Rosetta membanting pintu dengan keras dan keluar berjalan terengah-engah, melewati sekian pintu, sekian pintu, dan sekian pintu lagi. Hentakan kaki yang datang dari sepatunya seperti menjelaskan kemarahan dalam benaknya. Mengenakan seragam buruh pabrik berwarna putih, dan shower cap yang putih transparan sampai memperlihatkan sedikit kecemerlangan rambut mudanya, ia memergoki rekannya seraya bertanya dengan nada yang intimidatif : “Kau bilang aku selalu telat?”, “Benarkah?”, “Kenapa kau bilang dia yang mengatakannya?”. Lalu sang manajer yang ada di tengah kecekcokan itu menjawab “Bukan karena itu kau dipecat.”
Awalan di atas selain membuka tulisan ini juga membuka film Rosetta (1999), buah tangan dua sutradara ulung asal Belgia, Luc & Jean-Pierre Dardenne. Enggan bermuluk-muluk, dua bersaudara itu menampilkan sinema yang jujur tentang bagaimana dunia menampakkan sketsa wajah muram, tak ramah, krisis senyuman (bahkan absen), yang kita dapatkan dalam jurang mata Rosetta. Hadir dengan gaya neorealis, one take yang menakjubkan, dan handheld kamera di sepanjang film. Membuat perwujudan kekacauan serta kekalutan di setiap gerak Rosetta yang ekspresif semakin kentara.
Film Rosetta (1999) sangat jauh dari kata “kebahagiaan”, serta begitu paradoks dari film-film semacamnya, yang selalu saja masih melahirkan wajah baik dunia di tengah-tengah kekejamannya. Film ini tak memberikan ruang bagi kita untuk bernafas sejenak, menghirup makna dari jerih payah sang tokoh utama untuk bisa mengisi perutnya yang kosong melompong. Ditambah lagi keterjepitannya oleh seorang ibu alkoholik, yang siap bercinta dengan lelaki manapun dengan imbalan sebotol Martini, yang harus ia rawat dan beri nafkah.
Akibat ia dipecat dari pekerjaan sebelumnya, di sebuah pabrik, Rosetta harus berjuang lagi untuk menemukan pekerjaan di tengah kecamuk perutya yang bisa kapan saja kambuh. Saban hari, gadis muda itu harus melawan mag yang datang dengan sebutir obat, dan juga dengan cara pribadinya (menggunakan hair dryer di atas perutnya sambil berbaring). Itu salah satu kesulitan dari sekian banyak kesulitan yang ada di kedua bahu gadis muda itu.
Tak kunjung mendapatkan pekerjaan, Rosetta terpaksa harus menjual semua pakaiannya, dan hanya menyisakan dua baju hangat, satu dengan warna merah mendominasi, satu berwarna hitam dengan garis bordir biru, satu rok mini, dan satu celana panjang, yang akan selalu ia pakai di sepanjang film. Luc & Jean, sang sutradara, menyodorkan dialog-dialog di setiap adegan yang bisa kita catat dengan hitungan jari. Namun itu yang menjadi keyakinan kita para penonton, betapa Luc & Jean, berhasil menggali perkembangan karakter Rosetta hanya lewat gerak, mata, emosi, bahkan nafas, dan wajah simpati para pemeran pendukung.
Di sini, Luc & Jean seperti menegaskan kembali, bahwa Rosetta (1999) datang kepada kita bukan untuk kita serap sari patinya, atau berlagak bijaksana mengambil makna apa yang terkandung di dalamnya. Begitu jauh dari itu, Luc & Jean lewat Rosetta (1999) hanya meminta kita cukup menguntit pertempuran demi pertempuran seorang gadis muda dengan dunia kejam yang menganiaya dirinya.
Rosetta, gadis cantik yang seharusnya bangun pagi untuk mengenakan seragam sekolah, dan belajar dengan nyaman bersama teman-temannya di kelas. Malah mengakselerasikan dirinya menjadi sosok “ibu & ayah” untuk ibunya sendiri. Gadis itu bangun pagi di sebuah karavan sempit yang ia tempati bersama ibu alkoholiknya (kejam rasanya untuk kita sebut itu adalah tempat tinggal), lalu mengenakan baju hangat, rok mini, stoking panjang, serta tas selempang biru tua, dan pergi menyusuri jalan-jalan besar di bawah langit Belgia yang indah.
Dunia, yang kita rayakan sewaktu kecil dan masa remaja dengan menyenangkan, tertawa lepas, bermain-main dengan teman sana sini, dan suasana harmonis keluarga, nyatanya tak bisa ikut dirayakan juga oleh Rosetta. Gadis itu terjebak dengan bayang-bayang kelaparan, serta ketidakpedulian masyarakat. Dan dalam matanya yang gemetar, begitu yakin bahwa dunia adalah neraka yang sebenarnya. Namun uniknya, ia masih menyimpan cita-cita yang selalu diutarakan sebelum tidur, berharap semua itu akan terjadi suatu hari nanti:
- Namaku Rosetta
- Kau mendapatkan pekerjaan
- Kau mendapatkan teman
- Kau punya kehidupan normal
- Kau tak akan gagal
- Selamat malam
Catatan di atas adalah daftar dari cita-cita Rosetta. Jauh dari bagaimana kita membayangkan cita-cita dalam pikiran kita pada masa remaja. Bahkan kalau kita lihat lagi daftar cita-citanya, itu adalah apa yang sekarang ini kita dapatkan. Tentu aneh ketika melihat catatan di atas adalah bagian dari cita-cita. Namun dalam kehidupan Rosetta, itu lebih berharga dibanding keinginan seorang remaja yang hidup di keluarga kaya menginginkan smartphone edisi baru. Rosetta hanya ingin mendapatkan pekerjaan, mendapatkan teman, ia berkeinginan hidup normal sebagaimana orang-orang seumurannya, dan bisa tertidur pulas dengan nyaman tanpa dihantui pikiran-pikiran ingin makan apa dan ke mana lagi harus mencari pekerjaan esok hari.
Maka tak heran, film Rosetta (1999) mengantongi penghargaan tertinggi, Palme D’or, dalam Festival Cannes 1999 lalu. Mengalahkan kekuatan dari sutradara Spanyol, Pedro Almodovar, lewat film terbaiknya, Todo Sobre Mi Madre. Dan film The Straight Story, karya sutradara kondang, David Lynch. Tak hanya Palme D’or, Film Rosetta (1999) juga ikut memberikan kesempatan bagi sang tokoh utama Emilie Daquenne (Rosetta), yang kala itu masih berumur 18 tahun untuk mengisi ruang kosong di lemari kamarnya, dengan penghargan Aktris Terbaik Festival Cannes 1999.
Segala macam penghargaan dan komentar positif datang dari para juri untuk cara pengemasan film Rosetta (1999) kepada Luc & Jean, bukan berarti film ini lenyap dari kritik negatif. Sebagian kritikus terkejut karena Rosetta (1999) membawa pulang Palme D’or pada tahun itu. Padahal mereka mengatakan dengan tegas bahwa Rosetta (1999) terlalu pesimistis untuk menjadi sebuah film, dan tidak lugas dalam mencapai klimaks penceritaan. Namun entah kenapa komentar-komentar itu dapat saya kesampingkan, karena kekaguman saya terhadap gaya neorealistik dalam film tersebut, yang bisa dibilang sudah jarang nongol di kaca-kaca perfilman dunia. Dan saya menyetujui serta menganggap langkah juri tepat untuk memberikan penghargaan tertinggi tersebut kepada Rosetta (1999).
Malahan, saya punya komentar yang lain, kritikan pribadi yang saya ingin sampaikan di sini. Dari kacamata saya sendiri, ketika melihat film Rosetta (1999), agak sedikit terganggu dengan beberapa adegan yang tak memiliki kontinuitas cerita dengan jalur utama. Misalnya dalam adegan setiap pulang dari mencari pekerjaan atau sehabis kerja, Rosetta selalu lewat jalur yang memutar, hingga sampai ke hutan semak di belakang taman karavannya, lalu mengganti sepatunya dengan sepasang sepatu bot yang selalu ia simpan di pipa beton berukuran setengah meter.
Tidak hanya kegiatan melewati hutan dan mengambil sepatu bot yang disimpannya di pipa beton berukuran setengah meter. Luc & Jean juga memaksa kita melihat Rosetta menggali tanah di samping karavannya, dan mengambil cacing sebagai umpan. Lalu pergi memancing di sungai yang terletak antara taman karavannya dan hutan semak dengan lakon tergesa-gesa. Anehnya, Bukannya membawa pulang ikan yang didapatkannya, Rosetta malah mencabut kail yang menjerat mulut si ikan lalu melepaskannya lagi ke sungai.
Dan saya menolak untuk mengakui apakah saya mengerti atau tidak dengan adegan-adegan yang telah disebutkan di atas. Karena bagi saya tetap saja adegan yang ditampilkan Luc & Jean tersebut, tidak memiliki kontinuitas cerita yang ‘sangat’ berarti dengan motivasi penceritaan filmnya, yang hanya berkutat di lingkaran kehidupan pahit tokoh utama untuk betahan hidup. Saya lebih suka bila adegan seperti itu tidak ditampilkan, ketimbang mubazir alih-alih sebagai batu loncatan.
Jadi, dari pada menyisakan tanda tanya bagi para penonton, terhadap adegan-adegan yang saya anggap tidak berguna sama sekali. Lebih alangkah bagusnya bila menggali lagi latar belakang sosok ibu yang alkoholik lewat dialog, atau bermain-main dengan ranah psikologis sang tokoh utama. Sehingga lengkap dan terkesan lebih padat rasanya untuk kita para penonton mengetahui, bersimpati, serta lebih merasakan emosi yang bergejolak di kedua pipi merah Rosetta. Namun di luar dari kritik bodoh saya di atas, Rosetta (1999) adalah film yang sangat luar biasa tajam, luar biasa nyata.
Di sini, saya juga ingin meminta sedikit ruang untuk menyampaikan sedikit juga dari pikiran saya yang sedikit ini (meski nantinya tidak ada yang mempedulikan). Sepanjang ratusan atau mungkin ribuan film yang sudah saya tonton. Saya sangat yakin bahwa keutamaan dalam menciptakan film yang benar-benar baik, adalah terletak pada bagaimana naskah itu diperlakukan dan seberapa kuatnya naskah itu bercerita. Entah dengan dialog yang minim, ataupun dengan dialog yang sangat banyak. Yang terpenting, naskah tersebut jelas arahnya dan tajam perkembangannya. Selebihnya pengemasan yang berbeda dan lain-lain hal.
Sebagai contoh: Quentin Tarantino menciptakan Pulp Fiction dengan berjuta-juta omong kosong di dalamnya, tapi manipulasi terhadap plot yang tercatat di dalam naskah sangatlah kuat dan tak kabur ke mana-mana. Dan apa yang dihasilkan film tersebut? Palme D’or tahun 1994. Nuri Bilge Ceylan lewat Winter Sleep, drama yang membosankan tetapi secara padat menjelaskan kesenjangan sosial dan ketakberdayaan masing-masing kelas. Apa yang didapatkannya? Palme D’or 2014. Dan Rosetta, miskin kata-kata, hampir semua gejolak diwakilkan oleh raut wajah. Apa yang didapatkannya? Palme D’or 1999. Itu alasan kenapa saya sekali lagi yakin bahwa naskah adalah kekuatan untuk melahirkan film yang baik. Bukan sinematografi yang jernih dan memukau, atau CGI yang melempar kita kepada imajinasi, apalagi menggebu-menggebu akan penggunaan artis-artis yang sedang naik daun. [T]