Jembrana adalah sebuah kota persinggahan. Saya menyadari hal ini sejak lama. Tatkala saya masih mukim di Jembrana.
Jembrana sebagai kota persinggahan pernah pula ditegaskan Bupati Jembrana yang saat itu dijabat I Gede Winasa. Maka dia berusaha agar Jembrana bukan sekadar menjadi kota perlintasan atau kota persinggahan. Tapi menjadi kota tujuan.
Benar saja Jembrana pernah jadi kota tujuan. Saat inovasi di bidang pemerintah begitu menggeliat. Bahkan sebuah hotel dibangun untuk menampung para birokrat yang melakukan kunjungan kerja. Sayang masa-masa emas itu kini pudar.
Setelah bertahun-tahun meninggalkan tanah kelahiran, saya kembali melakukan perjalanan ke kampung halaman. Saat libur panjang Idul Fitri, saya memboyong keluarga ke Bali Barat. Meski hanya sejenak.
Sepanjang perjalanan, saya kembali teringat bahwa Jembrana memang sebuah kota persinggahan. Terutama saat saya berkendara dari simpang tiga Gilimanuk menuju rumah saya di wilayah Kecamatan Negara.
Sepanjang jalan saya berpapasan dengan mobil-mobil dari luar Bali. Kebanyakan merupakan plat L (Surabaya dan sekitarnya) serta plat P (Banyuwangi dan sekitarnya). Ada pula sejumlah kendaraan dari jawa tengah seperti plat AD dan plat AG.
Kendaraan-kendaraan itu menepi di sepanjang perjalanan. Singgah di warung atau toko modern. Sekadar membasuh dahaga atau membeli camilan. Usai menyantap betutu di Gilimanuk.
Banyak pula truk-truk yang menepi di jalur utama Denpasar-Gilimanuk. Pengemudi beristirahat sejenak setelah menempuh perjalanan yang panjang. Sambil menikmati menu yang disajikan di warung-warung tradisional.
Ada pula pengemudi yang jidatnya berkerut. Karena ban kendaraannya kempes. Sehingga harus menepi di bengkel. Agar perjalanan ke daerah tujuan kembali nyaman.
Sepanjang perjalanan itu saya kembali teringat bahwa Jembrana adalah kota persinggahan. Persinggahan itu akan hilang saat jalan tol Jembrana-Mengwitani terwujud.
Jujur saja, saya adalah orang yang menolak rencana tersebut. Bagi saya, pembangunan jalan tol akan mematikan ekonomi daerah. Saya yakin betul, para pelancong hanya singgah di Gilimanuk. Mereka akan menyantap betutu, lalu tancap gas menuju Kuta.
Tak ada lagi yang singgah di sepanjang perjalanan. Sekadar menepi di Negara untuk membeli perbekalan. Kelak tiada lagi warga yang menempi di sekitar Rambut Siwi untuk menikmati pemandangan. Tak ada lagi yang masuk rest area di Pantai Yeh Leh untuk menikmati bakso ayam sambil menikmati deburan ombak pantai selatan.
Saya justru lebih afdol bila pemerintah mengambil alternative lain. Seperti melebarkan jalan serta membuat jalur perlintasan yang lebih aman. Seperti halnya membangun Jalur By Pass Ida Bagus mantra atau membangun shortcut di wilayah Tabanan.
Risikonya, beban anggaran akan lebih tinggi. Tapi risiko itu sepadan. Ketimbang mematikan ekonomi sebuah wilayah yang selama ini berjuang meningkatkan taraf hidup warganya.
Namun wacana membangun jalan tol sudah ketok palu. Banyak warga yang menyambut wacana itu dengan suka cita. Meyakini bahwa jalan tol akan mendorong ekonomi warga.
Kelak pemimpin Jembrana – siapapun itu – punya pekerjaan rumah cukup besar. Mereka harus meningkatkan ekonomi masyarakat. Karena saya yakin ekonomi Jembrana akan merosot setelah jalan tol beroperasi. Disadari atau tidak, Jembrana merupakan sebuah daerah yang ekonominya dibentuk oleh pelancong yang singgah.
Jangan heran bila nanti tak ada lagi pelancong yang singgah. Mereka hanya sekadar melintas. Tanpa memberikan kontribusi ekonomi yang berarti.
Sama seperti dia. Dia yang selalu terlintas dalam benakmu. Namun tidak pernah singgah di hatimu. [T]