Wujud Community-Based Tourism (CBT) di Bali
Tahun 2020 diawali dengan merebaknya pandemic Covid19. Industri pariwisata merupakan salah satu sektor yang mengalami penurunan sangat signifikan. UNWTO menggambarkan keadaan pariwisata internasional seperti kembali ke level pariwisata pada saat 30 tahun yang lalu. Penurunan secara drastis jumlah kunjungan wisatawan baik domestic maupun mancanegara menyebabkan melambatnya bahkan nyaris terhentinya kegiatan pariwisata. Selanjutnya, hal tersebut memberikan efek berganda (multiplier effect) terhadap sektor industri lainnya.
Pada KTT G20 tahun 2020, UNWTO berkerjasama dengan kelompok kerja pariwisata G20 mengeluarkan Framework for Inclusive Community Development Through Tourism sebagai upaya pemulihan sektor pariwisata. Kerangka ini mendorong kerjasama dan kolaborasi antara masyarakat dan pemangku kepentingan pariwisata guna menjadikan pariwisata sebagai alat pembangunan inklusif yang dapat secara adil mendistribusikan manfaat dari pariwisata itu sendiri di wilayahnya (UNWTO, 2020). Dimana sebelumnya UNWTO pada tanggal 16 September 2020, di Tbilisi, Georgia, mengeluarkan Deklarasi Tbilisi sebagai sebuah komitmen pemulihan pariwisata secara berkelanjutan (UNWTO, 2020).
Berdasarkan kedua peristiwa tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat bersama dengan terjalinnya kerjasama dan koordinasi merupakan kunci penting dalam usaha pemulihan pariwisata berkelanjutan pada masa pandemic maupun pasca pandemic Covid19 nanti.
Pengembangan pariwisata yang menekankan pada masyarakat sudah terlihat pada tahun 1990-an melalui konsep pro-poor tourism (pariwisata pro-orang miskin), rural tourism (pariwisata pedesaan), Community-Based Tourism (CBT), dan istilah lain yang dimaksudkan untuk membantu pembangunan bagi masyarakat tertinggal secara ekonomi (Putra, 2015).
Dalam buku pegangan yang diterbitkan REST (1997), dimuat hal-hal konseptual dan praktis dari CBT. Menurut REST, secara terminologis, pelibatan partisipasi masyarakat dalam proyek pengembangan pariwisata mempunyai banyak nama, yakni Community-Based Tourism (CBT), Community-Based Ecotourism (CBET), Agrotourism, dan Eco and Adventure Tourism. Dikalangan akademik, belum ada konsensus terhadap istilah-istilah dari beragam tipe pariwisata ini.
Dalam perkembangannya konsep Community-Based Tourism (CBT) lebih mendapatkan perhatian dan sering digunakan oleh badan atau kelompok pemerintah karena diyakini dapat membantu masyarakat lokal untuk menggali pendapatan, melakukan diversifikasi ekonomi lokal, pelestarian budaya dan lingkungan, serta menyediakan peluang pendidikan (Putra, 2015). Community-Based Tourism (CBT) digunakan sebagai alat pengembangan pariwisata berkaitan erat dengan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).
Kedua konsep ini menekankan pada manfaat pembangunan bagi masyarakat, khususnya manfaat ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan (Richard dan Hall, 2000). Dalam kata lain, jika masyarakat secara langsung dapat menikmati manfaat dari pariwisata, mereka akan mendukung pembangunan pariwisata serta menjaga keberlanjutannya. Kegiatan pariwisata tidak akan dapat terjadi tanpa dukungan masyarakat sebagai salah satu aktor pariwisata itu sendiri.
Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata internasional yang memiliki keistimewaan tersendiri dengan ciri khas yang dapat dilihat dari keunikan tatanan sosial, budaya, dan alamnya. Pengembangan pariwisata di Bali sebaiknya bisa lebih diintensifkan. Sentuhan ekonomi pada sektor pariwisata hendaknya dapat dirasakan secara merata oleh rakyat. Pengembangan pariwisata yang paling sesuai dengan iklim globalisasi tanpa mengesampingkan potensi lokal, adalah pariwisata kerakyatan yang berhubungan dengan kearifan lokal (local wisdom) dan berkaitan dengan aspek kelestarian alam (ekowisata).
Dalam Rencana Strategis Kemenparekraf 2020-2014, wisata alam ditetapkan sebagai salah satu fokus dari produk wisata yang harus dikembangkan. Kabupaten Buleleng, sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Bali yang memiliki garis pantai terpanjang di Bali memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan produk wisata alam, khususnya wisata bahari.
Menurut UU No.10 Tahun 2009, tentang Kepariwisataan, wisata bahari atau wisata tirta adalah usaha penyelenggaraan wisata dan olah raga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana, serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. Dimana ekowisata bahari merupakan jenis wisata minat khusus yang memiliki aktivitas di permukaan laut, di bawah laut, dan di pesisir pantai (Yulius, 2018).
Konsep kearifan lokal yang bisa dijadikan landasan pendukung Community-Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis masyarakat di Bali adalah konsep “Tri Hita Karana”. “Tri Hita Karana” merupakan filosofi hidup masyarakat Bali yang berarti tiga penyebab kebahagiaan yang bersumber pada harmonisnya hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Prinsip pelaksanaan tersebut haruslah seimbang dan selaras, antara hubungan satu dengan lainnya (Natalia, 2016). Konsep dari Community-Based Tourism (CBT) yang menekankan pada dampak pariwisata pada masyarakat dan sumber daya lingkungan akan dapat diatasi jika “Tri Hita Karana” diterapkan dengan baik pada kehidupan sehari-hari.
Masyarakat sebagai Faktor Keberhasilan Pengembangan Ekowisata Bahari di Desa Pemuteran
Desa Pemuteran merupakan salah satu desa di Kabupaten Buleleng yang terletak diantara gugusan perbukitan dan hamparan laut. Letak geografis Desa Pemuteran menjadikan desa ini berpotensi sebagai destinasi ekowisata bahari. Salah satu potensi yang dimiliki oleh Desa Pemuteran sebagai destinasi ekowisata bahari adalah potensi berupa terumbu karang yang indah. Pengembangan terumbu karang melalui program konservasi yang dipadukan dengan aktifitas wisata mampu menarik minat wisatawan untuk datang berkunjung dan ikut serta dalam melakukan konservasi terumbu karang.
Keterlibatan masyarakat lokal sudah dimulai dari pembuatan program konservasi terumbu karang. Program konservasi terumbu karang di Desa Pemuteran diprakarsai oleh Yayasan Karang Lestari yang bekerjasama dengan masyarakat lokal Desa Pemuteran. Konservasi terumbu karang mulai dilakukan pada tahun 1990 oleh Yayasan Karang Lestari.
Pada awal berdiri Yayasan Karang Lestari yang diketuai oleh I Gusti Agung Prana, menempatkan Bupati Buleleng sebagai pelindung, beberapa tokoh nasional sebagai dewan pembina, dan tokoh-tokoh lokal sebagai dewan pengawas. Pada saat itu pendekatan yang digunakan oleh Yayasan Karang Lestari untuk meyakinkan masyarakat lokal adalah pendekatan adat, budaya, dan keagamaan. Usaha pertama yang dilakukan sebagai upaya pengembangan destinasi ekowisata adalah usaha restorasi terumbu karang yang sebelumnya telah dirusak dan dihancurkan oleh masyarakat lokal itu sendiri.
Dulunya, mayoritas masyarakat Desa Pemuteran yang bermata pencaharian sebagai nelayan, menggunakan bom dan potassium sebagai sarana menangkap ikan (Putri dan Citra,2018). Usaha restorasi ini dirasakan sebagai usaha terberat karena disamping menumbuhkan terumbu karang yang telah hancur dan rusak, para pelopor penyelamat lingkungan ini harus mampu mentransformasikan budaya masyarakat, dari penghancur ekosistem menjadi penyelamat ekosistem (Suwena dan Ariamayanti,2016).
Kemajuan restorasi terumbu karang mulai terlihat pada tahun 1996. Hal ini ditandai dengan beragamnya jenis terumbu karang yang tumbuh di daerah tersebut. Pada tahun 2000an, teknologi biorock mulai diperkenalkan di Desa Pemuteran. Biorock merupakan sebuah teknologi penumbuhan terumbu karang, dimana teknologi biorock dapat mempercepat pertumbuhan terumbu karang tiga hingga enam kali lebih cepat daripada terumbu karang yang tumbuh alami. Disamping itu, biorock juga menghasilkan terumbu karang yang lebih tahan terhadap pengaruh cuaca dan kontaminasi berbagai polusi air (Arismayanti, 2016).
Setahun setelah dikembangkannya teknologi Biorock, atau pada tahun 2001, kawasan Teluk Pemuteran telah lahir kembali menjadi taman laut dengan terumbu karang yang beragam. Keindahan terumbu karang Desa Pemuteran dibuktikan dengan, diperolehnya penghargaan dari UNWTO sebagai daerah konservasi bawah laut yang menakjubkan pada tahun 2015. Diikuti dengan Pengukuhan Desa Pemuteran sebagai salah satu dari Top 10 Lonely Planet pada tahun 2016 .
Keberhasilan Desa Pemuteran untuk merestorasi terumbu karangnya, bahkan mendapatkan penghargaan tidak terlepas dari peran masyarakat. Keterlibatan masyarakat terlihat pada saat perencanaan, pelaksanaan, dan usaha konservasi terumbu karang di Desa Pemuteran. Keberhasilan tersebut juga didukung dengan adanya keterlibatan dari semua pemangku kepentingan, regulasi, dan tata kelola yang baik dalam pengembangan ekowisata di Desa Pemuteran.
Pulihnya ekosistem terumbu karang, membawa efek positif pada perkembangan pariwisata di Desa Pemuteran. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Pemuteran. Secara umum, wisatawan yang datang adalah wisatawan dengan minat khusus, yaitu menikmati wisata bahari dengan aktifitas wisata berupa snorkling dan diving.
Dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan menyebabkan meningkatnya pula jumlah permintaan akan fasilitas wisata. Fenomena ini menyebabkan munculnya efek berganda pada kehidupan masyarakat Desa Pemuteran. Keterlibatan masyarakat sebagai penyedia fasilitas wisata, seperti jasa penginapan sederhana (homestay), warung makan, menjadi instruktur selam bagi penyelam amatir, membuka penyewaan alat selam, penyewaan perahu, dan menjadi pemandu wisata lokal. Peran masyarakat sebagai penyedia fasilitas wisata ini berdampak pada peningkatan kualitas hidup mereka.
Harapan Desa Pemuteran sebagai Ekowisata Bahari Pada Masa Pandemi dan Pasca Pandemi Covid19
Di Indonesia, Kemenparekraf (Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) berkolaborasi dengan para pihak industry, pelaku, pemerintah, dan akademisi menyusun protocol kesehatan lengkap dengan pedoman dan panduan pelaksanaan CHSE (Clean, Health, Safety, and Environment) sebagai upaya dalam menghadapi pandemi Covid19. Tujuan dari sertifikasi CHSE adalah untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian COVID19. Dukungan pemerintah tidak hanya sampai dikeluarkannya pedoman sertifikasi CHSE tersebut, akan tetapi pemerintah juga memberikan sertifikasi ini secara gratis. Tentunya, pemberian sertifikasi CHSE gratis ini hanya diberikan bagi pelaku usaha yang memenuhi segala persyaratan dan ketentuannya.
Disamping sertifikasi CHSE, dukungan pemerintah untuk masyarakat yang terkena dampak langsung dari Covid19, khususnya yang berhubungan dengan wisata bahari, dilakukan melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Padat Karya melalui Taman Terumbu Karang Indonesia (ICRG). Program ini dicetuskan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kabupaten Buleleng terpilih sebagai salah satu daerah yang menjadi tempat restorasi terumbu karang nasional atau Taman Terumbu Karang Indonesia (ICRG).
Pemilihan Kabupaten Buleleng tidak lepas karena sudah terkenalnya konservasi terumbu karang Buleleng. Dimana pada program ini, Buleleng akan menerima bantuan sebesar 10-20 miliar guna mengembangkan terumbu karang yang berbeda, yang unik, sekaligus menjaga kelestarian terumbu karang tersebut. Sejalan dengan itu, Bapak Bupati Buleleng juga menyampaikan permohonan terkait ijin zona hijau bagi tiga kawasan di Buleleng secara virtual kepada Presiden Jokowi saat pelaksanaan vaksinasi masal di Gedung Kesenian Gde Manik Singaraja. Ketiga kawasan tersebut adalah Desa Pemuteran, Desa Gerokgak, dan Desa Kalibukbuk. Harapan dari Bapak Bupati Agus Suradnyana jika permohonannya dikabulkan adalah Buleleng dapat bersiap menerima kunjungan wisata.
Adanya dukungan dari pemerintah tersebut layaknya dijadikan modal oleh masyarakat Desa Pemuteran untuk keluar dari masa paceklik pariwisata. Disamping itu, masa pandemi Covid19 diharapkan sebagai momentum refleksi diri. Dengan demikian, mampu melahirkan pemikiran jernih guna merancang pengembangan ekowisata di Desa Pemuteran kedepannya dan berfikir kritis untuk menemukan potensi-potensi lain yang dapat di kembangkan di Desa Pemuteran.
Konsep Community-Based Tourism (CBT) yang sebelumnya telah berhasil membawa perkembangan pariwisata yang sangat menggembirakan di Desa Pemuteran haruslah dipikirkan kembali pelaksanaannya di masa pandemi Covid19 dan pasca pandemi Covid19. Untuk ke depannya tidaklah cukup hanya menerapkan konsep Community-Based Tourism (CBT) tetap bertahan sebagai destinasi ekowisata yang diminati oleh wisatawan,
Pengembangan ekowisata bahari Desa Pemuteran juga harus memperhatikan aspek-aspek yang diperlukan untuk menangani masalah pandemi Covid19. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk pengembangan ekowisata bahari di Desa Pemuteran dalam masa adaptasi kenormalan baru adalah dengan mengikuti pedoman dan melakukan sertfikasi CHSE. Diharapkan pula, masyarakat Desa Pemuteran dapat lebih berinovasi dalam era digital ini dalam mengemas atraksi wisata di Desa Pemuteran.
DAFTAR PUSTAKA
- Putra, I Nyoman Darm. 2015. Pariwisata Berbasis Masyarakat Model Bali (1st ed). Denpasar: Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana.
- Natalia, O. 2016. Tri Hita Karana. Diakses pada 16 Oktober 2021, dari
- https://www.scribd.com/document/325905645/Tri-Hita-Karana-pdf
- Putri, Trisna. & Citra, Ananda. 2018. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Desa Pemuteran, Kecamatan Kerokgak Kabupaten Buleleng. Jurnal Pendidikan Geografi Undiksha, Volume 6 (1), 12-21.
- Richards, Greg. dan Derek Hall. 2000. Tourism and Sustainable Community Development. London: Routledge.
- Suwena, I Ketut. dan Arismayanti, Ni Ketut. 2016. Pengembangan Pariwisata Hijau sebagai Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pemuteran Kabupaten Buleleng Bali. Seminar Nasional Sains dan Teknologi (Senastek).
- UNWTO. (2020). Tbilisi Declaration: Actions for A Sustainable Recovery Of Tourism. Tbilisi: UNWTO.
- UNWTO. (2020). Alula Framework for Inclusive Community Development Through Tourism. Riyadh: UNWTO.
- Yulius, dkk. (2018). Buku Panduan Kriteris Penetapan Zona Ekowisata Bahari (edisi 1). Bogor: PT Penerbit IPB Press.