Dua orang perempuan memanggul gong, memasuki ruang pameran Studiodikubu, dalam langkah yang beraturan itu, satu orang memukul gong dalam hitungan jeda tertentu. Sejurus itu terdengar juga sayup bunyi gong dari kejauhan, seolah gong itu bersahutan.
Tidak berhenti sampai di situ, dua pasangan gong tersebut memasuki ruang-ruang pameran secara bergantian, bunyi berpantulan, memperkosa ruang, peristiwa kejutan bagi yang berada di ruang pameran. Gong-gong itu sedang mengajak para penonton agar menuju Main Hall Ruang Baur Seni : Fraksi Epos, untuk menonton pertunjukan utuhnya. Semacam tanda ajakan lewat bunyi.
Itulah sekiranya gambaran adegan pembuka pementasan KaRang (Kata Ruang) garapan sanggar S’mara Murti yang digarap oleh Srayamurtikanti tanggal 5 Maret 2022 di Main Hall Ruang Baur Seni : Fraksi Epos di Kuta Bali.
Saya mengenal Sraya sebagai komposer perempuan yang namanya tengah diperbincangkan, jika ada satu event yang saya ikuti, pasti ada namanya. Tidak berlebihan saya mengatakan Sraya seniman yang produktif dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Menyoal KaRang, karya yang khusus ia kerjakan untuk Fraksi Epos, merupakan pembacaan atas respon ruang di Mall. Ruang menjadi kunci karya ini hidup, tapi juga sekaligus memberi efek kejutan bagi Sraya.
Usai ia pentas, saya sempat berbincang lumayan intens tentang karya ini. Bagi saya, Sraya tengah mencari kejutan tak terukur, ketidakdugaan atas pentasnya. Sebab sebelumnya ia tidak pernah meneliti atau mengobservasi ruang dengan alat yang ia gunakan, tentu pembacaan mata menjadi hal berbeda jika dibandingkan dengan pembacaan bunyi dari alat tertentu.
Yang saya tahu alat itu tidak sempat bergumul lama dengan ruang di sana, hanya satu hari saja.makanya saya katakan, alih-alih sedang mengkomposisi, sebenarnya karya ini sedang mencari kemungkinan yang dapat dikategorisasi kemudian. Bukan karya yang berhenti, tapi karya tumbuh yang dapat dikembangkan lebih lanjut atas temuan-temuan saat itu.
“Siapa yang sedang diperkosa? Kamu sebagai pelaku atau ruangnya?” tanya saya kepadanya
Sebenarnya Sraya sedang diusik juga dengan pantulan bunyi yang ia taburkan di setiap ruang. Mungkin saja jika mengkomposisi sebulan sebelum pentas, bunyi dapat ditakar, bunyi dapat diperhitungkan lalu kemudian menjadi satu bentuk sajian estetika yang ia suka. Tapi kali itu bunyi dibiarkan begitu saja, lepas, berbaur, sehingga ada pantulan bunyi yang mungkin saja ia tidak suka, tapi harus ia dengar.
Di sana letak kejutannya, yang tidak hanya mengganggu penonton, tapi sekaligus juga mengganggu pendengaran keempat perempuan yang sedang tampil. Mengganggu ini, konteksnya baik yah. Setidaknya mengganggu pendengaran dari bunyi atau suara yang biasanya dipilih secara subjektif.
Selebihnya pementasan berlangsung di Main Hall, dengan menggunakan rangkaian tembang, pantulan daun gender, dentuman gong serta kemungkinan bunyi padat dari selonding. Bagi saya komposisi ini seperti kolaborasi bunyi yang mengandung pencampuran tanpa batas dengan tambahan fragmen gerak serta simbol, mengundang pertanyaan seperti “kok gitu?, kok bisa gitu?, kok dianukan gongnya”. Sejumlah penonton yang saya tanyakan mengatakan garapan ini memiliki keluasan interpretasi tidak hanya dipandang dari segi keindahan, tapi juga interteks yang berkelindan di kepala penonton.
“Aduh Bli, sebenarnya saya bingung, tapi saya suka melihat dan mendengarnya” Ujar Rasmana salah satu kawan yang menonton.
Sebenarnya kalau boleh saya jujur-sejujurnya dari hati yang paling dalam, klee berlebihan sajan saya nok. Karya Kata Ruang ini menjadi kuat karena ada jelajah bunyi atas ruang di adegan pertama. Bila saja formula ini dipakai lebih dominan, tentu menjadi karya yang jauh lebih mengejutkan. Semisal gendernya ada di ruang A, Selondingnya di ruang B, gongnya ada di ruang C, dan seterusnya.
Penonton berada di tengah-tengah, di antara persimpangan bunyi, dan lalu lintas pemain yang selalu berpindah. Penonton tidak diberi visual bentuk alat, hanya bunyi yang berpantulan di ruang-ruang itu. Aiiiiiiiih, ah sukeh baan ngomong. Ini hanya opini saya sebagai penikmat ya teman-teman, kan memang begitu posisi penonton selalu punya daya tawar, yang belum tentu saya bisa wujudkan. Malangnya saya.
Tapi lebih jauh, ada adegan yang saya suka, ketika dua orang pemain, memakai gong di atas kepalanya. Kemudian mereka bernyanyi, bukan lirik, tapi semacam nada-nada gender. Suara mereka berpantulan di dalam gong, kami yang mendengar mendapat pantulan sekaligus suara asli. Seperti orang yang bergumam dalam ruang pengap dan tertutup. Efek terkukung, tersudut, terpojok dan suara yang seolah bungkam. Jika ditarik dalam isu perempuan hari ini, banyak lini kesenian yang dulunya tidak memberi porsi perempuan hadir, untuk memberi sudut pandangnya. Gambaran ini kemudian terpatahkan dengan karya Sraya.
“Saya ingin teman-teman perempuan saya bebas dengan keinginannya, tanpa bersekat apapun” ujar Sraya saat saya berbincang dengannya.
Era perempuan yang tersudut, bisa dikata sudah pudar. Melalui karya-karya seperti KaRang yang memberi narasi tawar terhadap perempuan, atas apa yang bisa lakukan secara mandiri. Akhir kata, selamat atas karyanya dan ditunggu karya selanjutnya.[T]