Pada akhirnya pengalaman singkat saya di Palembang—kota tertua di Indonesia memang harus saya tuliskan. Tujuh hari yang mengesankan berada di tempat berjayanya kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi—kini Palembang pun dikenal dengan sebutan “Bumi Sriwijaya”, dengan klub bola kebanggaannya Sriwijaya FC yang berada di Liga 2.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa saya bisa menginjakkan kaki di sana? Apa kepentingan saya di sana? Singkatnya, saya di sana menjalankan tugas organisasi yang sudah saya ikuti sejak tahun 2016 lalu. Hal yang menyenangkan bukan? Bukan! Hahaha.
Tempat pertama yang saya datangi di Palembang adalah Pura Agung Sriwijaya. Pura ini dianggap Pura Agung oleh umat Hindu se-Sumatera Selatan. Kebetulan saya tiba di sana bertepatan dengan piodalan Pura Agung Sriwijaya (Purnama Kadasa).
Saya menyaksikan ratusan umat Hindu dari berbagai di daerah Sumatera Selatan berkumpul dan memanjatkan puji syukur di Pura Agung Sriwijaya ini. Kalau kata teman saya begini “ini belum seberapa, Ted. Kalau tidak ada pandemi, umat itu sudah jalan kaki dari jalan utama di depan itu. Jadi kendaraan sudah tidak masuk lagi.”
Foto: Pura Agung Sriwijaya
Mendengar hal itu, saya hanya berdecak kagum. Bukan soal jumlah, karena kalau bicara jumlah tentu saya sudah sering saksikan ketika memasuki sasih kadasa di Pura Besakih dan Batur. Tetapi ini berbeda, yang saya kagumi lebih kepada semangat umat yang berkendara dari jauh dan juga semangat kekeluargaannya—bahkan banyak dari mereka yang menginap di Pura. Mengagumkan bukan?
Palembang Itu Kota Tertua di Indonesia
Siapa yang tidak mengenal Palembang? Sebuah kota yang di dalamnya memiliki Jembatan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) dan sungai terpanjang di pulau Sumatera—Sungai Musi. Benarkah Palembang kota tertua di Indonesia? Ya, setidaknya itulah yang tercantum dalam prasasti Sriwijaya atau yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit.
Prasasti tersebut berangka tahun 16 Juni 682—sekaligus menjadikan tanggal tersebut sebagai hari jadi Kota Palembang. Sehingga kalau dihitung dari angka prasasti Kedudukan Bukit, usia Kota Palembang kini, yakni: 1340 tahun. Palembang juga diakui sebagai kota tertua di dunia.
Kali pertama menjejakkan kaki di Palembang, saya langsung mengangguk-angguk. Saya teringat keluhan sahabat saya yang lahir dan besar di Bumi Sriwijaya. “Jalanan di Bali kecil, jadinya susah menghafal jalan di sini,” katanya. Setelah melihat langsung, jalanan di Palembang memang sangat lebar, bahkan jalanannya dua kali lebih lebar dari jalan Gatot Subroto di Kota Denpasar—itu pun hanya untuk satu jalur saja. Agak berlebihan memang, tapi itulah kenyataannya.
Hal menarik lainnya, kota Palembang adalah kota yang dibagi menjadi dua daerah, yakni: seberang ulu dan seberang ilir. Kini masing-masing daerah tersebut telah dihubungkan oleh jembatan Ampera yang diresmikan oleh Ir. Soekarno (Presiden RI ke-1) pada 10 November 1965.
Dulunya, jembatan Ampera adalah jembatan terpanjang di Asia Tenggara dengan panjang 1.177 meter, lebar 22 meter, tinggi 63 meter, dan jarak antara menara 75 meter. Mulanya, jembatan ini diberi nama jembatan Bung Karno. Namun pada tahun 1966 terjadi pergolakan dan gerakan anti-Soekarno, sehingga jembatan ini berubah nama menjadi jembatan Ampera hingga kini.
Foto: Berpose dengan latar Jembatan Ampera
Menurut saya, jembatan Ampera semakin indah dinikmati ketika malam hari dari halaman Benteng Kuto Besak Palembang. Ya, pada malam hari saya bersama tiga teman saya lancong ke Benteng Kuto Besak yang akan menampilkan indahnya jembatan Ampera di malam hari. Di sini banyak pedagang yang menjajakan makanan dan hiburan anak-anak. Kalau di Denpasar bisa kita bandingkan dengan Pasar Angsoka atau yang lebih dikenal dengan Pasar Kreneng.
Namun keindahan jembatan Ampera sedikit terganggu dengan sampah plastik yang berserakan di mana-mana. Saya pun melihat tidak banyak tempat sampah yang disiapkan di areal tersebut. Jadi sebelum foto-foto, saya dan ketiga teman saya harus membersihkan beberapa sampah yang masuk ke frame kamera.
Saya hampir lupa! Kalian belum benar-benar ke Palembang kalau belum merasakan nikmatnya makanan khas di sana, yakni Pempek. Baru beberapa jam saya menginjakkan kaki di Palembang, saya langsung diboyong oleh senior saya ke salah satu rumah makan yang menyediakan Pempek terbaik di kota Palembang—Pempek “Cek Tasya” namanya.
Rumah makan ini tempatnya tidak jauh dari Pura Agung Sriwijaya—cukup 5 menit perjalanan saja. Seingat saya, ini bukan kali pertama saya merasakan enaknya Pempek. Beberapa kali saya makan Pempek bersama teman-teman saat salah seorang teman saya datang dari Palembang ke Bali.
Foto: Empek-empek Palembang di Palembang
Tapi tentu ini adalah kali pertama saya makan Pempek langsung di Palembang. Benar saja, rasanya berbeda dengan Pempek yang sering menjadi oleh-oleh sebelumnya. Menu favorit saya adalah Pempek Kapal Selam—cukup aneh namanya.
Saya pun lupa menanyakan kenapa namanya kapal selam. Saya menduga disebut demikian, karena makanan ini harus dinikmati dengan genangan “cuko” yang menenggelamkan setengah Pempek ini. Tapi setelah Pempek Kapal Selam habis saya makan, satu kalimat keluar dari mulut saya: “Lemak Nian!” alias “Enak Banget!”.
Palembang dan Genangan Air
Sudah saya ceritakan bahwa Palembang adalah kota tertua di Indonesia. Ada hal yang perlu saya ceritakan lagi soal kota ini. Selama beberapa kali saya diajak berkeliling kota ini, saya melontarkan satu pertanyaan “Kenapa banyak sekali rawa di sini?”, kira-kira itu pertanyaan saya.
Teman-teman saya pun menjelaskan. Kota Palembang adalah kota yang dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Dilansir melalui Palembang.go.id masih terdapat sekitar 52,24% tanah yang tergenang oleh air. Kondisi alam seperti ini bagi nenek moyang masyarakat Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi.
Lantas apakah hari ini di Palembang masih mengandalkan moda transportasi air dalam berbagai aspek? Jawabannya adalah Ya. Transportasi air masih menjadi tulang punggung untuk menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya.
Teman saya mengatakan untuk sampai di Kabupaten Banyuasin, ia harus menggunakan transportasi air untuk menjangkau kampung halamannya. Tentu karena jalur darat masih sulit diakses dan waktu tempuhnya pun lebih lama. Jadi hingga kini kota Palembang masih lekat dengan air.
Lalu apa yang paling saya ingat dari pengalaman saya? Hal yang paling saya ingat adalah harga tiket pesawat dari Bali ke Palembang yang sangat mahal! Sakit kepala dibuatnya. Untungnya perjalanan kemarin saya sudah ditanggung organisasi. Siapa yang sudah pernah ke Palembang, acungkan tangan! [T]