Kala itu Pita Maha belum lahir, Walter Spies berjumpa dengan seorang pematung dari Desa Belayu bernama I Tegalan. Dia menyerahkan sebatang kayu dan berniat mendapatkan dua buah patung dari sebatang kayu nangka itu. Namun di tangan I Tegalan kayu itu hanya mewujud menjadi satu patung, sesosok bidadari anggun dengan proporsi tubuh ramping dan memanjang mengikuti sulur kayu (Stutterheim, 1934 dalam Rhodius & Darling, 1980: 67). Satu kisah yang penting dalam menyingkap keistimewaan tradisi Seni Patung di Bali.
Jejak Seni Patung di Bali, tersebar menghiasi setiap sudut, relung dan ruang yang ada. Dapat dijumpai di tengah goa, di atas bukit, di bawah rindangnya pohon tua maupun diantara keramaian lalu lintas kota.
Sarkofagus, nekara Pejeng, patung Bethara Pancering Jagat di Trunyan, arca-arca perwujudan di Pura Tegeh Kahuripan maupun Goa Gajah, serta arca atau pratima kayu di banyak tempat suci dan Pura yang disakralkan dan disungsung masyarakat menunjukkan kandungan spirit Seni Patung Bali yang tidak lekang oleh jaman.
Patung ogoh-ogoh berbahan anyaman bambu yang selalu hadir memeriahkan Hari Pengerupukan maupun patung monumental berbahan semen yang terlihat semakin ramai tumbuh menghiasi ruang publik, serta patung perunggu Garuda Wisnu Kencana karya I Nyoman Nuarta berdiri gagah menunjukkan dinamika yang terus bergulir.
Seni Patung Bali melaju dengan gerak dinamis, seirama dengan laju peradaban. Kehadirannya mampu memaknai ruang-ruang sakral maupun memeriahkan ruang-ruang sekuler.
Foto bersama para seniman patung SDI, Tonyraka Gallery dan Rektor ISI Denpasar saat pembukaan pameran.
Seni Patung hadir dengan semarak di tengah-tengah masyarakat Bali, namun perhatian dan literasi terhadapnya cenderung kurang. Hal ini terasa kuat dalam perbincangan di ranah seni modern. Ulasan terhadap Seni Patung sangat terbatas, apalagi jika disandingkan dengan keriuhan pewacanaan terhadap Seni Lukis. Keberadaannya sering dianggap berada di bawah bayang-bayang Seni Lukis. Kesempatan tampil dalam ruang-ruang pameran masih sangat terbatas, serta proses penciptaan karya patung yang komplek, turut mewarnai laju Seni Patung yang terasa tersendat-sendat dalam wacana seni modern di Bali.
Sanggar Dewata Indonesia (SDI) sebagai lokomotif pergerakan seni modern di Indonesia, kini mencoba menyediakan ruang khusus terhadap Seni Patung. Memberikan kesempatan kepada potensi-potensi yang ada untuk mengemuka, menguat serta menjalin kembali kemasyuran Seni Patung Bali melalui serangkaian kegiatan pameran.
Pameran perdana (khusus) Seni Patung ini mengambil tajuk “sekala-skala”, yang merujuk pada upaya penyingkapan, pengungkapan (sekala) seniman dan kecendrungan karya patung yang ada, serta usaha untuk melakukan pencatatan dan pengukuran (skala) terhadap geliat Seni Patung yang ada SDI.
Pameran ini dimaksudkan sebagai pemantik untuk meniupkan spirit yang ada agar kembali bergetar, menyala dan berkobar menggairahkan pewacanaan dalam semesta Seni Patung modern Bali dan Indonesia.
Spirit modernitas Seni Patung Bali tidak lepas dari semangat pembaharuan yang giat terjadi pada masa Pita Maha yang mencatatkan nama-nama maesto Seni Patung modern Bali seperti Cokot, Nyana, Pendet, Tilem, dll. (Adnyana, 2018: 170). Memunculkan mazhab Seni Patung modern di pedesaan seperti, Ubud, Nyuh Kuning, Mas, Blahbatuh, Tegalalang, Sukawati, dll. Modal tradisi yang kental bercumbu dengan atmosfer modern yang dinamis melahirkan ragam keistimewaan Seni Patung pada masa itu.
Hal itu juga tampak terasa terjadi pada geliat Seni Patung dalam tubuh SDI. Merupakan buah dari pergumulan yang mesra, spirit Bali yang ada dalam diri seniman, dengan konsep-konsep anyar yang diperoleh dalam lingkungan akademik (STSRI “ASRI” / ISI Yogyakarta), maupun dalam iklim intern dan ekstern SDI (Bakti Wiyasa, 2013: 53-55). Berbekal jiwa tradisi Bali, dan menempa diri dalam nuansa akademik seni modern, meretaskan pamor Seni Patung yang dinamik dalam tubuh SDI.
Pada kesempatan kali ini, SDI memberikan ruang khusus kepada seniman patung untuk menunjukkan diri dengan ragam karya mereka. Para anggota SDI yang disertakan dalam pameran ini merupakan mereka yang secara akademis memang memilih dan berkecimpung dibidang Seni Patung. Mereka terdiri dari seniman-seniman patung lintas generasi, dari angkatan 80an, 90an, dan 2000an.
Foto: Karya patung I Wayan Gawiartha
Generasi awal para seniman patung SDI, menampakkan kecendrungan, keasyikan menggunakan bahan kayu dan menerapkan teknik pahat. Eksotika dan kemagisan kayu yang demikian kuat dalam tradisi Bali, menghadirkan pengaruh dan energi yang dominan, mendorong lahirnya bentuk-bentuk patung berbahan kayu yang dipresentasikan secara modern. Eksplorasi dan inovasi yang menjadi spirit modernitas, memacu lahirnya karya-karya individu yang berkepribadian.
Karya I Made Cangker dan I Made Supartha, mencoba menawarkan langgam baru dalam Seni Patung modern Bali. Karya I Made Cangker menampakkan persentuhan dengan nuansa suryalisme, menghadirkan suatu susunan bentuk-bentuk geometri, yang mengarahkan benak membayangkan wujud figur-figur abstrak, imajinatif dan mistik.
I Made Supartha menghadirkan karya patung dengan langgam naratif, dikerjakan dengan teknik pahat yang cakap, terwujud atas susunan sejumlah figur yang saling bertalian, berinteraksi menggambarkan suatu kondisi atau adegan dari suatu kisah cerita. Seni bercerita sebagai tradisi tua yang menjiwai kesenian di Bali, oleh I Made Supartha dihadirkan kembali melalui karya patung modern.
I Wayan Suardana “Tulu” tampak membebaskan imajinasinya untuk menyelami potensi rupa yang terkandung dari material kayu. Dia menghasilkan karya yang bertumpu dari alunan energi alam yang tergurat dalam alur material kayu, dan diramu dengan sangat piawai melalui sejumlah sentuhan ornamen yang dipahat untuk memunculkan imaji terpendam.
I Ketut Selamet tampak menikmati penyusunan komposisi yang menyandingkan bidang halus dan berstektur. Kekontrasan ini menjadi komposisi yang saling melengkapi antara objek atau figur dengan guratan-guratan garis repetitif, yang menimbulkan kesan gelombang bergerak atau arus yang mengikat dan membelenggu.
Kekaguman terhadap karakter bahan kayu terus mengalir mewarnai karya-karya di setiap generasi SDI. Mereka menghadirkan karya-karya yang berpijak pada sensibilitas terhadap kandungan pamor dan bentuk alami bahan. Tradisi ini menjadi satu keistimewaan dari Seni Patung modern Bali.
Pande Wayan Mataram menampilkan karya patung yang mencoba melampaui karakter material kayu. Kayu yang terkesan kaku dan datar, dihadirkan dengan bentuk-bentuk geometri yang mencitrakan kesan lentur, lembut atau runcing, dipadukan dengan penampakan sosok atau figur yang merepresentasikan imaji.
Wayan Sukanada menghadirkan karya patung berbahan kayu yang dipadukan dengan sistem mekanis robot. Objek-objek alami yang dipresentasikan dalam karya patungnya menampilkan ekspresi yang seolah-olah ditata melalui suatu struktur mekanis.
Eksplorasi terhadap bahan tampak semakin menguat pada generasi selanjutnya. Bahan resin dan logam menjadi pilihan bahan yang moderat, mampu diolah dalam berbagai capaian rupa yang diinginkan. I Made Sucara cukup menikmati berkreasi dengan bahan ini, melahirkan karya-karya dengan kecendrungan realis dan detail yang tinggi.
I Wayan Upadana menawarkan warna yang lebih variatif dalam geliat Seni Patung modern dalam tubuh SDI. Bahan resin yang cukup pleksibel mengantarnya pada penjelajahan rupa yang tidak terbatas. Karya Upadana, mempertemukan aneka simbol-simbol dan idiom-idiom rupa klasik, modern dan popular dalam suatu konfigurasi yang khas, menggugah dan kritis.
Gusti Ngurah Udianata yang pada awalnya berangkat dari tradisi pahatan kayu, kemudian menemukan keasyikan bergelut dengan anyaman bambu. Tradisi menganyam yang begitu lekat dengan keseharian masyarakat Bali, di mata Udianata tampak begitu potensial untuk dikembangkan dan diterapkan untuk melahirkan karya patung modern. Karya-karyanya memperlihatkan kemegahan melalui kerumitan anyaman dan capaian detail yang mengesankan.
I Wayan Gawiartha tampil dengan gaya presentasi patung yang sangat khas. Menjelajahi aneka bahan yang tidak biasa, seperti karung goni, kain perca, benang hingga tali diolah, dijahit, dirajut menjadi ragam mode busana dan dibekukan dalam gerak dan gestur yang ekspresif. Karyanya menyiratkan nuansa kontemplatif.
I Made Gde Putra, gemar bereksplorasi dengan beragam material. Kayu, logam, karet, kertas, plastik, adalah medium yang memacu gairah untuk berkarya. Patungnya tampil memikat, melalui pemahaman terhadap karakter serta keunggulan artistik bahan yang digunakan. Pilihan terhadap jenis bahan dihadirkan juga untuk menyokong dan menguatkan konsep dan impresi yang ingin diungkapkan.
Foto: Karya patung Gusti Ngurah Udianata
Tradisi Seni Patung di Bali telah membentang jauh, terpaut indah dengan nuansa jaman. Semuanya tersaji berdampingan, bersanding menyemaikan ragam keistimewaan, mengalirkan energi kreativitas yang tak terhingga. Setiap masa mengalirkan kecendrungan karya yang beragam. Hal ini juga terekam melalui geliat Seni Patung dalam tubuh SDI.
Setiap generasi dan seniman menghadirkan presentasi, kecendrungan dan daya pikat yang berbeda, namun jika didalami terasa ada satu alunan jiwa yang bertalian. Seperti alunan kisah I Tegalan kala bertemu dengan Walter Spies, melantunkan tembang rupa sederhana namun mengumandangkan kekokohan jiwa dan spirit yang dinamis, mengalir menggeliat dalam aneka haluan jaman. [T]
Pustaka:
- Adnyana, I Wayan. 2018. Pita Maha: Gerakan Sosial Seni Lukis Bali Tahun 1930-an. Jakarta: KPG.
- Bakti Wiyasa, I Made. 2013. “43 Tahun Sanggar Dewata Indonesia Menembus Generasi”, dalam I Gede Arya Sucitra, ed. Narasi Sanggar Dewata Indonesia. Yogyakarta: Sanggar Dewata Indonesia Yogyakarta.
- Rhodius, Hans, & John Darling. 1980. Walter Spies and Balinese Art. Amsterdam: Tropical Museum.