Saya tahu Mang Srayamurtikanti akan bermain di Desa Potato Head (POHE) – Seminyak, Kuta, Badung, Bali, pada Minggu, 15 Mei 2022. Dari beberapa hari lalu, saya hendak datang untuk menonton garapannya. Entah kenapa ini kali kedua dia bermain di POHE dalam waktu yang berdekatan.
Jeg lais sajan seniman muda besik nto.
Mang Sraya panggilannya adalah seorang komposer musik tradisional Bali, ia berasal dari Celuk – Gianyar. Desa penghasil kerajinan perak yang cukup terkenal di dunia pariwisata Bali.
Pukul 17.00 Wita, Agha Praditya vokalis band Rollfast mengontak saya, ia mengajak menonton Mang Sraya bersama, dan istrinya juga turut serta. Saya pun mengiyakan ajakan itu. Di sepanjang jalan kami berspekulasi atas garapan Mang Sraya sebelumnya, serta garapan karya untuk S2nya yang pernah kami bincangkan bulan lalu.
Dalam asumsi-asumsi ideal kami tentunya, tentang politik ruang, karya yang beranjak dari satu tradisi, serta hal-hal kemungkinan yang sering Mang Sraya lakukan. Seringkali, karyanya penuh kejutan, terutama bagi saya yang terbiasa melihat musik Bali di banjar, di pura, di sanggah, atau pada upacara tertentu.
Tentu memori ingatan saya mengacu atas apa yang saya lihat dan dengar, dalam hal ini beririsan dengan alat musik yang Mang Sraya gunakan.
Pentas musik Garapan Mang Srayamurtikanti di Desa Potato Head (POHE) – Seminyak, Kuta, Badung, Bali | Foto: Adhitya Pratama
Satu yang menarik di ingatan saya, saat Mang Sraya bermain di Joyland x Ravepasar 2022. Mang Sraya menyeret gongnya di lantai, mengitari Ambruk Stage, menghasilkan bunyi yang asing di telinga. Ia perlakukan gong sesantai itu, tidak seperti kawan-kawan saya yang suka megambel, harus hati-hati, harus dikultuskan sebagai gong yang sakral.
Di tangan Mang Sraya Gong seperti sebuah keranjang yang diseret oleh tukang sapu di pasar Kumbasari, diseret bagai sebuah benda tanpa nilai kebudayaan. Kalau ayah saya menonton, mungkin ia akan pergi begitu saya dari ruang pentas itu. Mungkin saja..
Rupanya di Desa POHE, sudah siap dekorasi seperti menyambut Galungan yang akan datang sebentar lagi. Deretan penjor menyambut kami, hiasannya terbuat dari daun lontar, dengan pendaran lampu berwarna merah pada bagian lengkung, dan kain prada mekrenyep di bambu bagian bawahnya.
Dari pintu masuk, hingga stage utama – dekat pantai, penjor menaungi kami. Pemedek mancanegara sudah mengelilingi panggung, saya nyelip di antara pemedek yang hidungnya mancung-mancung itu, yang satu tangannya sebagian besar membawa gelas atau botol minuman, entah soda, biir, wine, atau minuman racikan cocktail.
“Jong harusnya ada kocokan ini yah, atau bola adil,” kata Agha berbisik.
“Sajan nok, pis ne dolar pasti ne, gambar-gambar di kocokan ne harus ganti, bendera-bendera negara gen asane lung,” kata saya menimpali.
Pentas musik Garapan Mang Srayamurtikanti di Desa Potato Head (POHE) – Seminyak, Kuta, Badung, Bali | Foto: Adhitya Pratama
Setelah pertunjukan musik, Mang Sraya dan tiga perempuan lainnya berdiri di pinggir stage utama. Stagenya seperti kolam berenang berbentuk oval. Saya melihat mereka dari sisi seberang. Mereka membawa kendang yang diselempangkan di bagian depan, serta 1 ceng ceng yang diikat pada tali kendang.
Mereka mulai memainkan kendang secara bersamaan, dalam komposisi yang rapi, tertata, dan nampaknya penuh perhitungan. Saya tahu Mang Sraya sering membuat orat-oretan komposisi, atau grafis komposisi, pada setiap karyanya. Hal yang jarang dilakukan oleh kawan saya yang suka megambel di banjar. Sebab menulis partitur kan biasanya hanya dilakukan oleh komposer barat.
Mereka tidak diam, sambil berjalan ke arah kami bertiga, ia memainkan kendangnya sesekali juga memukul ceng-ceng. Lampu penerangan juga ditata sedemikian rupa, agar kehadiran Mang Sraya diperhatikan oleh penonton.
Akhirnya ia berhenti pada setting yang sudah siap di belakang saya. Ada 4 gong, sepasang selonding, dan instrument tambahan lain. Komposisi ini berkolaborasi dengan seorang penari perempuan bernama Nanda. Nanda hadir sebagai laku tubuh untuk menguatkan tujuan kompisisi Mang Sraya. Sesekali tubuh itu meliuk seperti lambaian daun bambu yang diterpa angin, matanya membelalak galak, kemudian tersenyum jenaka sambil memandang penonton.
Komposisi musik Mang Sraya tetap berlangsung, dengan lantunan dan arah yang tidak pernah saya duga. Pada satu lantunan bisa-bisanya ada jeda, bisa-bisanya berhenti tanpa mencapai klimaks kemudian berlanjut pelan. Tubuh Nanda tampak terjaga pada kemungkinan musik itu atau memang Nanda sudah menghafalnya saat latihan. Musik beralih dari satu instrumen ke instrumen lain, bahkan saya melihat Mang Sraya memainkan dua instrumen sekaligus, kendang dan gong.
Pentas musik Garapan Mang Srayamurtikanti di Desa Potato Head (POHE) – Seminyak, Kuta, Badung, Bali | Foto: Adhitya Pratama
Begini, biasanya kalau nonton baleganjur, gong kebyar dan kelompok musik tradisi lain, mereka hanya berfokus pada satu benda. Tidak ada yang bergerak banyak, kecuali mereka mengikuti lomba karena dalam lomba ada estetika koreo yang menjadi satu acauan nilai juri. Mang Sraya bermain bukan pada khazanah biasanya, nampaknya ia ingin mengembangkan satu bentuk permainan segar dari pemain-pemainnya.
Jika ditelisik lebih dalam, sejumlah simbol terlihat dalam pertunjukan Mang Sraya, seperti para pemain yang semuanya adalah perempuan, satu pemain bisa memainkan alat musik lebih dari satu dalam waktu bersamaan, satu pemain yang dapat berpindah alat musik, serta permainan musik dengan warna liyan.
Begitulah sekiranya ibu saya di rumah seperti pemain itu, memasak nasi sambil nyambi menyapu, menggoreng masakan sambil nyambi merapikan baju, atau mejejaitan sambil nyambi mendongengkan saya sebelum tidur serta Ibu yang selalu mencari resep masakan baru dari tetangganya agar saya tidak bosan dengan masakannya yang selalu berulang. Karya Mang Sraya menyiratkan ketangkasan perempuan, yang paling dekat….. ya ibu saya sendiri.
Rupanya karya Mang Sraya ini mengisahkan tentang Tumpek Pengatag, salah satu upacara yang dilaksanakan orang Bali atas rasa syukurnya kepada tumbuhan. Agar dunia tempat manusia tinggal keadaan hidupnya seimbang.
Ada adegan saat penari membagikan sejumlah ranting yang masih ditumbuhi daun kepada setiap pemain. Simbol gerak ini merupakan representasi bagaimana para dewa -dewi yang asih kepada manusia. Bagi saya pribadi konteks Tumpek Uduh sangat tegang dalam tubuh tradisi saya, tubuh narasi sosial yang hadir dalam kebudayaan kental di Bali, memberi saya pemahaman yang selalu bertolak belakang.
Secara praktikal tumpek uduh dilakukan pada 25 hari sebelum Hari Raya Galungan, upacara itu mendoakan bunga pohon buah yang sedang ranum, agar nanti buahnya lebat saat Galungan tiba. Buah itulah yang digunakan untuk sarana upacara.
Tapi saya dan keluarga kecil di kota, tidak lagi punya tegalan, kami semua harus bekerja, lalu menghasilkan uang kemudian membeli buah di pasar badung untuk megalungan. Bisa juga Tumpek uduh dilihat lebih luas akan beririsan dengan isu ekologi, lingkungan yang tengah terjadi hari ini . tergantung penyikapan cara pandang saja, yang mana saja, boleh.
Pentas musik Garapan Mang Srayamurtikanti di Desa Potato Head (POHE) – Seminyak, Kuta, Badung, Bali | Foto: Adhitya Pratama
Tapi satu yang menarik, dengan cara pandang – saya mengingat satu adegan yang pernah saya mainkan saat pentas di Stikom Bali, membawa naskah The Famous Squating Dance yang disutradarai oleh Wayan Sumahardika. Ada adegan saya membaca catatan Miguel Covarrubias saat ia menonton penari igel jongkok di salah satu sajian pariwisata di Denpasar, catatan itu berisi deskripsi tentang bagaimana penari igel jongkok itu berkolaborasi dengan pemain musik barat.
Saya membacanya saat itu, sekaligus membayangkan gerakan penari igel jongkok berdasarkan teksnya, lebih jauh lagi saya membayangkan bagaimana tari itu ditonton oleh wisatawan yang berkunjung ke Bali.
Hal ini sama persis yang saya alami saat menonton Mang Sraya, ada deretan bule yang terkesima, tangannya tidak lepas merekam menggunakan gawai, sebagian lagi memperhatikan dengan serius, ada pula yang langsung menggunggah ke IG Story pribadinya. Berita begitu cepat tersebar, mungkin di antara orang itu ada yang live lintas negara, sehingga kawannya di benua lain dapat menonton Mang Sraya.
“Memang bentuk segar kayak gini, diterima dengan lapang di sini, seperti igel jongkok dulu, ruangnya cair. Yang menonton mungkin saja tidak memiliki kedekatan dengan benda-atau bentuk asal kesegaran itu,” ucap saya pada diri sendiri. [T]