Bisa jadi ini menjadi apa yang kita lihat dan apa yang kita simpulkan dari apa yang kita lihat itu. Kita, dalam konteks ini adalah saya dan pembaca lain ketika dihadapkan pada novel Kota Kabut Walli Jing-Kang karya Manik Sukadana. Mula-mula, kepala saya penuh kabut. Ingatan saya dilempar jauh pada cerita animasi Disney, Mulan dan serial Samurai X. Mengingat referensi tentang cerita perang yang terbatas. Meski mengisahkan tokoh dengan latar Tiongkok, novel bercover putih ini sesungguhnya bersetting Bali.
Jangan berharap novel ini menawarkan eksotisme serupa kisah-kisah Sastra Melayu Tionghoa (SMT). SMT lebih banyak bertema kontradiksi sosial masyarakat jajahan. Sebab cerita perang yang lebih ditonjolkan dan banyak menyajikan darah mengucur dan bau anyir kematian.
Kemudian pelan-pelan saya menyibak kisah yang dibagi menjadi tiga bagian ini. Seakan menyibak kabut, jarak pandang menjadi samar. Pada Kota Kabut ini, saya mendapati pembacaan atas literatur sejarah, kitab-kitab usada, namun lebih banyak yang seperti dirahasiakan. Sebetulnya ramuan gagasan-gagasan ini menarik dan menyediakan hamparan pemaknaan yang subtil dan visioner.
Kata kabut menjadi pintu masuk pertama yang harus saya ketuk ketika membaca novel Kota Kabut Walli Jing-Kang. Maka saya mengetuknya dengan dua definisi kabut dari KBBI; 1. a kelam; suram; tidak nyata, dan 2. n awan lembap yang melayang di dekat permukaan tanah. Begitulah kurang lebih visualisasi Walli Jing-Kang di kepala saya.
Pada definisi pertama, tampaknya menjadi sebuah strategi penceritaan. Latar perang melahirkan kabut yang menghalangi pandangan mata. Begitulah tokoh Maharaja Muda tak punya banyak pilihan saat menentukan perang, menyelamatkan rakyat daripada mengorbankannya. Kabut tebal menjadi payung antara hidup dan mati. Kabut memberi citraan dinginnya situasi perang.
Bahkan, perang hanyalah sebuah pilihan. “…. Seperti yang kau katakan dulu bahwa perang hanyalah perputaran dendam; karma-karma buruk tiap orang akan saling menindih. … Kau tahu, perang tidak akan menyelesaikan masalah apa-apa….” (hlm. 12). Pada adegan Ki Cawan mengingat kejadian lampau dengan sahabatnya, Maharaja. Bukankah hidup adalah peperangan?
Sedangkan definisi kedua adalah fenomena alam yang dapat menimbulkan berbagai perspektif, romantis hingga mistis. Keduanya, saya dapatkan pada novel ini. Suasana romantis hadir saat Kabut semakin tebal…. Dapdap mengambil mantel bulu dari dekat meja menempelkan ke punggung kekasihnya (hlm. 12). Suasana mistis hadir pada adegan upacara paluasan (hlm. 189) , kabut pelan-pelan hadir, selanjutnya pendeta kesurupan. Kabut, tetaplah kabut. Ketika membacanya, ada visualisasi kabut Kintamani, kabut Bedugul, atau kabut di halaman rumah mertua di Petang.
Pintu berikutnya, saya harus menyibak kabut atas ingatan, kekecewaan, atau mungkin patah hati dari penulisnya, Manik Sukadana. Kabut itu menempatkan diri antara narasi sejarah dan usaha penulis membumbui tradisi. Hal-hal unik yang menarik bagi saya adalah menonjolnya religiositas dan kearifan lokal usada pada novel.
Religiositas tentu bukan hal baru yang dibicarakan sastrawan Bali dalam karya-karya mereka. Tetapi Manik menemukan cara berbeda dalam pengungkapannya. Ia mendebat konvensi masyarakat, seperti misal mempersoalkan kesucian pada perempuan atau hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan. Atau sebetulnya Manik mencoba mendefinisikan kembali identitas dan eksistensi masyarakat melalui novel ini?
Subijantoro Atmosuwito (2010) menyebutkan bahwa buku agama adalah sastra, dan sastra merupakan bagian dari agama. Ketika Maharaja Muda bermimpi bertemu dengan seorang pendeta, ada ajaran Hindu pada kalimat “Tidak ada yang benar-benar putus di dunia ini. Kelahiran, kebaikan, kesenangan, kesedihan, atau ketiadaan akan terus berputar dan saling menindih”. (hlm. 53)
Tidak memilih salah satu pemujaan menjadi pergunjingan bagi Sasih. Bahkan, sebetulnya pernikahannya dengan Maharaja Muda menjadi salah satu sebab perang. Hal-hal semacam ini masih akan terjadi jika tidak dilakukan penghayatan hingga ke sanubari terhadap sebuah nilai.
“Pemujaan? Aku tidak memilih salah satu pemujaan. Aku mengikuti cara-cara lama.” kata Sasih kepada Mémé Darga (hlm. 163)
Tuhan milik pribadi, tulis Ngurah Suryawan pada esainya Dari (Praktik) Upacara Menuju (Nilai) Teologis dan Diakhiri Penghayatan Diri (2020). Pencariannya dilakukan lewat penghayatan pribadi, seperti yang dilakukan Sasih.
Religius dalam pembahasan ini saya kembalikan pada akar kata religion yang diartikan sebagai religi, bukan agama. Dalam konteks ini, makna kata religi yang saya gunakan adalah ikatan atau pengikatan diri. Jadi pengertian ini lebih pada personalitas, hal yang lebih pribadi.
Sebagai teks yang hadir dari masa lalu, yang cukup jauh konteks dan waktu terbitnya dengan pembaca kini, pembaca tetap bisa menarik relevansinya hari ini. Seperti persoalan gering pada teks, diselesaikan dengan usada.
Tokoh Sasih menjadi titik tolaknya. Niángniáng ini selalu mempertanyakan hal-hal yang begitu mengundang risiko. Ia juga memiliki cara pandang tersendiri terkait keyakinan. Bahwa, simbol itu ada karena ingatan yang ingin kita tanam di pikiran kita (hlm. 164).
Ketika pembicaraan empat mata bersama Mémé Darga berikutnya, menjadi titik didih dari seluruh letupan yang hadir pada obrolan kedua tokoh. “…. Seperti darah, adalah sesuatu yang kotor ketika kita meneteskan darah di tempat pemujaan. Namun di sisi yang lain, darah adalah bagian terpenting tubuh kita. Jadi, apakah tubuhmu; tubuh kita bersifat suci?” (hlm. 183)
Tokoh pendeta yang muncul saat adegan upacara paluasang memunculkan dimensi lain dari religius. Pendeta itu telah dirasuki roh-roh. Kata-kata dengan bahasa kuno dilantunkan seperti tembang. Begitu indah juga sedih pada saat yang bersamaan. (hlm. 188) Ketika upacara suci dilakukan memang kerap mempertontonkan dialog, nyanyian, bahkan tangis dan laku gerak semacam tarian sebagai perwujudan “keberadaan” bhatara bhatari.
Praktik ritual, adegan-adegan upacara pada novel Kota Kabut, membawa pembaca meyakinkan hal-hal samar dan abstrak. Begitulah kabut-kabut bertebaran pada novel ini perlu disingkap pembaca agar tidak mengganggu pandangan.
Ketika tradisi lisan menjadi sangat kuat dalam menyampaikan pesan-pesan didaktis. Kala itu, penyair atau pengarangnya memanfaatkannya sebagai alat edukasi atas nilai-nilai tertentu. Pada novel ini, Manik pun melakukan hal serupa menggambarkan nilai-nilai tertentu yang dipegangnya untuk dimaknai pembaca.[T]