubram azali atau juga takdir mubram umri. Begitu juga pandemi itu, semoga cepat berlalu, adalah bagian dari takdir mubram azali pula. Bagi yang berpulang karena sebab pandemi disebut takdir mubram umri. Keduanya merupakan ketentuan Sang Khaliq yang diperuntukkan pada makhluk-Nya sebagai bentuk ujian. Ketetapan-Nya sejak zaman azali termaktub sudah di kitab Lauhul Mahfud.
Berbeda dengan puisi yang kedua menyiratkan gerak badani. Jasad dan ruh yang ditiupkan kepada setiap makhluk-Nya adalah sebagai karunia. Wujud syukur dari sifat badaniah dan rohaniah agar manusia dapat memberikan arti hidupnya atas karunia yang dianugerahi. Produktivitas badaniah dan rohaniah itulah wujud syukur. Apapun perolehan dari wujud ikhtiar manusia adalah takdir. Namun takdir tersebut bersifat takdir muallaq. Dapat dirubah sepanjang manusia sadar diri sekuat ikhtiar yang dilakoni.
Gairah membajak takdir muallaq bukan lagi absurd. Tapi wajib dilakukan oleh setiap manusia. Karena dengan takdir muallaq yang ditempuh individu banyak membuahkan kebajikan menuju maqom kebahagiaan, tidak sebaliknya dimaksudkan dari maqom kebahagiaan menuju kebajikan. Itulah kebahagiaan sejati yang terpetik dari hasil kebajikan manusia itu sendiri.
Contoh pembajak takdir seperti yang diimani oleh Umbu Landu Paranggi dalam sajak Seremoni: dengan mata pena kugali gali seluruh diriku/dengan helai helai kertas kututup nganga luka lukaku/kupancing udara di dalam dengan angin di tanganku/begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku.
Lalu, takdir yang sedemikian ini menjadi sebuah pilihan-pilihan momentum yang hendak dilewati. Semua siklus yang terjadi sudah seharusnya melalui refleksi yang pasti. Terbit dan lounching buku Anak-anak Pandemi misalnya, pada bulan Juli di Denpasar. Rasanya bukan sesuatu yang kebetulan. Tengok noktah kelahiran Kambali dan istrinya, Rusita Yudiarsih tepatnya bulan Juli. Begitu juga lounching buku Anak-anak Pandemi di Mahima, Singaraja medio Agustus bersamaan bulan Muharram, bisa jadi mempunyai hubungan emosional psiko-spiritualis Kambali.
Misalnya, ia sudah susah payah mengejar momentum mesti diraihnya. Kita diajak duduk bersama. Kita diajak tukar pikiran, diskusi, dan silaturrahim menjalin kebersamaan tanpa sekat dan ikatan, hingga terjalin wahana kerekatan humaniora dalam wadah sastra. Pantas-lah kemudian kita berdeklamasi jamaah untuk bangsa, tak terkecuali saya ikut bersaksi: Kambali di Mahima. Kita sudah milik negara. Indonesia, lagi. Siapa yang tak bangga? 77 tahun kita merdeka. Tumbuh dari belukar revolusi 1945. Tumpah darah basah air mata. Mereka menghendaki. Kita yang bertindak dan mengerti. Begitu indah setiap pagi kita mabuk pesona Ibu Pertiwi. Di Mahima kita tegak dan bersatu. Satu bangsa bangsa Indonesia. Satu bahasa bahasa Indonesia. Satu Tanah Air Tanah Air Indonesia.
Kambali juga menuliskan dalam Ibu Pertiwi merujuk pada regional geografisnya: ibu pertiwi/ harapan alam bali kembali/belenggu benalu lepas dan pergi/semarak nyiur bernyanyi/menyambut mentari pagi/embun menari tanpa henti/indah di pangkuan ibu pertiwi/tak ada lagi tangisan/tak ada lagi kesedihan/kecuali senyuman.
Itulah mungkin simbol momentum yang diusungnya. Penandaan suatu kelahiran, juga bulan yang mengandung suatu peringatan, sering menjadi sesuatu yang berarti. Bukan saja milik pribadi yang diagungkan, diteladani, dan dihormati, atau siapa yang memiliki. Tetapi itulah hakekat pesona dengan tujuan dan alasan tersendiri. Seperti dalam pengakuan Kambali pada pengantarnya, karya sebagai upaya merawat catatan, tentang apa yang terjadi pada tiga tahun tersebut. Yakni rangkuman peristiwa-peristiwa yang laik ia cermati.
Dari 50 jumlah judul puisi karya Kambali, dari halaman ke halaman terbaca berada dalam pusaran berbagai ungkapan refleksi diri. Tidak lepas juga ungkapannya membentuk opini komunikasi pernyataan suatu aksi. Tetapi ia tetap sadar sebagai hamba daif selalu tak henti untuk menemukan diri. Simak pada puisi Izinkan Aku Berdoa Sejenak: hati kecil nan kerdil/mengajak berbakti adil/maka izinkan aku berdoa sejenak/lantunan dan nyanyian pujian/hingga sampai waktunya mati.
Semua itu berangkat dari sugesti, empati individu atau individu terhadap sesamanya, alam, dan lingkungannya. Irisan-irisan itu sesungguhnya berasal dari semua irisan menjadi satu bagian pada sebaran kumpulan puisi Anak-anak Pandemi. Ibarat gula dan kopi teraduk dalam suatu rasa pahit dan manis. Kambali menarasikan dalam bentuk karya puisi. Itulah makanya entitas karya sastra penyair pada hakekatnya adalah refleksi dari masyarakat selingkungnya. Kambali hadir di dalamnya.
Demikian catatan ini sebagai simpul-simpul diskusi lounching buku karya Kambali Zutas di Komunitas Sastra Mahima, Singaraja – Bali. Tentu masih banyak kekurangan di sana sini. Selain itu, catatan ini untuk menambah catatan-catatan sebelumnya berasal dari Kardanis Muda Wijaya dan Ayu Sulistyowati. Juga, sekian testimoni-testimoni diantaranya dari Dr. Dadang Hermawan. Selanjutnya, berkenan juga antara lain Gede Suyasa, Kadek Sonia Piscayanti, Made Adyana Ole, Yahya Umar, dan Eka Prasetya. Akhir salam, selamat membaca kumpulan puisi Anak-anak Pandemi. Selamat buat Kambali Zutas , semoga bermanfaat dan sukses selalu. [T]
Denpasar, 12 Agustus 2022