Poni. Begitu panggilan akrabnya. Adalah seorang perempuan bernama lengkap Ketut Sriponi yang berasal dari Desa Jinengdalem, Kabupaten Buleleng, Bali. Disini mungkin belum nampak hal yang menjadikan seorang Ketut Sriponi istimewa. Namun nyatanya Ketut Sriponi adalah pemilik dari Poni’s Songket Weaving Centre, sebuah UMKM pusat kerajinan tenun di Desa Jinengdalem.
Hasil perjalanan beberapa waktu lalu membuahkan hasil perbincangan dengan Poni. Sekitar 1-3 km dari gapura masuk ke Desa Jinengdalem, kita akan melalui Pura Dalem Desa Jinengdalem, menyusuri jalanan yang menurun hingga sedikit berbatu. Awalnya cukup sulit untuk mencapai rumah Poni yang sekaligus juga menjadi galerinya, tapi dengan bermodalkan kemantapan hati sampai juga menemukan plang yang tergantung cukup jelas “Poni’s Songket”. Perbincangan malam itu cukup hangat, sambil tersenyum Poni mempersilahkan kami masuk ke showroomnya. mencari data mengenai usaha tenunnya, “Ya ibu sih selalu melayani kalau ada mahasiswa yang datang. Sering, kok”
Poni menjadi salah satu dari pengrajin tenun khas Jinengdalem yang masih eksis hingga sekarang. Sebagai seorang pengepul, Poni juga memiliki beberapa pengrajin tenun yang langsung mengerjakan dan mengalami sendiri proses pembuatan kain yang tak bisa dikatakan sebentar ini.
Salah satunya, Luh Sariani, seorang penenun dari Desa Jinengdalem yang telah menenun selama 10 tahun juga menyebut bahwa proses pembuatan selembar kain bisa memakan waktu 1-1,5 bulan tergantung pada tingkat kerumitannya dan jenis kainnya, “Lamanya kain tenun selesai bergantung juga dari ukurannya, kalau kamen (kain panjang) lebih lama, kalau selendang bisa lebih cepat”. Sembari berbincang santai, Luh Sariani juga menunjukkan kainnya yang masih seperempat jadi.
Baik Luh Sarini dan Poni keduanya masih bergairah dengan pekerjaan yang mereka lakoni dalam kesenian tenun. Kendati tenun menjadi kegiatan yang rumit dan menghabiskan banyak waktu serta tenaga, keduanya melihat bahwa dengan tenunlah hidup mereka bisa terus berlanjut, bahwa dari menenunlah mereka memperoleh pengupa jiwa.
Untuk mengenal lebih jauh mengenai budaya menenun songket, kita harus berjalan sekitar 8 kilometer dari pusat Kota Singaraja menuju ke sebuah desa. Adalah Desa Jinengdalem yang menjadi tempat ibu-ibu ini mengenal dan meneruskan kerja tenun mereka.
Jinengdalem memiliki sejarah panjang yang erat dengan perkembangan seni budaya, salah satunya kesenian tenun songket Jinengdalem. Tidak banyak saat ini yang bisa diulik mengenai sejarah lahir dan berkembangnya budaya tenun di desa ini karena minimnya penelitian budaya dan sumber tertulis tentang Jinengdalem. Namun, apabila bertanya pada masyarakat setempat dimana kita bisa melihat produk kain songket Jinengdalem, jawaban yang akan kita dapat adalah Poni’s Songket.
Sejak bertahun-tahun lalu kerajinan tenun songket Jinengdalem yang ditekuni oleh Ketut Sriponi dipandang telah menghasilkan jenis kain yang terkenal kualitas bahan, warna, dan motifnya yang sangat nyeni. Keterkenalannya tidak pula meredup walaupun saat ini telah banyak pengrajin muncul ke permukaan dan turut pula dalam percaturan industri fashion dan tekstil, ditambah hantaman pandemi Covid-19.
Sayangnya, dibalik glorifikasi seni tenun sebagai sebuah eksotisme budaya, kondisi kesenian tenun sendiri sekarang seperti lantunan dalam lagu Judika, putus atau terus. Terjadi kelesuan proses pewarisan pengetahuan tenun pada generasi muda di Jinengdalem.
Selain karena anak-anak muda yang sudah disibukkan dengan kegiatan sekolah, banyak dari mereka juga memilih untuk bekerja pada sektor industri yang lebih besar dengan anggapan memperoleh penghidupan yang lebih terjamin. Proses mempelajari seni tenun juga bukan kegiatan yang mudah dan cepat, proses belajar yang lama dan kompleks di dalam pola kehidupan yang serba instan juga menjadi faktor terputusnya rantai pewarisan pengetahuan budaya tenun.
***
Penulis mewawancarai Poni mengenai keberlangsungan kerjanya dalam bidang tenun dan pandangan tentang tenun saat ini di mata generasi muda.
- Sejak kapan Ibu mulai berkecimpung di dunia tenun?
Ibu sudah menenun dari usia 11 tahun, saat itu keterampilan tenun ‘kan masih diwariskan secara turun-temurun dan saat itu masih bekerja bersama kakak.
- Ceritanya sampai bisa mendirikan Poni’s Songket?
Dulu itu sebenarnya kesenian tenun di Jinengdalem sempat mati suri karena banyak ditinggalkan penenunnya. Kemudian di tahun 2011 ada pembinaan untuk UMKM tenun dari Garuda Indonesia. Dibina teknis-teknisnya sampai cara pencelupan benang, dsb lalu Garuda Indonesia juga memberikan modal awal untuk penghidupan UMKM tenun sebesar lima puluh juta. Sistemnya dengan kredit, saat itulah ibu gunakan kesempatannya untuk mendirikan Poni’s Songket.
- Berapa penenun yang bekerja dengan Ibu?
Dulu di awal sekali hanya 4 orang, sekarang sudah mencapai 30 orang.
- Apakah Ibu menenun jenis kain selain songket?
Saat ini masih kain songket saja.
- Motif-motif apa saja yang ada pada kain tenun yang Ibu produksi?
Ada motif jumputan, kangkungan dan kalau yang asli dari Buleleng dan sudah ada sejak lama ada motif patrasari, patrapunggel, sungenge, bunga anggur, dan bunga pot.
- Apakah COVID memengaruhi keberlanjutan para penenun yang bekerja dengan Ibu?
Syukurnya pengrajin yang bekerja dengan Ibu masih bertahan. Permintaan-permintaan kain songket masih tetap ada juga.
- Apakah ada acara tertentu yang biasa Ibu lakukan terkait usaha tenun ini?
Sering. Ibu sering mengikuti pameran dan mewakili Kabupaten Buleleng. Beberapa kali kain dari Ibu juga dipercaya dan digunakan oleh beberapa petinggi, salah satunya digunakan oleh bapak Presiden Joko Widodo, yang dipakai saat pidato di HUT PDIP tahun 2018.
- Sepengetahuan ibu, bagaimana minat generasi muda dalam melakoni pekerjaan tenun?
Ibu melihat sekarang generasi muda sudah semakin kecil minatnya ke dunia tenun, kami para penenun bertahan di usia tua seperti ini. Jika dilihat kedepannya paling yang muncul hanya beberapa saja dan tidak sebanyak dulu. Mungkin karena pengaruh terlalu asik dengan bermain handphone, ya? Hahaha. Padahal jika diseriusi, menenun dari rumah saja menjanjikan keuntungan yang tidak kalah dengan sektor industri. Akan tetapi kuncinya harus yakin dan telaten karena proses belajar hingga menenunnya memerlukan waktu yang lama. Sayang sekali ibu belum melihat minat seperti itu di generasi muda sekarang.
- Kalau begitu terkhusus untuk usaha Ibu sendiri, apa yang dicita-citakan?
Berharapnya sih ya makin berkembang, hahaha. Mungkin kedepan bisa diteruskan oleh anak atau mungkin menantu. Supaya budaya tenun khas Jinengdalem juga tidak punah begitu saja.
***
Bagi Poni dan penenun lainnya, tenun adalah tentang budaya dan penghidupan. Bagi masyarakat, tenun adalah identitas. Identitas sendiri bukanlah suatu hal yang absolut, maka dari itu ia bisa terlepas kapan saja begitu praktiknya mulai ditinggalkan oleh para pelakunya. Sangat diperlukan adanya perubahan, namun pertama-tama perlu sekali penyadaran.
Terima kasih atas wawancaranya, Ibu Poni dan Ibu Sariani! [T]