“Ye Memen Bajra… luas ke setra… kautus ngundang memedi, memedi pada kaundang, ane peceng perot undang, memedi gigine putih poleng, irik-irikin je kuda wake, wake enyak teken iya, iya enyak ngajak wake, cikapak aji dungkul mengebeng-ngebeng, luwas kija, ka undangan, menginutin rejang jawa, sada teka egah egoh mengabang dadongne kawan”
Lirik ini saya dapatkan pada tahun 2017, kisaran bulan Juni jika saya tilik kembali arsip rekaman suara dari Ida Bagus Putra Manik Aryana dari Griya Delod Pasar Intaran, Sanur yang juga seorang dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Bali Undiksha, Singaraja.
Apa bila tidak salah, dalam ingatan saya mulai pada tahun 2010 di Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha tiap tahunnya pada Malam Gelar Seni (MGS) Jurusan Pendidikan Bahasa Bali membranding event kreatifnya dengan mempopulerkan tari Sang Hyang, ya salah satu dari deretan seni sakral yang dipentaskan melalui MGS tersebut tentu Sang Hyang Memedi.
Lirik Sang Hyang Memedi tersebut saya tulis berdasarkan rekaman tembangnya, tembangnya juga sederhana, mudah diingat dan kerap kali pada awal-awalnya sering saya nyanyikan sambil berbisik ketika dalam perjalanan kemana-mana untuk membunuh rasa penat dalam perjalanan, istilah populernya “easy listning” lah tentu bagi orang Bali yang akrab dengan gending rare, sedikit tidaknya tembangnya serupa dengan genre nyanyian yang ditujukan untuk anak-anak di Bali.
Beberapa waktu setelahnya saya mulai bertanya sebab ada juga keinginan untuk menafsirkan liriknya, ya sebagaimana kita orang Bali belajar menafsirkan suatu gending akibat populernya wayang Chenk Blonk seperti “Bibi Anu lamun payu luas manjus,…”, pertanyaan pertama tentu saja mengenai Memen Bajra, siapakah dia?
Banyak asumsi yang saya kumpulkan, mulai saya gutak-gatik-gatuk, bahwa Memen Bajra adalah ini, ia adalah sebuah representasi dari itu, ia punya kekuatan khusus begini dan begitu sebab sampai diberikan mandate untuk mengundang makhluk halus yang disebut Memedi,dll. Hal tersebut lumayan mengasyikan bagi saya meski tanpa kesimpulan jelas, dan sudah tentu juga beriringan dengan waktu hal itu berlalu.
Namun ingatan atas Memen Bajra kembali hadir ketika membaca buku Catalogue of Balinese Manuscript Vol I ditulis oleh Hinzler tahun 1986 terbitan Leiden, buku yang terbit dengan dua volume tersebut juga menjadi acuan saya dalam meneliti I Ketut Gede Singaraja. Ketika mencermati tiap gambar-gambar di dalamnya, mata saya tertuju pada satu figur dalam edisi gambar yang dikumpulkan oleh Van der Tuuk dari artists (istilah juru gambar pada buku tersebut) Banjar Beratan, Singaraja.
Satu diantara tiga figur tersebut menampilkan wujud perempuan dengan keterangan beraksara Bali “Karang Men Bajra” digambarkan dengan rambut panjang megambahan (terurai), berkalung selendang atau kain, mempergunakan kamen duur ntud (kain kamen pendek, di atas lutut) yang identik dengan cerita ilmu hitam orang-orang Bali, dan yang khas adalah dua buah dadanya sangat panjang, menjuntai ke bawah hingga hampir menyentuh lututnya dengan posisi berdiri, mungkin karena panjangnya buah dada tokoh ini maka tangannya digambarkan memegang pangkal buah dadanya, atau malah memainkannya? Bisa jadi.
Di tempat saya di Desa Taman Pohmanis, Denpasar, terkenang dengan cerita orang-orang tua sewaktu saya masih masa anak-anak bahwa di wilayah belakang Pura Puseh dan Pura Desa yang dulunya masih lebih belukar daripada sekarang sering terlihat figur perempuan serupa dengan penggambaran Men Bajra, akan tetapi di sini disebut dengan “Emplek-emplek Mbe” yang suka menggoda anak kecil yang bermain di areal belakang pura pada Jejeg Ai (pukul 12 siang tepat) atau Sandikaon/Sandikala (waktu temaran senja menuju malam).
Cara menggodanya konon dengan memainkan buah dadanya yang panjang sehingga berbunyi “keteplak-keteplek” tentu cerita tersebut akan membuat saya dan teman-teman ketakutan pada waktu itu dan sebisa mungkin untuk tidak melanggar waktu bermain. Singkat kata, bisa jadi Men Bajra dengan Emplek-emplek Mbe” adalah satu tokoh dengan nama berbeda.
Kembali ke buku kumpulan ilustrasi manuskrip tersebut, saya menjumpai kembali satu foto Men Bajra yang terpahatkan pada satu bangunan palinggih, dalam keterangannya ditulis Pura Dalem Petandakan, Buleleng, akan tetapi saya merasa familiar dengan lokasi foto diambil, setelah mengecek arsip Nglesir Visual di daerah Buleleng, ternyata lokasi tepatnya adalah di Pura Dalem Banjar, Buleleng, yang pernah saya foto bersama teman-teman pasca musibah kebakaran yang menghanguskan palinggih gedong pura.
Men Bajra yang sama telah direstorasi dan dipulas dengan warna terpahatkan pada tubuh palinggih pangapit lawing di depan kori pamedalan. Setelah melakukan perbandingan foto yang sekiranya diambil untuk buku tersebut kisaran tahun 1970-1980an dengan arsip foto Nglesir Visual saya pada 20 Januari 2020 ternyata ada sedikit perubahan.
Foto di buku menunjukan kerusakan pada bagian wajah, dan tubuh akibat material yang aus keropos, ikografi yang paling khas adalah buah dada bagian kanan patung masih utuh terpahatkan dengan ikonik panjang menyentuh lutut dalam posisi duduk, sedangkan buah dada bagian kiri juga terlihat aus dan keropos. Pada dokumentasi tahun 2020 wajah sudah diperbaiki namun buah dada yang menjadi ikonografi khas Men Bajra dibuat lebih pendek, kemungkinan terjadi kebingungan pada saat restorasinya, rambut masih tetap panjang terurai.
Perbedaan ikonografi Men Bajra antara yang digambarkan pada buku dengan pahatan secara signifikan dapat dilihat pada wajah, guratan seniman Banjar Bratan mengguratnya dengan wajah manusia akan tetapi yang terpahatkan di Pura Dalem Banjar berwajah lebih seram serupa raksasa. Hal ini lebih kepada representasi seniman yang sudah tentu mempunyai penafsiran tersendiri atas ketokohan Men Bajra yang digambarkan sebagai makhluk magis, Samar, dan sering kali dihubungkan dengan kaki tangan Dhurga. Lebih dari pada itu, yang masih menjadi pertanyaan saya adalah, mengapa Men Bajra diutus untuk mengundang Memedi? Jawaban pasti belum saya temukan. [T]
Pohmanis, 27 Maret 2022.