Di balik elusan lembut pada sampul buku kesayangan yang dinikmati perlahan sembari bersantai menyesap kopi, ada berlapis-lapis cerita dramatik. Buku, entah didapat dari toko buku, bingkisan orang terkasih, pinjaman teman atau perpustakaan, lahir dari meja kerja penerbitan, keringat kurir pengiriman, dan likuan-likuan pra serta pasca cetak yang tak pendek. Sekian tangan turut membentuk, mengelus, dan membungkusnya.
Melihat kawan sedang berpose dengan buku, hati saya senang sekaligus merinding. Senang karena buku masih diminati, dipilih sebagai latar potret (citra) diri. Merinding, juga miris, karena “jangan-jangan” buku-buku itu hanya sebagai pajangan saja. Citranya dipuja, isinya disia-sia. Kendati demikian, mentoknya mentok, saya rasa berpose dengan buku masih lebih—meminjam ungkapan andalan Agus Mulyadi—membuat mongkok daripada potret-potret berilustrasi santap makan mewah dan jalan-jalan di Cappadocia.
Perasaan senang bersanding merinding itu, mungkin sentimentalitas saya saja. Sentimen dari seorang “bakul buku online” yang terlanjur tercebur profesi.
Buku dan Profesi
Saya sering agak-agak rikuh ketika bertemu dan ngobrol dengan kenalan baru. Tepatnya ketika obrolan tiba pada pertanyaan, “kamu kerja apa?”. Biasanya momen itu terjadi ketika saya di posisi sebagai “Mister Nobodi”. Satu istilah yang diciptakan oleh Umar Kayam (Sugih Tanpa Banda, cet.4, 2012), merujuk pada kondisi saat kita bukanlah siapa-siapa. Tidak ada teman, tidak ada kenalan, sehingga setiap kontak pertemuan adalah orang asing versus orang asing. Biasanya saya akan menjawab, “saya bakul buku online”.
Saya selalu menjelaskan secara komplit tiga kata majemuk keprofesian itu, bakul-buku-online (BBO) kepada lawan bicara. Padahal kata-kata itu sering merepotkan. Saya harus menjelaskan jenis buku apa yang dijual, siapa yang membeli, sampai bagaimana peluangnya sebagai sandaran ekonomi. Tapi anehnya, kok selalu ada rasa mongkok itu tadi.
Rasa mongkok ketika menjelaskan profesi sebagai BBO itu sebenarnya ada filosofinya, walapun dengan standar filosofi ala kadarnya. Pertama, saya ingin mengenalkan dan menancapkan kata “buku” di alam bawah sadar lawan bicara. Saya ingin buku dikenali bukan sebatas benda mati, atau obyek foto selfie saja. Kedua, saya ingin menegaskan bahwa bakul buku online adalah sebuah profesi. Satu profesi yang tidak kalah mentereng dengan guru honorer, atau jenis pegawai bergaji rutin—di awal, tengah, dan akhir bulan.
Buku Bajakan dan Kabar Duka darinya
BBO adalah sebuah profesi. Sama seperti profesi lain, ia akan besar bila diseriusi dan dijalani dengan “hati”. Tetapi satu hal yang membedakannya dengan profesi lain adalah bahwa menjual buku, tidak sebatas tentang ketahanan dan kemapanan ekonomi pribadi. Berjualan buku, langsung bersentuhan dengan fakta persebaran literasi. Anda akan merasakan bangga bercampur haru—saya jelaskan di awal sebagai rasa mongkok tadi—ketika mengetahui bahwa, misalnya, ada lho remaja yang rutin membeli buku. Masih belum mati literasi sebagai gaya hidup.
Saya pernah, dikunjungi saudara, mereka datang sebrayat. Anak saudara saya itu usia belasan (SMP-lah). Saya benar-benar merinding ketika melihat anak itu menenteng Sapiens-nya Noval Yuah Harari kemana-mana. Seakan buku tebal bermuka putih itu boneka kesayangannya. Sesekali ia membacanya, dengan mencari tempat duduk paling nyaman.
Rasa merinding berlanjut. Anak belasan tahun itu, ketika melihat koleksi buku-buku saya, ia asyik menyentuhi dan memilih buku dengan mata berbinar. Dengan masih mengempit Sapiens, tangan kiri mengambil otobiografi Mahatma Gandhi (berhalaman 700-an), tangan kanannya mengambil Mein Kampf yang juga tebal. Lantas, ia merengek ke ibunya, “Bu, beli ini ya. Ya…”. Ibunya mengecek kedua buku itu, menimbang-nimbang, “Satu dulu saja”. Dibelilah Mahatma Gandhi.
Perasaan merinding lain, berkebalikan dengan mongkok, saya alami di lain waktu. Waktu itu saya sedang mengantar istri dan anak berbelanja alat tulis di toko tak jauh dari kampung kami. Naluri bakul buku membawa saya untuk menjelajah rak buku. Eh, beneran ada buku-buku bacaan dijual di sana. Saya amati judul per judul, saya perhatikan fisik buku. Ya Allah, ternyata buku-buku itu palsu, buku bajakan. Saya sudah bisa membedakan buku bajakan dengan buku asli sejak dari pandangan kedua dan ketiga. Lebih clear and distinct lagi ketika sudah memegangnya. Saya cek satu per satu, benar saja semua buku di toko itu bajakan. Lemas lunglai hati saya. Ternyata persebaran buku bajakan telah tiba di muka kampung-kampung dan perdesaan.
Pemakaman Harapan
Ada beberapa sebutan populer, merujuk pada buku bajakan. Kata “bajakan” sendiri jarang sekali (katakan tidak pernah) dipakai. Buku Ka-We, buku repro, buku non-ori, lebih sering digunakan secara bergantian. Jenis kertas dan kualitas penjilidan (binding) buku bajakan tak seragam. Beberapa buku bajakan bahkan lebih kokoh dari buku asli. Tetapi secara umum, buku bajakan dicirikan dengan ketajaman dan kejernihan cetakan yang acak adut seperti bercermin di ‘air keruh’. Penjilidan pun sama, ringkih. Tetapi sekali lagi, itu bukan jaminan. Satu-satunya kemampuan untuk dapat membedakan mana buku asli mana bajakan, hanyalah dengan sering-sering belanja, membaca dan merawat buku.
Jika boleh menyebut satu indikator terpenting untuk mengenali buku bajakan adalah dari sisi “harga”. Buku bajakan dibandrol dengan rumus penjumlahan kertas + tinta cetak + untung penjual. Alhasil, murahnya tak ketulungan. Sandingkan dengan kalkulasi harga buku resmi yang di luar bahan baku produksi, aliran uangnya harus mengairi desainer sampul, editor bahasa, editor isi, distributor resmi, royalti penulis, penjual dan seterusnya.
Sebenarnya pelapak buku tidak bisa disalakan, walaupun nyatanya “salah”. Mereka sebatas untaian kedua terbawah dari hirarki rantai pembajakan. Untaian terakhir tentu saja pembeli. Mereka mencari untung paling banter lima sampai sepuluhan ribu dari penjualan per buku. Dan tak setiap saat laku. Bos sebenarnya adalah para godfather pembajakan yang menurut Muhidin M. Dahlan (mojok.co, 01/02/2019) beromset miliyaran rupiah. Bagaimana nasib para godfather itu? Sampai saat ini mereka masih leha-leha.
Beredarnya buku bajakan tidak hanya merugikan penulis buku dan penerbit saja, akan tetapi merembes ke seluruh galur perbukuan resmi. Pemerintah terkurangi pemasukan pajak, masyarakat termanipulasi cita rasa literasinya. Dan yang terpenting penulis buku, tersunat royalti karyanya.
Royalti sebuah “karya” adalah kebanggaan dan soko guru ekonomi penulis. Memang akan selalu ada penulis yang terus berkarya dengan tulus dengan atau tanpa kepastian royalti. Tetapi, jika mau realistis dan pragmatis, berapa orang serta sampai kapan mereka dapat bertahan?
Kendati demikian, harapan belum sepenuhnya bernisan. Para penggerak literasi, termasuk jaringan bakul buku selalu bergerak mengkampanyekan sadisnya buku bajakan. Mungkin akan menjadi wacana menarik bila tema “mengubur buku bajakan” diseriusi para politisi. Dibuatkan perangkat regulasi dan unit Satgas khusus anti buku bajakan. Tetapi, kemungkinan ini entah harus menunggu berapa generasi lagi.
Kalau mau membuat harapan serius, saya lebih berharap dibuat regulasi “subsidi literasi”. Harga kertas, kemudahan pameran, perluasan sosialisasi dan seluruh perabot percetakan buku diberikan ekosistem sendiri. Jika buku-buku bisa dijual murah, maka industri pembajakan akan menyusut dan tidak diminati lagi. Para godfather buku bajakan akan lebih bergairah berpindah ke bisnis minyak goreng, misalnya.
Iklim pembajakan buku, akan menyumbang munculnya berita-berita pemakaman penerbit dan toko-toko buku resmi. Lamat-lamat mulai hinggap rasa merinding, membayangkan akan berjejer karangan bunga dari para pembajak buku. Dengan ungkapan warna-warni, terbaca “Turut Berduka atas Meninggalnya Literasi Negeri Ini”. Ngeri ..
Tetapi bagaimana jika pilihannya hanya dua, membaca buku bajakan atau tidak membaca sama sekali? [T]