Saya menyebut mereka kelompok Tengkorak, yang senantiasa berpakaian serba hitam, ialah kelompok Skullism Record. Diprakarsai oleh Gung Yoga kelompok musik di bawah payung Record Label Skullism ini berubah menjadi satu gagasan menyama braya. Selayaknya menyama braya kelompok ini selalu bergotong royong, mengambil pekerjaan atas asas asah, asih, asuh. Hingga kerja-kerja mereka selalu menyenangkan, penuh dengan tawa, canda, dan ruang yang diselimuti atmosphere kekeluargaan.
Ada banyak band yang pernah dirilis oleh record label ini, seperti Kanekuro, Milledenials, Shankar, MOTB, Anolian, The Jeet, Dumbleed, Cyclops, Cassadaga, Bluff!, Berry Mono dan anggota band tersebutlah yang bergaul dalam lingkaran Skullism.
Gung Yoga memberikan satu pewacanaan bahwa Skullism ingin mengusung band-band yang berbeda gendre. Tentu pemahaman ini memberikan satu pengetahuan lintas displin saat mereka sedang bekerja, seperti nak mebanjar ketika membuat klangsah, tetaring, atau klakat selalu dihiasi tukar tangkap gagasan, atau opini untuk meramaikan suasana.
Dialektika kelompok Skullism ini bergerak cair seperti itu, yang tanpa harus dibuatkan satu acara pun mereka tetap melakukan dialog. Bahkan sudah menjadi hal biasa saling mengisi, saling mengkritisi, saling berkomentar jika diantara mereka ada yang melakukan showcase, peluncuran album, atau manggung di suatu acara. Satu dari dampak lingkungan organik ini adalah pameran seni instalasi band di Ruang Baur Seni : Fraksi Epos.
Pameran seni instalasi ini dilaksanakan di Ruang Baur Seni: Fraksi Epos, pada Week II di Bulan Februari di South Beach – Kuta. Instalasi ini merupakan kerja alih wahana dari setiap band yang terlibat yaitu Kanekuro, Shankar, Milledenials, MOTB dan Cassadaga. Alihwahana memang kerap terjadi pada dunia kesenian, ia dihadirkan sebagai perpanjangan tangan atas suatu karya atau mempertegas satu pesan yang ingin disampaikan, dan tentu saja dapat memberi imaji varian interpretasi pada penikmat seni.
Misalkan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang dialihwahanakan menjadi musikalisasi puisi oleh duo Ari – Reda, Novel Seperti Dendam, Rindu Harus di Bayar Tuntas karya Eka Kurniawan jadi Film di tangan sutradara Edwin, Teks-teks kekawin menjadi pertunjukan tari oleh koreografer Dayu Ani, teks monolog Putu Wijaya menjadi performing art lukis oleh seniman Nyoman Erawan dan lain sebagainya.
Tapi representasi band menjadi seni instalasi, sependek sepengetahuan saya, saya baru melihat di Skullism. Nakal, jenaka dan berenergi. Begitulah yang saya rasakan ketika memperhatikan karya-karya instalasi mereka.
Alihwahana itu, begini…..
Terus terang saja, saya tidak melakukan konfirmasi atau bertanya pada anggota band yang membuat instalasi. Saya hanya berbekal rilisan lagu yang pernah saya dengar, untuk kemudian mencoba mengiris makna, atau meraba apa yang mereka ingin sampaikan. MOTB (Madness on The Block) kelompok hip-hop post bebanjaran ini memiliki materi lagu yang gemar berada pada ruang abu-abu suatu realitas sosial masyarakat Bali.
Lirik-liriknya sarat akan deskripsi peristiwa sekaligus metafor dari kata sehari-hari, namun mampu mempengaruhi pengalaman komunal warga pendengar. Kejenakaan ini hadir dengan instalasi yang cukup “anu”, ah saya menggunakan kata “anu” saja, susah mencari padanan kata perasaan saya untuk menjelaskan karya mereka.
Sebuah langse berukuran cukup besar, yang biasaya digunakan untuk menghias bale dangin, atau untuk pergelaran arja, berwarna merah yang didominasi warna emas. Mereka tagging -tumpuk dengan huruf berkarakteristik bulat tapi masih terbaca, MOTB. Dengan arsir putih, dan aksen penegas pada setiap huruf tersebut. Penumpukan tagging ini seperti penumpukan kebudayaan atas sesuatu gagasan anyar yang melingkupi kehidupan orang Bali.
Di langse biasanya terdapat gambar tentang cukilan epos Ramayana dan Mahabrata. Hari ini anak-anak muda kita yang terpapar game online, seperti Mobile Legend, Ragnarok, atau sejumlah game dengan karakter-karakter dan kisah yang mempesona. Anak-anak muda mungkin saja lebih mengenal karakter tersebut, dibanding dengan karakter Ramayana.
Posisi cerita atau epos yang konvensional ini, samar keberadaannya tergerus zaman dan teknologi. Beberapa kalangan mencoba menghidupkannya lewat nalar teknologi, ada kok permainan Epos Ramayana di dunia virtual yang dikembangankan oleh sekelompok kawan-kawan pencinta sastra jawa kuno dan lontar. Tapi keberadaannya tetap saja dipinggiran , karena arus utama kapitalis dan pemodal sudah memonopoli visual dan pemikiran anak-anak muda kita. Karya MOTB ini sedang menavigasi keresahan narasi tersebut.
Sementara itu Band Kanekuro beraliran Pos Punk Impulsive Disorder membuat instalasi seorang Iblis yang gantung diri karena kehilangan pekerjaannya sebagai seorang iblis. Instalasi itu berupa benda yang menyerupai seorang manusia, matanya mengeluarkan cairan berwarna merah, bajunya terusan montir bengkel, ada tali tambang yang melingkar dilehernya, satu tangannya menggengam surat, sekilas seperti surat yang ditinggalkan untuk menjawab kematian sang iblis.
Salah satu alasan kematian bunuh diri dalam hal ini gantung diri, adalah depresi. Di tengah kita sering terjadi hal demikian, bunuh diri karena terlilit hutang, masalah keluarga, broken home, putus cinta, video pornonya tersebar, PHK dari pekerjaan, pekerjaan kantor yang menjenuhkan dan lain sebagainya.
Begitu cepatnya manusia mengambil keputusan untuk bunuh diri. Manusia yang dinobatkan mahluk tertinggi, karena memiliki akal dan budi tidak dapat berfikir jernih selalu berada pada pemikiran keruh. Pertanyaannya? apa, bagaimana, dan siapa yang mempengaruhi pemikiran keruh tersebut. Ada satu kasus menarik, di satu negara di luar Indonesia, anak-anak remajanya terpapar game online, karakter yang mati dapat hidup kembali dengan cepat. Ter-restart hidup lagi. Anekdot inilah yang mempermudah mereka untuk mengambil keputusan untuk bunuh diri, karena ia merasa akan hidup kembali. Seperti dunia game.
Peran iblis untuk membisiki manusia agar melakukan hal-hal amoral telah digantikan dengan adanya teknologi, makanya sang iblis depresi, memilih untuk bunuh diri juga. Perannya di dunia sudah tidak berguna. Mungkin saja ketika ia berbisik ketelinga manusia, yang bersangkutan sedang memakai headset – bebas gangguan, bermain Free Fire, tengah asik menembaki musuh di depan layar komputer. Iblis merasa dikacangin dan sakit hati, lalu pikirannya keruh, mengambil tali, bunuh diri.
Seni instalasi dari Band Cassadaga eksperimental rock, tampak seperti sebuah altar persembahan, bentuknya berupa kain warna hitam, putih dan merah dengan coretan aksara yang memiliki tekstur kasar, tulisan itu tidak bersambung rapi, namun bercak-bercak saling berkomposisi. Ada bentuk yang familiar berupa sanggah cucuk yang diselimuti kain dengan corak yang sama.
Di bawah ruang segitiga tersebut ada pedupaan, dan frame-frame disejajarkan mirip dengan tempat sesembahan yang agung. Instalasi ini memberi kesan satu ajaran-sekte yang merupakan bentuk kebudayaan manusia dalam menjawab suatu hal yang tidak dapat terjelaskan. Keyakinan tumbuh dalam ranah kesadaran kemudian sampai pada alam bawah sadar, sehingga laku manusianya sangat menubuh pada aliran tersebut. Lalu muncul gerakan fanatisme dan egosentris yang tinggi, inilah oknum yang sering kali mempunyai masalah pada isu kebhinekaan Indonesia. Mungkin saja lewat instalasi ini Cassadaga ingin menyoroti kelompok – kelompok fanatik atas keyakinan mereka yang senantiasa menyalahkan keyakinan orang lain.
Jika dilihat secara timeline waktu, belakangan mereka menggunakan gambar – gambar kain ini, untuk mendukung satu single mereka bertajuk Prayascita. Dalam konsep Bali, kata Prayascita adalah satu varian banten untuk membersihkan. Kalau membeli motor baru, atau rumah yang baru direnovasi biasanya dibantenin Prayascita terlebih dahulu, untuk melebur energi-energi negatif yang menyangkut dari tempat sebelumnya. Hal ini juga terkait pemikiran, ketenangan jiwa dan batin. Biasanya banten ini digunakan untuk membersihkan stigma yang dulu keruh-butek, jadi agak terbersihkan untuk melangsungkan hidup yang damai – bahagia.
Cassadaga nampaknya ingin menjadi satu bentuk alternatif pembersihan pikiran dengan olah visual, olah dengar, lewat karya audio visual mereka. Atau juga memberi ancang-ancang kepada penikmatnya agar berwaspada terhadap gerak zaman hari ini, terutama manusia-manusia yang memiliki sifat fanatik atas satu keyakinan. Agar ditelisik lebih kritis, jangan-jangan kehadirannya untuk mensubtitusi.
Band Shankar beraliran doom metal membuat patung dari kertas, sosok yang memiliki tubuh manusia dengan kepala kambing. Mirip seperti patung dewa romawi kuno, Baphomet, namun ditangan Shankar sejumlah simbolnya dikontruksi ulang sesuai interpretasi mereka. Seperti tanduk pada Baphomet biasanya naik ke atas, namun mereka buat melingkar seperti domba dari garut. Tangan kiri patung menujuk ke depan, biasanya tangan patung Baphomet yang kanan mengarah ke atas, yang kiri ke bawah. Dua anak yang berkerudung hitam sambil menadah tangan mereka ke atas – depan, pada patung Baphomet, dua anak ini menengadah ke wajah patung dengan senyum.
Saya tertarik dengan simbol tangan yang mengarah ke depan itu, mungkin arti bebasnya ialah kesetaraan dalam sinkronik waktu sekarang. Mengingat kelompok skullism record selalu menebalkan kesejajaran dalam bentuk apapun. Keadilan yang mereka yakini adalah kesetaraan dalam musik, walaupun memiliki gendre dan ranah kerja berbeda, mereka sesungguhnya sama saja. Dalam bahasa sama saja itulah mereka hadir untuk membantu satu sama lain. Sebuah dunia ideal dalam gelembung yang mereka harapkan bersama.
Sekali tiga uang dengan Cassadaga, Shankar juga ingin menggaris bawahi satu aliran yang pernah eksis pada zamannya. Aliran ini tidak hanya merunut pada ritual atau ritus kebudayaan umat, tapi juga menyebar menjadi alih wahana ke dalam musik. Mungkin ia ingin menegaskan musik juga dapat dipakai untuk menarik umat, karena sifatnya universal, yang dapat didengar dan dilihat saat performance berlangsung.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa band Shakar adalah aliran, namun justru melampui hal itu, bahwa cara mereka bermusik telah bergeser pada pintasan keyakinan saat ini. Relevansinya justru berbeda dengan dewa Baphomet yang dulu, makanya mereka rekonstruksi dengan kesadaran yang utuh, sebagai gerakan pergeseran makna.
Dan yang terakhir adalah band Milledenials, saya rasa memiliki nafas instalasi berbeda dari ke empat instalasi yang saya jelaskan di atas. Instalasi mereka berupa boneka beruang besar – sedang duduk santai, bersandar pada fragmen ring (ring tinju) yang hanya dibuat dua sisi, bantalan duduk beruang besar berbulu coklat tersebut berupa gumpalan kapas putih, seperti di atas awan. Instalasi ini di rangkai di bawah, setara dengan lantai, jadi para pengunjung harus menatap ke bawah.
Jika membaca simbol dari intalasi tersebut, Boneka Beruang besar ini identik dengan anak-anak atau masa kecil kita yang selalu beririsan dengan boneka. Sifatnya kemanja-manjaan yang unyu, sementara fragmen ring tinju sering diartikan sebagai kekerasan maskulin, pertempuran kekuatan laki-laki dalam menentukan pemenang.
Sementara awan tempatnya di langit, di atas, malah kita disungguhkan untuk melihat awan ke bawah . Jika disadari kita sesungguhnya juga berada di atas awan (karena awannya setara dengan kaki) , yang sedang melihat beruang duduk. Pertanyaan siapa kita yang manusia ini, lagi jalan-jalan di atas awan ?, atau kita berperan menjadi sesuatu yang bukan manusia?
Bagi saya instalasi ini mengajak kita untuk kembali ke masak kanak-kanak, dengan boneka beruang, berimajinasi memiliki sayap seperti burung lalu terbang menembus awan. Kekerasan di ring tinju itu, mungkin saja bisa diartikan bahwa sesekali memang ada pertengkaran kecil antara anak satu dengan anak lain, untuk merebut wilayah bermain, atau mainan yang kita suka.
Tapi pertengkaran itu bersifat sementara, esoknya kita kembali lagi bermain, pertengkaran cepat kita lupakan, tetap bermain seperti tidak ada masalah. Ah Milledenials sungguh sialan, menaruh saya sebagai bahan percobaan untuk kembali ke masa lalu. Tempat di mana mimpi-mimpi berlabuh di atas awan putih nan bersih.
“Tit…tiiit….tiiit….tiiiit…” teman-teman pasti tahu suara apa ini.
Benar….
Kilometer listrik saya berbunyi, tanda harus bangun dari mimpi awan putih, saya terjun bebas ke bawah tanah tanpa parasut. Berlari ke counter terdekat, membeli kwh 30ribu, 20 ribu untuk Inmild mentol. Uang terakhir 50K di kantong, lenyap sudah. [T]