Upacara Mekare-Kare adalah sebuah tradisi ritual di Desa Tenganan Pagringsingan, Kabupaten Karangasem, sebuah ritus pemujaan kepada Dewa Indra yang dipercaya sebagai manifestasi Tuhan sebagai Dewa Hujan.
Desa Tenganan Pagrinsingan, masuk salah satu desa tua di Bali dan desa ini disebut Bali Aga. Upacara Mekare-kare dilakukan setiap sasih kelima kalender Tenganan yang berkaitan dengan tradisi sambah muran, yang berlangsung pada akhir bulan Juni atau awal Juli.
Upacara ini tak luput disaksikan oleh para gadis di atas Bale Petemu Tengah tempat prosesi Perang Pandan. Mereka berias menggunakan kain pegrinsingan sebagai kain khas Desa Tenganan. Grinsing adalah kain yang diyakini sebagai kain penolak bala. Grin artinya sakit dan sing berarti tidak. Jadi Grinsing berarti penolak sakit. Kain ini merupakan simbol Tuhan.
Foto: Prosesi “Melelawang” | Dokumentasi I Nyoman Mariyana, Tahun 2022
Upacara Mekare-kare dilakukan oleh para laki-laki Tenganan, baik anak-anak maupun dewasa. Mereka yang naik ke Bale Petemu Tengah, tempat pertunjukan Perang Pandan harus membuka baju.
Tahun ini upacara Mekare-kare dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2022. Mekare-kare atau perang pandan dimulai pukul 13.30 Wita. Sebelumnya dilakukan acara ngunya desa “melelawang”, yakni upacara berkeliling desa selama 2 kali putaran. Kegiatan “melelawang” diikuti oleh pemuda desa, dan krma desa Banjar Pande dan juga krama adat Tenganan lainnya dengan membawa atribut upakara ritual. Upacara ini dimulai pukul 12.35 Wita yang diiringi dengan tabuh gamelan Baleganjur.
Foto: Prosesi “Melelawang” | Dokumentasi I Nyoman Mariyana, Tahun 2022
Upacara Mekare-kare ini diiringi dengan gamelan Selonding. Salah satu gamelan Bali yang tergong tua. Kata Selonding, itu sudah ada pada zaman kerajaan Kediri di Jawa Timur pada abad XI tercantum pada lontar Kakawin Bharatayuddha (Tusan, 2001:17).
Menurut penuturan I Putu Suardana, turunnya gamelan Selonding terdapat 3 bilah sebagai penganugrahan dari Hyang Maha Kuasa, 1 bilah gong, 1 bilah petuduh, 1 bilah nyongnyongan. Gamelan Selonding Tenganan sangat disakralkan. Mereka memuja Ratu Bagus Selonding sebagai dewa yang berstana di gamelan Selonding.
Gamelan Selonding sakral Tenganan tidak boleh dipegang oleh siapapun, kalau itu terjadi harus dilakukan upacara pembersihan dengan sarana upakara. Begitu juga para pemainnya. Penabuh Selonding ini terpilih dan dipilih oleh Klian Desa. Penabuhnya adalah kaum laki-laki, yang tidak mengalami kelainan fisik (Wawancara dengan I Putu Suardana, 47 tahun). Regenerasinya dilakukan oleh senior ke junior. Mereka belajar Selonding dengan gamelan Selonding duplikat dari Selonding sakral Tenganan yang ditempatkan di Bale Musium sebelah utara.
Mereka yang sudah dianggap mampu bermain Selonding akan dinobatkan menjadi penabuh Selonding inti yang menabuh saat upacara Mekare-Kare (Perang Pandan) dengan perangkat Selonding sakral yang ada di Bale PetemuTengah. Gamelan Selonding Tanganan hanya digunakan untuk mengiringi tari Mekare-kare dan iringan Tari Rejang.
Tabuh pembuka dimainkan gending Geguron yang hanya dimainkan oleh 4 orang, di instrumen peneman, petuduh, Gong ageng dan gong Alit, sebagai pokok, dan instrumen Nyongnyongan bisa main bisa tidak. Gending Geguron sangat disakralkan oleh masyarakat Tenganan. Gending ini tidak boleh di rekam oleh siapapun. Tabuh ini hanya boleh dimainkan oleh pemain Selonding Tenganan saja.
Selanjutnya lagu kedua mulai dimainkan gending Mekare-kare sebagai musik iringan ritual Mekare-kare atau Perang Pandan/Megeret Pandan dengan iringan Selonding menggunakan saih Puja Semara Ageng (nada ding di sadi menjadi deng). Mekare-kare atau Perang Pandan/Megeret Pandan, perang dengan mempergunakan daun pandan berduri sebagai senjata dan tameng atau alat untuk menghindari serangan lawan. Pandan berduri menurut keyakinan Hindu, adalah salah satu sarana penolak bala. Sarana ritual ini digunakan juga pada upacara lainnya.
Foto: Prosesi Mekare-Kare (Perang Pandan) | Dokumentasi I Nyoman Mariyana, Tahun 2022
Pada prosesi Mekare-Kare/Perang Pandan, ada strategi yang dimainkan. Tangan kiri selain memegang tameng, juga difungsikan untuk menjepit tangan lawan sehingga tidak bisa menggeretkan pandannya ke badan lawan. Tangan kanan memegang pandan berduri yang sembari menggeretkan pandan di tubuh lawan. Tak jarang, duri pandan pun tertancap jelas di badan pemainnya. Akan tetapi, diantara meraka, tidak terlihat rasa sakit. Ekspresi mereka terlihat kegirangan. Mereka bangga dapat melakukan tradisinya. Sebuah tanda keiklasan dari persembahan yang mereka persembahkan. Kesetiaan pada Hyang di puja dan sujud bakti kepada tanah kelahiran dan dewa yang dipuja.
Mereka adalah pewaris tradisi yang mempunyai tugas dan tanggung jawab akan keberlangsungannya di masa depan. Hujan turun rintik-rintik. Turunnya hujan ini disambut kemeriahan dan keberkatan dari Dewa Indra.
Secara visual ritus ini mengandung pesan bahwa, generasi penerus Tenganan dipersiapkan untuk melanjutkan kehidupannya. Keberanian, menjadi hal terpenting dalam menjalankan hal apapun. Tidak ada dendam tersirat. Keteguhan hati, kontrol diri, dan bersahaja merupakan nilai yang dapat diambil.dari ritus Mekare-Kare ini.
Gending ketiga dimainkan gending Nyanjangan dengan saih nada Selonding ding di saih sadi menjadi dang. Panggung pun roboh ketika Perang Pandan berlangsung kurang lebih dalam durasi 1 jam. Upacara jeda, dikarenakan kondisi panggung yang roboh. Semangat yang menggebu- gebu dari para pemain Perang Pandan pun menjadi spirit rirual ini. Gending ke empat dimainkan gending Rejang Renteng sebagai gending penutup prosesi Perang Pandan. [T]