Sesolahan (drama) ini dibuka dengan pakeliran. Bayangan kayon menari-nari dipermukaan kelir. Cukup lama. Muncul kemudian bayangan seseorang, sepertinya seorang raja, memberikan sesuatu kepada seseorang yang bersimpuh sebagaimana abdi dalam sebuah kerajaan. Adegan berikutnya, masih dalam bayangan di kelir, sejumlah perempuan dan seorang laki-laki membicarakan sesuatu.
Begitulah bagian awal pementasan drama modern berbahasa Bali dari Sanggar Mahasaba Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana (Unud) yang menampilkan sasolahan (apresiasi sastra) bertajuk Sidha Sidhi Yoga Krama serangkaian Bulan Bahasa Bali IV Tahun 2022 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu (12/2).
Drma ini diolah dari Geguritan Sidha Yoga Krama karya I Made Degung. Menceritakan perjalanan Teken Wuwung seorang brahmana sakti dari Jambu Dwipa (India). Ia berjalan menuju Pulau Jawa, tepatnya ke Medang Kemulan.
Sesampai di Medang Kemulan, Teken Wuwung takjub melihat hutan asri dengan pohon yang subur dengan buah yang segar. Ia pun dengan rakusnya memetik buah-buahan yang tumbuh dengan subur di sembarang tempat.
Setelah buah-buahan di pohon habis, ia merebut buah-buahan dari tangan penduduk. Ia menhabiskan buah-buahan itu lalu membuang sampahnya dengan sembarangan ke sungai. Sungai tercemar dan terjadilah kegaduhan.
Hal ini didengar oleh Rsi Iswara, brahmana sakti dari Pasraman Sukayadnya. Rsi Iswara kemudian mengujarkan mantra sakti, lalu air yang sudah tercemar itu mengejar Teken Wuwung hingga berlari ke Pasraman Sukayadnya. Di pasraman itu Teken Wuwung bersedih dan merasa bersalah dan meminta ampun kepada Rsi Iswara. Teken Wuwung diampuni dan ia kemudian menjadi murid Rsi Isawara di Pasraman Sukayadnya. Teken Wuwung diberi nama Siddha Yoga.
Mencari Bentuk
Mementaskan karya sastra dalam bentuk drama modern berbahasa Bali memang susah-susah gampang. Jika dipentaskan lewat kesenian arja atau topeng atau primbon, mungkin bisa dilakukan dengan lebih mudah, karena seni tradisional itu sudah memiliki bentuk. Cerita dalam geguritan itu tinggal diubah sesuai bentuk seni yang akan melakonkannya.
Namun drama modern di Bali, apalagi berbahasa Bali, memang tak memiliki bentuk, dalam pengertian ia tak baku sebagaimana seni tradisi yang sudah dikenal. Ia memiliki kebebasan bentuk, juga kebebasan dalam menemukan unsur-unsur dramatik. Dan, justru karena ia bebas, maka drama menjadi sulit. Seorang penulis atau sutradara, atau penata artistik, atau penata musik, ditantang untuk mencari bentuk baru.
Kesan kesulitan itu tampak dalam garapan Sanggar Mahasaba ini. Bentuk baru yang ditawarkan adalah jahitan-jahitan dari bentuk-bentuk kesenian yang sebelumnya sudah dianggap baku. Ada pakeliran, ada tarian, dan ada adegan natural sebagaimana adegan dalam drama modern yang dikenal selama ini. Hanya saja, unsur-unsur dalam kesenian tradisi yang sudah jadi klise itu terkesan hanya dijahit begitu saja, tanpa ada upaya (atau belum berhasil) untuk menciptakan bentuk baru dari hasil jahitan-jahitan itu.
Pembukaan misalnya menggunakan semacam pembukaan dalam pentas wayang kulit. Kesannya pembukaan itu menjadi semacam pemaparan sinopsis atau sekadar kata pengantar, kata maaf, atau ucapan terima kasih. Drama, meski pun ia berbahasa Bali atau Jawa Kuno, tak memerlukan pembukaan semacam itu. Ketika lampu menyala di atas panggung, artinya pementasan sudah dimulai. Jika ada kayon, atau pakeliran, fungsinya tak lagi sama dengan fungsi saat kayon yang dimainkan dalam pementasan wayang kulit. Pakeliran dan kayon bisa mendapatkan fungsi dan makna yang berbeda dalam pementasan drama, meski pun, sekali lagi, drama itu berbahasa Bali..
Namun bagaimana pun upaya-upaya untuk mencari bentuk baru dalam pementasan drama berbahasa Bali selalu penting untuk dihargai. Apalagi, pementasan Sidha Sidhi Yoga Krama mementaskan karya dengan pesan yang amat sarat: pemuliaan air dan diambil dari karya sastra yang tentu juga termasuk berat.
“Pesan yang disampaikan adalah kita mencoba memahami betul bahwa dalam kehidupan ini air menjadi satu hal yang sangat penting. Ketika air dikondisikan secara tidak wajar, maka manusia sebenarnya membunuh dirinya sendiri. Jadi ruang batin manusia ini yang harus dibuka, sehingga kesadaran manusia berproses terhadap lingkungan terhadap alam yang sesungguhnya,” kata penulis naskah sekaligus sutradara garapan, Dewa Jayendra.
Siasat
Dewa Jayendra mengakui banyak melakukan penyesuaian pola garapan. Terlihat dari garapan diawali dengan konsep kelir dan adegan di belakang panggung, kemudian dikombinasikan dengan pertujukan teater di atas panggung. Kombinasi ini, kata Jayendra, merupakan siasat lantaran terbatasnya waktu latihan. Selain itu, karena anggota Sanggar Mahasaba FIB Unud kebanyakan anggota baru, sehingga memerlukan waktu untuk menyatukan karakter para pemain.
“Waktu yang diberikan singkat, hanya satu bulan. Semestinya untuk sebuah garapan minimal tiga bulan persiapan. Karena waktu sangat singkat, makanya harus bisa menyiasati ketika seorang aktor memiliki kelemahan. Diatur sedemikian rupa, sehingga muncul konsep garapan seperti ini,” ungkap Jayendra.
Selamat untuk Sanggar Mahasaba, ditunggu garapan berikutnya… [T][Ole/*]