Diskusi virtual “Yang Muda Yang Tua Menulis Kritik Sastra Bali Modern” oleh Festival Sastra Bali Modern – Pertama dan Terbesar di Dunia, diawali dengan musikalisasi puisi oleh Komunitas Cemara Angin dengan judul Puisi Margarana karya Wayan Rugeg Nataran dan Musikalisasi puisi oleh Sastra Welang – Puisi Gendingan Buung karya Tatukung.
Sembari menunggu peserta diskusi yang memasuki ruangan virtual. Saya, sebagai moderator, merasa seperti berbelanja ke toko oleh-oleh yang iringi lagu syahdunya Gus Teja. Ah tapi sayang , toko oleh-oleh tidak seperti penulis kritik sastra Bali Modern, belum menjamur di mana-mana. Untuk itu diskusi-diskusi pematik seperti ini diharapkan dapat memberi pupuk bergizi kepada kawan yang mungkin saja saat ini tengah belajar untuk menulis kritik.
Diskusi ini dilaksanakan setelah adanya lomba kritik sastra Bali Modern yang dilaksanakan oleh Suara Saking Bali. Lomba ini tidak berhenti pada tataran juara saja, namun mencoba menjabarkan di atas meja, siapa saja peserta yang terlibat, latar belakang peserta, wilayah tinggal, rentangan usia, serta karya yang dianggap bagus dan kurang bagus, atau jelek saja belum.
Kemudian dari menata data tersebut, bertemulah kawan-kawan penggagas dengan diksi “paling”. Memang dengan sangat mudah untuk menggunakan ke”palingan” ini, karena selalu berada pada pemahaman oposisi biner. Dalam diskusi yang berlangsung pada Sabtu, 12 Februari 2022, digunakan konteks seberangan umur, yakni Paling Muda dengan Paling Tua. Mengundang Nabila kelahiran 2005 yang masih duduk di bangku SMA dengan I Komang Warsa kelahiran 1969 yang berprofesi sebagai guru.
Nabila dalam paparannya mengatakan, ini kali pertama mengikuti lomba menulis kritik, dan menjadi pengalaman menarik dalam melakukan eksplorasi ide dan gagasan dalam menulis. Dirinya juga mendapat bimbingan dan dorongan dari guru Bahasa Bali di SMA Bali Mandara, Weda Sanjaya. Selain itu ia kerap membaca majalah Suara Saking Bali, yang memberikan stimulus pemikirannya untuk mulai menulis.
“Di sekolah saya belum ada kelompok, jadi masih sama mentor, tapi deg deg an juga ternyata yang ikut lomba banyak, dan usianya jauh di atas saya” ujarnya
Bapak Komang Warsa juga mengapresiasi lomba kritik semacam ini, adalah sebuah pemantik untuk memunculkan nama-nama baru dalam skena kepenulisan kritik terutama untuk karya Sastra Bali Modern. Baginya ekosistem sastra tidak akan berjalan jika tidak adanya tukang kritik yang menulis. Agar para penulis buku mengetahui celah, lubang, dan kemungkinan pembacaan lain jika ingin menulis lagi dikemudian hari.
Lebih jauh Pak Komang juga mengkritik terkait tidak adanya kategorisasi umur pada lomba kritik ini. Sebab ia merasa tidak adil karena pertarungan karyanya jadi jomplang, tentu hal ini mengacu pada layer ilmu pengetahuan seseorang di usia tertentu. Mungkin saja hal ini menjadi pertimbangan ke depan, agar yang muda dapat bertarung pada usia yang sama.
“Penting itu, kalau gini kan, saya bertemu dan bertarung dengan anak saya jadinya (mengacu Nabila) , jika tidak ada kategorisasi usia yang ditetapkan” kata pak Komang.
Kritik ini langsung ditanggapi oleh Putu Supartika selaku penyelanggara lomba, ia membebaskan siapapun yang mengikuti lomba. Tidak terpaut umur sekalipun. Baginya lomba ini adalah stimulus untuk menumbuhkan ruang-ruang kritik di segala lini. Baginya tidak menjadi masalah pertarungan tulisan itu berbaur, yang jadi masalahnya jika kawan-kawan berhenti di lomba saja, kemudian tidak bergerak pada kritik-kritik selanjutnya.
“Kami memang tidak membatasi kok, hal ini menjadi bebas saja, siapa saja boleh ikut, tentu ini memiliki kemungkinan lain waktu lomba berlangsung. Belum tentu yang muda tulisannya kalah sama yang senior, begitu juga sebaliknya. Saya ingin melihat hal tersebut.” ujar Putu
Hal ini juga ditanggapi oleh Wayan Sumahardika, tentu pertimbangan kategori ini tidak bisa dibebankan ke Suara Saking Bali. Bisa jadi kepada kawan-kawan yang ingin membuat hal serupa di luar konteks lomba, seperti jaringan guru bahasa Bali antar sekolah. Mungkin saja jaringan kerja kreatif ini dapat menumbuhkan ruang kesusastraan Bali Modern melalui hegemoni sekolah. Pertanyaanya adalah ;
“Apakah guru bahasa Bali berjejaring dan bagaimana pergerakan jaringannya, sejauh mana kemudian gerakannya?” tanya Suma
Langsung ditanggap oleh Weda Sanjaya selaku Guru Bahasa Bali, ia menjelaskan jaringan perlahan sedang terbentuk melalui diskusi-diskusi kecil yang ia lakukan antar sekolah bahkan antar kabupaten. Sayangnya, guru Bahasa Bali yang menulis sastra masih tergolong sedikit. Malah yang menulis Sastra Bali Modern dari jurusan berbeda. Sebagai guru ia sudah melakukan pembinaan di sekolahnya, agar tampil dan unjuk kebolehan dalam lomba-lomba semacam ini.
“Saya mulai dari sekolah saya, agar anak-anak percaya diri, saya yang mendorong, sekaligus mendampingi. Jaringan kerja guru Bahasa Bali sedang mengarah pada jalur yang sedang dibicarakan, memang dibutuhkan sistem komunitas juga di luar kerja guru.” tanggapnya.
Bagi saya sebagai seorang moderator, titik berat diskusi kemarin ialah pada kategorisasi usia lomba dan bagaimana kerja jaringan para pelaku Sastra Bali Modern bergerak. Dalam setiap kesenian apapun itu, memang dibutuhkan modal sosial untuk membangun ruang yang luas, modal sosial ini merupakan analisis-analisis hubungan diluar yang turut mengembangkan sastra Bali Modern.
Sebut saja ada penulis, kritikus, hegemoni sekolah, dinas kepemerintahan terkait, penerbit, yayasan, majalah bahasa Bali, komunitas antar daerah, pencinta lontar, bahkan di luar keilmuan sastra seperti ekonomi, sejarah, antropolog, sosiolog, dan lain sebagainya. Hubungan hubungan setiap lini inilah yang harus dipetakan secara jernih, agar mengetahui apakah hubungan tersebut memiliki kerja yang baik, menguntungkan, atau merugikan.
Data hubungan ini kemudian perlahan dapat dipraktekkan menjadi satu gerakan bersama. Sehingga nantinya dapat menciptakan lingkungan kesenian yang sehat – bugar dan tetap berkelanjutan. Nak sing nawang masih, suara saking Bali ne, kel nu ape sing, yen tokoh utamanya merasa bosan. Bisa gen suud lomba care kene. Maka ……. ?
Diskusi sore itu berjalan 2 jam, mungkin yang saya catat di tulisan ini tidak sepenuhnya saya jabarkan. Penutupnya ialah Musikalisasi Kelompok Sekali Pentas dengan puisi berjudul Gendingan Buung karya Tatukung. Kelompok Sekali Pentas dimotori oleh Heri Windi Anggara – kawan saya yang sering tampil membawakan musikalisasi puisi di berbagai event di Bali.[T]