Di parade selalu ada seorang ibu bersama tiga orang anaknya, duduk di bawah pohon, berteduh. Ada seorang pedagang es menjajakan minumannya, ia membawa es berwarna kuning, putih, ungu dan berbagai warna lainnya. Ada sekelompok polisi dan tentara sedang mengatur penonton, sekelompok fotografer tengah asik memburu momen. Tentu saja para peserta parade dengan riasan yang super duper wow, bersiap-siap untuk berjalan. Mereka duduk, mengobrol, merokok, kalau ada yang meminta foto, mereka akan berpose memberi kesempatan pengunjung untuk mengambil foto dirinya.
“Yen, sekali foto 5 ribu, meh be liu san maan bati uli tuni to (kalau sekali foto 5 ribu, sudah banyak dapat untung dari tadi),” ujar seorang kawan yang saya temui di sana, bersama rombongannya mewakili kontingen Kabupaten Jembrana dalam Parade Pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB)– XLIV, di Jalan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Minggu 12 Juni 2022.
Dari pukul 13.00 Wita sampai pukul 17.00 Wita, saya mengikuti parade. Saya berkeliling dari satu titik ke titik lainnya. Hanya berjalan-jalan sambil membawa alat perekam dan sesekali mengabadikan gambar. Ramai banget warga menonton, apalagi di dekat podium kehormatan. Mereka duduk, di bawah pohon bersama keluarga, bersama teman, atau bersama kekasihnya. Di tengah keramaian dan kehiruk pikukan itu saya memperoleh beberapa catatan yang menarik, saya ingatkan lagi catatan ini sangat bersifat subjektif, dari sudut pandang saya sebagai warga kota yang suka jalan-jalan.
Turis saat parade pembukaan PKB | Foto: Jong
Pertama, PKB 2022 yang hampir keseluruhan acaranya dilaksanakan secara langsung, merupakan satu bentuk euforia yang ditunggu-tunggu warga. Mengingat selama 2 tahun terakhir pandemi, warga kangen ramai-ramai, kangen menyantap lumpia, es kelapa muda di lapangan sambil melihat sajian kesenian secara gratis. Keramaian di parade merupakan satu kebangkitan bersama untuk kehidupan di Bali, apalagi di beberapa titik pariwisata di Bali sudah terlihat aktifitas para guide, agen wisata dan turis yang memenuhi pedestrian. Ah senang, hidup akan kembali lagi.
Saya membayangkan semua agen pariwisata memberi porsi lebih ke PKB, menjadwalkan perjalanan tamunya untuk mengunjungi Art Centre secara massive. Tentu ini menjadi baik, orang-orang setidaknya akan memposting video, foto, terkait PKB. Dapatlah marketing secara gratis lagi. Lintas dunia maya dan lintas benua. Seperti kita, yang biasanya dapat es kopi gratis dari kedai kopi baru yang sedang promo, jika kita posting kopi plus dengan kalimat menarik. Semacam “Ayo ke kedai kopi tempo, kopinya enak, cocok untuk mengawali hari” kemudian isi hastag #kopidenpasar #kopihot #kopisusu dan lain sebagainya.
Para turis dan tamu juga diharapkan demikian lah ya, usai menonton lalu posting isi kalimat dan hastag. “Come on enjoy in PKB” #Baligood #artinBali #Performingartlove #lovebali dan lain lain.
Kedua, ada satu spesies manusia di parade yang saya jumpai. Spesies ini pongah – etnosentris terhadap kesenian wilayahnya. Biasanya spesies ini berupa bapak-bapak, dengan hape lengkap berstabilizer ala-ala, semacam tongsis. Saya menemukan spesies ini di setiap kontingen, karena saya sempat diam di satu titik lalu melihat setiap kontingen lewat dengan barisan paradenya. Bapak-bapak spesies ini selalu hadir di tengah barisan, menerobos para penari, memasuki celah sempit pemain gambelan, serta dengan sengaja mendekatkan kameranya ke arah pemain atau penari.
Ia tidak menghirauan barisan akan amburadul, atau penari akan singkuh, yang paling penting hapenya itu merekam dengan jelas.
Saya mulai berspekulasi aneh-aneh, mungkin ada satu alasan yang sangat mendorong keiinginan bapak itu. Mungkin saja dia bertugas menyiarkan aktifitas parade untuk warga kabupaten yang tidak bisa datang ke Kota Denpasar. Jadi bak reporter profesional bapak spesies ini merekam dengan cekatan, ia takut kehilangan momen sedikitpun. Bila perlu (jika diizinkan) pastilah dia naik ke panggung dengan pongah, untuk merekam statemen Mendagri.
Tanggung jawab moralnya tinggi, dedikasinya jangan dipertanyakan, ia mampu menembus barikade tentara atau polisi yang sedang mengarahkan warga untuk membuka jalan. Saya saja beberapa kali ditegur, tapi karena melihat saya memakai nametag Media dengan desain PKB, saya tidak jadi ditertibkan, dan dipersilahkan untuk berjalan. Lain dengan bapak – bapak yang tadi saya ceritakan, dia memiliki wewenang penuh atas langkahnya sendiri. Sing ngeruang nyen pokokne, yang penting grup WA banjar, atau group WA keluarga, atau Group WA sanggar mendapat kirimin update-an terbaru dari kota.
Peserta parade PKB menunggu giliran | Foto: Jong
Ketiga, paradenya tidak isi fragmen seperti PKB sebelum-sebelumnya. Saya melihat hanya kontingen ISI Denpasar sebagai pembuka, yang mempertunjukan fragmen cerita di depan podium kehormatan. Sementara kontingen lain hanya berjalan begitu saja. Tapi ada satu kontingen yang memodifikasi terma fragmen dengan aturan yang hanya boleh berjalan itu, yaitu kontingen dari Kabupaten Jembrana. Mereka menunjukan pementasan singkat, tapi tidak diam, melainkan sambil tetap berjalan.
“Iya strateginya agar tetap ada satu adegan, tapi tidak diam. Makanya ada tangga yang berjalan, itu untuk mensiasati agar tokoh yang berbicara tidak diam, tapi jalan bersama tangga bergerak,” ujar Putu Arista, koreografer muda yang mendapat kesempatan untuk menggarap tari dari kontingan Jembrana.
Wah saya takjub atas idenya itu, pintar juga mencari celah aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah. Sebab saya mendengar desas-desus, kalau ada fragmen pasti setiap kontingen melebihi waktu yang sudah ditentukan, sehingga parade berlangsung lama, sementara acara pembukaan di Art Centre harus segera dilaksanakan. Daripada daripada, akhirnya tidak diadakan fragmen saat parade.
Selain itu kontingen Jembrana melakukan fragmennya dua kali. Pertama di depan podium, keduanya di perjalanan menuju akhir, sebelum kantor DPR kalau saya tidak salah ingat. Ini penting untuk saya sampaikan, karena orang-orang yang tidak punya kedudukan tinggi, jabatan, tidak punya koneksi, tidak memiliki undangan khusus untuk duduk di podium utama, memiliki juga kesempatan melihat garapan. Nah contohnya manusia seperti saya ini, yang bukan termasuk orang penting, kan bisa lihat juga, nanti – di akhir.
Peserta parade PKB menunggu giliran | Foto: Jong
Saat tahu Jembrana akan menampilkan fragmennya menjelang akhir, orang-orang langsung berkumpul, untuk melihat. Ada yang siaga dengan gawainya, ada yang terkesima menonton sambil menggendong anaknya, ada yang berbisik-bisik berkomentar dengan temannya.
“Kami kurang puas saat di depan podium, jadi diulang sebelum akhir, udah jauh-jauh ke Denpasar, kan sekalian sajalah,” ujar Putu Arista, saat saya jumpai usai parade.
Parade selesai, orang-orang bergegas pulang, atau langsung menuju Art Centre untuk menonton pembukaan. Saya sendiri melengos pulang ke rumah, tiba-tiba ada pesan WA di gawai :
Mama : Kamu lagi di PKB kan, foto dong penarinya.
Lalu saya teringat bapak-bapak spesies unik yang saya ceritakan di atas, memang keberadaannya cukup penting, bagi orang-orang seperti mama saya. Ada demand – ada barang! [T]